News

Perludem: KPU Tak Lagi Malu Rusak Kerangka Hukum Pemilu 2024

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menyebut saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah tidak malu lagi untuk membuat kebijakan yang kontraproduktif dalam menjaga proses Pemilihan Umum (Pemilu 2024).

“Mulai tadi dari persoalan pengaturan soal dihapusnya masa jeda bagi mantan terpidana, bagaimana ketua KPU itu mengutip putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2008,” kata Fadli dalam diskusi bertajuk ‘Kotak Pandora Kebijakan KPU RI: Menggelar Karpet Merah untuk Napi Korupsi dan Menghapus Pelaporan Dana Kampanye’ yang digelar secara virtual pada Minggu (11/6/2023).

Itu pun, tambah Fadli, adalah sebuah putusan yang menguji UU Pilkada berkaitan dengan bagaimana rangkaian pertimbangan MK terkait dengan menilai konstitusionalitas ketentuan mantan terpidana yang hendak maju kembali menjadi peserta pemilu.

“Nah itu kemudian tiba-tiba dipelintir oleh Ketua KPU, dia ambil satu potong bagian dari pertimbangan (terkait) UU (Pilkada dalam putusan) MK itu, kemudian dijadikan kesimpulan dalam norma PKPU. Nah ini kan keliru sekali, alasan yang mengada-ada dan menurut saya, diduga ini membohongi publik,” tegasnya.

Tak hanya itu, mengenai dihapuskannya aturan mengenai laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), menurut Fadli juga sungguh memalukan.

Apalagi, ungkap dia, hampir seluruh komisioner KPU itu adalah mereka yang juga sudah jadi mantan penyelenggara pemilu, bahkan mungkin ada yang sudah menjadi penyelenggara pemilu sejak Pemilu 2009, 2014, dan 2019, sehingga tentunya mereka lebih mengetahui manfaat adanya LPSDK ini.

“Jadi sebetulnya kalau sekarang mereka mengatakan dan mencari-cari alasan, LPSDK itu sebetulnya terdapat di dalam laporan awal penerimaan dan pengeluaran dana kampanya, ya itu juga dapat diduga sih kalau menurut saya tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat,” terang Fadli.

Ia menyebutkan bahwa esensi dari LPSDK adalah untuk mengetahui dari mana saja peserta pemilu mendapatkan dana sumbangan kampanye selama jalannya tahapan kampanye.

“Nah, kenapa itu menjadi penting, karena di dalam UU Pemilu itu ada beberapa kualifikasi baik orang yang boleh menyumbang dana kampanye, sumber dana yang boleh diberikan, dan konsekuensi hukum kalau ada penerima atau sumber dana yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.

Sehingga, dengan adanya LPSDK tentu dapat dipastikan siapa orang yang menyumbang kepada peserta pemilu dan berapa besaran sumbangannya. “Nah, kalau hanya mengandalkan laporan di awal dan di akhir apa yang mau diawasi. Toh kampanyenya juga sudah selesai,” ucap Fadli.

Dengan begitu ia menyimpulkan dengan dihapuskannya berbagai aturan oleh KPU, justru bukan menjaga pemilu melainkan merusak kerangka hukum jelang Pemilu 2024.

“Dihapuskannya LPSDK di tengah tahapan pemilu yang mesti dilaporkan oleh peserta pemilu, dihapuskannya syarat LHKPN bagi caleg, dan kemudian juga dirusaknya ketentuan soal keterwakilan perempuan di dalam pendaftaran caleg, menunjukkan pendaftaran pemilu kita sedang merusak kerangka hukum Pemilu 2024,” tegasnya.

Oleh karena itu, Fadli menekankan bahwa jangankan berharap agar KPU menambah inovasi yang baik untuk transparansi, akuntabilitas, dan integritas pemilu, beberapa aturan yang sudah diterapkan pada pemilu sebelum-sebelumnya saja justru dirusak.

“Ini malah ketentuan yang sudah baik, sudah mapan, sudah dijalankan berulang-ulang kali dalam pemilu malah dirusak. Nah, ini yang kemudian sangat mengkhawatirkan menurut saya, menuju penyelenggaraan pemilu 2024 ini,” kata Fadli menegaskan kembali.

Back to top button