News

Perludem: Pj Kepala Daerah Tak Punya Tanggung Jawab Moral ke Masyarakat

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati, menyebut bahwa ada perbedaan antara kepala daerah definitif dengan Penjabat (Pj) kepala daerah, hal ini perlu karena berkaitan dengan evaluasi dari publik.

“Kalau kepala daerah definitif kan kita menagih janjinya dengan janji kampanyenya dia, ketika kampanye dia berjanji akan melakukan abcd, begitu dia terpilih kita bisa tagih,” terang Khoirunnisa dalam diskusi publik bertajuk ‘Pentingnya Partisipasi Kelompok Marjinal dan Media untuk Kebijakan Publik yang Inklusif’ di Jakarta Pusat, Selasa (8/8/2023).

Sementara, lanjut dia, Pj kepala daerah tidak memiliki janji kampanye, karena ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat, yakni Kemendagri dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Tapi bagaimanapun juga kan dia perlu dinilai atau dievaluasi oleh publik. (Oleh karena itu, perlu) juga mengajak peran serta dari DPRD-nya, karena bagaimanapun juga APBD, kebijakan daerah, Perda itu juga tidak kepala daerah sendiri, tapi dengan DPRD-nya. DPRD juga menurut saya penting terlibat untuk bisa menilai dan mengevaluasi kinerja Pj ini,” kata dia.

Ia mempertanyakan bagaimana atau apa indikator dasar penunjukkan seorang Pj oleh presiden dan Kementerian dalam negeri (Kemendagri). Khoirunisa pun meminta pemerintah pusat bisa menjelaskan dasar dipilihnya seseorang untuk menjadi Pj kepala daerah.

“Sampai sekarang kita belum mendapatkan dokumen ya, pengangkatan pj ini atas dasar apa. Karena tadi kita lihat kepala daerah boleh mengusulkan tiga nama. Ternyata ada daerah-daerah yang ditunjuk tidak berdasarkan usulan ini, tapi hak prerogatifnya presiden atau pun Kemendagri,” sambungnya.

Khoirunnisa mengingatkan, jangan sampai Pj justru mengabaikan aspirasi atau partisipasi dari daerah, khususnya kelompok marjinal. Tak hanya partisipasi, tentu Pj juga harus mampu menyentuh kebutuhan dari kelompok termarjinalkan, seperti masyarakat adat misalnya.

“Karena pergantian masa transisi ini yang mungkin, misalnya Pj (adalah) dua orang yang berbeda. Jangan-jangan antara satu dengan orang yang lainnya punya kebijakan yang berbeda. Belum bisa terpenuhi kebutuhannya kelompok-kelompok marjinal ini yang kemudian bisa kita evaluasi,” pungkasnya.

Back to top button