News

Penggusuran di Tanah Rempang, Waketum MUI: Negara Ini untuk Siapa?

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, mempertanyakan tujuan dan arah kebijakan pemerintah dalam menangani kasus di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Melalui sebuah pernyataan tertulisnya, ia menggugah pertanyaan fundamental: “Negara ini untuk siapa serta akan dibawa kemana?”

Dia merujuk pada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa ekonomi diatur untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. “Apakah itu sudah tercapai? Saya rasa sudah karena kebijakan tersebut sudah berhasil menghantarkan rakyat untuk hidup sejahtera. Tetapi yang menjadi pertanyaan, rakyat yang mana yang sudah tersejahterakan?” kata Buya Abbas dalam keterangannya kepada inilah.com, Sabtu (16/9/2023).

Ketua PP Muhammadiyah itu turut menyoroti struktur ekonomi Indonesia yang berbentuk piramidal. Di puncaknya, hanya 0,01% pelaku usaha besar yang benar-benar menikmati kesejahteraan. Sementara itu, usaha mikro dan ultra mikro yang mencakup 98,68% dari total pelaku usaha, masih berjuang untuk keluar dari kemiskinan dan hutang.

Menurut Abbas, pemerintah lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan. Ia mencontohkan Maluku Utara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi hingga 27%, namun masih banyak warganya yang hidup dalam kemiskinan.

Di Pulau Rempang, konflik antara pemerintah dan masyarakat memunculkan pertanyaan tentang keadilan dan perlindungan rakyat. “Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, malah berperan sebaliknya,” ujar Abbas.

Abbas memperingatkan bahwa jika kebijakan pemerintah terus berjalan dalam koridor neoliberalisme kapitalisme, maka reformasi jilid dua hanya tinggal menunggu waktu. “Biaya dari reformasi tersebut, menurutnya, akan sangat tinggi,” tambahnya.

Sebelumnya Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, turut menyatakan bahwa penyelesaian kasus di Pulau Rempang idealnya dilakukan melalui musyawarah mufakat. Menurut PBNU, kebijakan yang tidak partisipatoris menjadi akar masalah yang terus berulang. PBNU juga menekankan pentingnya memperbaiki pola komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.

“Musyawarah mufakat adalah sebuah pendekatan yang sudah lama ada dalam tradisi Indonesia, dan ini bisa menjadi solusi yang efektif jika diterapkan dengan benar,” ujar Yahya Cholil Staquf.

Senada dengan PBNU, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, juga menekankan pentingnya musyawarah. Dia meminta semua pihak menenangkan diri dan mencari jalan tengah yang paling maslahah, terutama menjelang Pemilu 2024 dan tahun politik yang menentukan masa depan bangsa.

Back to top button