News

Perang Marj Ardabil, Saat Pasukan Bani Umayah Dihancurkan Bangsa Khazar

Seperti ditulis sejarahwan Ath-Thabari, dengan susah payah pasukan Muslim berhasil mencapai Khujand, dalam kondisi “…menderita kelaparan dan kelelahan.” Di sana, kepemimpinan militer secara resmi digantikan kepada Abdurrahman bin Na’im al-Ghamidi, yang memimpin sisa-sisa tentara untuk kembali ke Samarkand. Peristiwa itu kerap disebut sejarawan Arab sebagai Hari Dahaga (Yaumul Athasy).

Bagi sebagian (besar) Muslim, 9 Desember bisa jadi merupakan hari berkabung. Pada 9 Desember 730, dalam perang yang kemudian dikenang sebagai Perang Marj Ardabil, bangsa Khazar menghajar pasukan Bani Umayyah dan membunuh komandan utama mereka, Al-Jarrah bin Abdallah Al-Hakami.

Perang ini terjadi pada zaman kekuasaan khalifah Umayyah Hisyam bin ‘Abdul-Malik, putra Khalifah Abdul Malik. Di antara kekuasaan Umayyah, Hisyam merupakan yang terakhir naik takhta dan paling lama berkuasa. Zaman Hisyam bisa disebut sebagai zaman kejayaan, selain zaman Umat bin Abdul Aziz yang hanya berkuasa kurang dari lima tahun, karena khalifah yang cerdas, fuqaha dan adil tersebut diracun. Sejarah mencatat, di zaman Hisyam terjadi penerjemahan sejumlah besar karya besar sastra dan ilmiah ke dalam bahasa Arab.

Hisyam termasuk yang  berusaha mengembalikan penafsiran syariah sebagaimana di masa Umar bin Abdul Aziz, dan menjalankannya pula terhadap anggota keluarganya sendiri. Kemampuannya menyatukan garis keturunan Umayyah diperkirakan merupakan faktor penting dalam keberhasilannya.

Perang yang membuahkan kejadian pahit tersebut bermula dari zaman kekuasaan Khalifah Yazid bin Abdul Malik. Pada tahun 723 di masa akhir kekuasaan Yazid, Sa’id bin ‘Amr al-Harasy digantikan kedudukannya oleh Muslim bin Sa’id bin Aslam Al-Kilabi sebagai gubernur Khurasan. Di tahun selanjutnya, Muslim Al-Kilabi berencana untuk menaklukkan Lembah Fergana di kawasan Asia Tengah yang saat itu berada dalam kekuasaan bangsa Khazar.

Muslim Al-Kilabi memimpin pasukannya di sepanjang lembah Yaxartes ke Ferghana, mengepungnya, dan menghancurkan pedesaan di sekelilingya. Pada titik ini, pasukan Umayyah mengetahui bahwa Suluk, khan agung bangsa Türgesy, bergerak menuju mereka dengan kekuatan pasukan yang jauh lebih besar. Pasukan Umayyah kemudian menghentikan pengepungan dan mundur ke selatan.

Hari kedua setelah pasukan Umayyah menyeberang sungai Wadi As-Subuh, pasukan Türgesy berhasil menyusul dan menyerang perkemahan Abdullah bin Abu Abdullah yang terpisah dari rombongan utama. Meski banyak korban berjatuhan dari pihak pasukan Muslim dan sekutu Sogdian mereka, salah satu di antaranya adalah saudara dari pemimpin Sogdian, mereka berhasil memukul mundur serangan tersebut.

Pasukan Muslim kembali mundur selama delapan hari dan kerap menjadi bulan-bulanan pasukan berkuda Türgesy. Pada hari kesembilan, pihak Umayyah tiba di Yaxartes dan jalan pulang mereka dihadang pasukan dari Syasy, Fergana, dan sisa-sisa tantara pemberontak pada pemberontakan Sogdian yang ditekan Sa’id bin ‘Amr al-Harasy pada masa Khalifah Yazid bin ‘Abdul Malik. Pihak Muslim berkemah pada malam hari dan kemudian membakar barang bawaan mereka yang konon berharga lebih dari satu juta dirham, sebagai persiapan perang total.

Pada hari berikutnya, meskipun menderita kehausan dan dikurung di antara Türgesy di belakang dan pasukan Transoxian di depan, pasukan muslim yang kehausan berhasil menerobos garis musuh dan melintasi Yaxartes.

Seperti ditulis sejarahwan Ath-Thabari, dengan susah payah pasukan Muslim berhasil mencapai Khujand, dalam kondisi “…menderita kelaparan dan kelelahan.” Di sana, kepemimpinan militer secara resmi digantikan kepada Abdurrahman bin Na’im al-Ghamidi, yang memimpin sisa-sisa tentara untuk kembali ke Samarkand. Peristiwa itu kerap disebut sejarawan Arab sebagai Hari Dahaga (Yaumul Athasy).

Di wilayah sekitar kota Ardabil di kawasan Kaukasus, pihak Umayyah berhadapan dengan serangan pasukan bangsa Khazar. Perang yang meletus pada tahun 730 itu dikenal sebagai Pertempuran Marj Ardabil. Pasukan Muslim diserbu bangsa Khazar, yang menganggapnya sebagai balasan selama Perang Khazar-Arab yang berlangsung puluhan tahun di awal abad ke-8. Jenderal Umayyah, Al-Jarrah bin ‘Abdullah memimpin pasukan. Pasukan Muslim kalah jumlah berkali lipat. Al-Jarrah sendiri gugur dalam perang ini. Sejarawan Arab Kristen, Uskup Agapius putra Konstantin (Mahbub bin Qusthanthin) menyatakan dalam perang tersebut 20 ribu tentara Muslim gugur, dua kali lipatnya—termasuk penduduk Ardabil dan kawasan di sekitarnya– ditawan.

Setelah menduduki Ardabil, pihak Khazar mengerahkan pasukan ke Mosul. Khalifah Hisyam kemudian mengangkat Sa’id bin ‘Amr al-Harasy sebagai pemimpin pasukan melawan Khazar, tetapi dia hanya memiliki sedikit pasukan. Sebagai ganti pasukan, Hisyam memberikan tombak yang dikatakan pernah digunakan dalam Perang Badar untuk digunakan sebagai panji, serta 100 ribu dirham untuk merekrut pasukan.

Pihak Umayyah pada akhirnya dapat memukul mundur Khazar ke utara Pegunungan Kaukasus, termasuk membebaskan tawanan perang mereka. Meski mencapai keberhasilan, Sa’id Al-Harasy kemudian diberhentikan pada 731 dan bahkan ditahan sementara di Qabalah, lantaran kecemburuan saudara tiri Hisyam, Maslamah.

Hisyam kemudian mengangkat Maslamah sebagai gubernur Armenia dan Azerbaijan dan melanjutkan pertempuran melawan Khazar. Ketidakmampuan Maslamah dalam menghadapi Khazar menjadikan kedudukan gubernur diserahkan kepada saudara tiri Hisyam yang lain, Marwan bin Muhammad.

Pada musim semi 733, kedudukan tersebut diserahkan kepada Sa’id bin ‘Amr. Meski demikian, Sa’id lebih menggunakan strategi bertahan dalam menghadapi Khazar. Sa’id meninggalkan kedudukannya pada 735 karena kehilangan penglihatannya. Pada tahun 737, pasukan Umayyah di bawah kepemimpinan Marwan bin Muhammad berhasil menghancurkan pasukan Khazar.

[DSY dari berbagai sumber, termasuk Wikipedia]

Back to top button