News

Perludem Ingatkan Bawaslu Susun Kode Etik Kampanye di Medsos

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi menilai kode etik berkampanye di media sosial penting untuk menghindari disinformasi partai politik (parpol) peserta pemilu berkampanye di media sosial.

Oleh karena itu, ia mengharapkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) segera menyusun code of conduct kampanye di media sosial jelang masuknya tahapan kampanye pemilu 2024.

“Kita susun code of conduct yang bisa memaksa parpol untuk menghindari manipulasi opini publik, menghindari strategi disinformasi, hasutan kebencian dan juga kita kita ingin parpol bisa monitoring. Bisa juga membangun percakapan yang organik konstruktif di media sosial,” kata Amalia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (26/6/2023).

Amalia memandang, hal tersebut dapat menagih komitmen peserta pemilu untuk berkampanye secara humanis dan inklusif di media sosial.

“UUD tidak cukup mengatur itu, dan Peraturan KPU (mengenai) kampanye tidak komprehensif mengatur itu. Sebetulnya kalau kita lihat ada atau tidak modelnya di dunia dari penelusuran, code of conduct ini bisa disusun bisa di peserta pemilu itu sendiri, penyelenggara pemilu, juga oleh masyarakat sipil dan pakar,” jelas dia.

Amalia pun mendorong KPU dan Bawaslu untuk lebih profesional dalam menyelenggarakan pemilu guna menjamin adanya prinsip inklusivitas, partisipatif, terbuka, dan akuntabel. Tujuannya, mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

“Pelibatan para pemangku kepentingan terkait harus dilakukan secara bermakna dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu,” tegas Amalia.

Sementara, Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, kode etik kampanye di media sosial penting agar kampanye di media sosial memiliki acuan yang jelas.

Lebih jauh, pihaknya juga mendorong Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk berkomitmen memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam moderasi konten.

“Persoalan ini telah menyebabkan polarisasi, konflik, dan penurunan kepercayaan publik terhadap pemilu dan demokrasi. Fakta juga menunjukkan bahwa ujaran kebencian berdampak negatif pada kelompok marjinal, termasuk memicu potensi kekerasan dan ancaman fisik lainnya” jelas Adinda.

Back to top button