Market

Ekonom: Undang Investor Ugal-ugalan Picu Ketimpangan Ekonomi


Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan perlu kebijakan investasi yang pro pelaku ekonomi domestik. Sayangnya itu tidak terjadi.

Pemerintah, kata Anthony, tidak boleh hanya memberi karpet merah kepada investor asing, tetapi harus memberi keberpihakan kepada pelaku domestik. Caranya bisa dengan memberi stimulus dan akses finansial kepada perusahaan kecil dan menengah, dan bukan malah menghambatnya.

“Pemerintah harus bisa memberlakukan kebijakan untuk meningkatkan daya saing internasional bagi perusahaan kecil dan menengah agar dapat meningkatkan ekspor. Antara lain memberi asistensi dalam proses produksi untuk meningkat kualitas agar dapat memenuhi standar internasional, atau memberi subsidi ekspor untuk meningkatkan daya saing khususnya kepada pelaku ekonomi kecil dan menengah,” kata Anthony, Jakarta, Selasa (7/5/2024).

Dia menilai, pertumbuhan ekonomi yang tak inklusif akan memberi dampak pertumbuhan ekonomi akan tertatih-tatih, dan ketimpangan pendapatan dan kekayaan akan semakin lebar.

“Pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor komoditas sumber daya alam dan mineral. Kenaikan harga komoditas memicu pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi. Tetapi sebaliknya, ketika harga komoditas turun seperti terjadi saat ini, pertumbuhan ekonomi tertekan. Sektor komoditas ini sekaligus memperlebar jurang kesenjangan sosial,” kata ekonom senior itu.

Dia berharap, pemerintah bisa memberi akses ekonomi secara adil kepada seluruh masyarakat, khususnya lapisan bawah. Akses ekonomi harus terbuka lebar untuk mayoritas penduduk Indonesia, termasuk akses faktor produksi (lahan) dan akses finansial.

Selama ini, kata dia, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak inklusif. Karena masih ditemukan diskriminasi ekonomi, antara pemodal besar versus rakyat.

Distribusi lahan pertanian, perkebunan dan pertambangan, menurut Anthony, dikuasai oleh segelintir orang saja. dengan mudahnya mereka mendapatkan lahan seluas puluhan, ratusan bahkan ribuan hektare. Di sisi lain, distribusi pendapatan juga semakin timpang.

“Sekitar 168 juta penduduk atau sekitar 60,5 persen dari jumlah penduduk pada 2022 mempunyai pendapatan kurang dari Rp1,1 juta rupiah per orang per bulan. Berdasarkan pendapatan, maka koefisien ketimpangan pendapatan (gini ratio) mencapai paling sedikit 0,55.  Ini artinya, sangat timpang dan rawan konflik sosial,” pungkas Anthony.

Back to top button