News

Pengamat Ketenagakerjaan: UU Cipta Kerja Jadi Solusi Tantangan Lapangan Pekerjaan untuk Bonus Demografi

Pengamat Ketenagakerjaan yang juga akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Tajuddin Noer Effendi mengatakan bahwa guna memastikan Indonesia yang produktif, pemerintah butuh solusi untuk tantangan bonus demografi yang bisa dijawab oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Saat ini, Tajuddin menilai pemerintah Indonesia sebenarnya terus bersiap dalam rangka menghadapi tantangan yang muncul akibat bonus demografi. Era ini diprediksi datang di tahun 2030 dengan jumlah penduduk yang masuk usia produktifnya lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia 65 tahun ke atas.

Dari sinilah mengapa pemerintah harus membuat satu kebijakan yang dipandang dapat memberikan solusi terciptanya lapangan kerja hingga mendorong munculnya pengusaha di ranah mikro, kecil, dan menengah alias UMKM. “Jawabannya ada di Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UUCK),” ujar dia dalam keterangannya kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (15/5/2023).

Permasalahan sekaligus tantangan yang ditekankan oleh Tajuddin adalah prediksi angka usia produktif di era bonus demografi. “Bayangkan saja, ada hampir 65 persen masyarakat usia produktif di era ini, sehingga tentu saja ada kekhawatiran munculnya persaingan yang semakin ketat dan memicu lapangan pekerjaan yang sangat terbatas,” ungkap Tajuddin.

Berangkat dari persoalan itu, lanjut dia, negara perlu mengambil keputusan bagaimana memunculkan lapangan kerja baru dan salah satunya adalah melalui investasi dari negara lain.

Sebelum munculnya UUCK, menurut Tajuddin, proses investasi sangatlah berbelit-belit, bahkan proses birokrasi yang panjang dapat memicu investor lari ke negara lain seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu.

“Jadi di tahun 2019 itu ada sekitar 25 pengusaha China yang akan relokasi usahanya ke Indonesia. Nah ternyata mereka masuk ke Vietnam, Malaysia, dan Thailand dengan tidak satu pun masuk ke Indonesia,” terang Tajuddin.

Kemudian, ungkap dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertanya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD apa yang terjadi sesungguhnya di sini. “Maka Menkopolhukam mengundang pakar-pakar untuk dibahas, ternyata itu salah satunya adalah undang-undang yang ada tumpang tindih,” jelas Tajuddin.

Ia menyebut Presiden Jokowi sangat kecewa dengan keadaan Indonesia yang ternyata kurang menarik bagi investor asing di tahun 2019. Karena itulah mengapa Presiden bersama jajarannya mengambil keputusan untuk deregulasi sejumlah aturan.

“Ada sekitar 78 undang-undang yang saling tumpang tindih terkait proses investasi ini yang sayangnya bisa memakan waktu sangat lama dan panjang bila diikuti oleh investor,” ujar Tajuddin.

Selanjutnya, Mahfud MD yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) bersama para pakar akhirnya sepakat bahwa undang-undang harus bisa disederhanakan lagi dengan tujuan agar bersifat mudah dan detail penjelasannya guna memastikan investasi, baik itu di tingkat UMKM hingga usaha besar bisa berkembang dengan baik dan efeknya adalah peluang kerja baru terbentuk.

“Dari sinilah penyederhanaannya menjadi Undang-Undang Cipta Kerja dengan tujuan memudahkan pendirian usaha, memudahkan investasi di Indonesia, bahkan perlindungan lingkungan termasuk ke dalam UUCK,” sambung Tajuddin.

Namun demikian tentu saja perjalanan UUCK ini tak mudah dalam mengejar proses implementasinya, bahkan sejak masih dalam bentuk rancangan undang-undang alias RUU, berbagai penolakan menyeruak hingga sampai ke ranah Mahkamah Konstitusi (MK).

“Tetapi hal tersebut tentu saja tak menyurutkan semangat pemerintah guna memastikan undang-undang ini dapat berfungsi sesuai dengan apa yang diinginkan dalam menjawab tantangan bonus demografi di Indonesia ke depannya,” tambah Tajuddin.

Dari sinilah, jelas Tajuddin, pemerintah bersama Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja yang turut menggandeng para pakar berusaha bekerja lebih keras guna memastikan kepastian hukumnya. Sejumlah perubahan pun diterapkan di UUCK dengan putusan MK sebagai tuntunannya. Perubahan ini diawali dengan perbaikan di masalah ketenagakerjaan yang meliputi mengenai alih daya, perubahan kata cacat menjadi disabilitas, sampai menentukan upah minimum.

“Terkait alih daya juga diperbaiki, kalau dulu yang diperbolehkan alih daya itu hanya pekerjaan-pekerjaan yang tidak utama atau produksi, kalau sekarang produksi boleh, karena tujuannya untuk pencipataan peluang kerja,” terang Tajuddin.

Kemudian perubahan lainnya dari UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja adalah untuk membantu pengusaha UMKM dari sisi sertifikasi halal. Sebelum ada UUCK, proses pengajuannya dianggap lama dengan biaya yang tinggi.

Dari sinilah melalui undang-undang baru ini prosesnya disederhanakan dengan proses pembuatan sertifikasi halal bisa dilakukan dalam kurun waktu satu minggu yang cukup diproses oleh MUI Provinsi atau MUI Kabupaten/Kota.

“Kemudian setelah proses panjang akhirnya dimasukan ini ke dalam sistem perundang-undangan dan tidak masalah lagi, artinya metode yang digunakan untuk memperbaiki penciptaan UUCK sudah memenuhi sistem perundangan Indonesia,” tegas Tajuddin menerangkan kembali.

Lebih jauh dia mengakui bahwa upaya pemerintah terkait UUCK ini memanglah tak mulus, tapi semua usaha yang dilakukan penting untuk tidak menyia-nyakan momentum bonus demografi.

“Mengingat dengan terbentuknya berbagai lapangan kerja baru, investor asing tertarik untuk membangun usahanya di Tanah Air, hingga munculnya UMKM baru maka agenda mengejar Visi Indonesia Emas tahun 2045 diharapkan dapat terealisasi,” pungkas Tajuddin.

Back to top button