News

Pembentuk UU Harus Rumuskan Ambang Batas Secara Terbuka dan Partisipatoris


Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengemukakan bahwa pembentuk undang-undang harus merumuskan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) secara terbuka, transparan, akuntabel, dan partisipatoris.

Pemerintah dan DPR RI selaku pembentuk undang-undang, menurut Titi Anggraini yang juga anggota Dewan Pembina Perludem ini, harus memperhatikan pemenuhan kedaulatan rakyat, proporsionalitas hasil pemilu, serta penyederhanaan partai.

“Selain itu, juga dengan menggunakan metode yang terukur dan jelas sehingga rasionalitas kebijakan tetap terjaga,” kata dosen Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum UI ini, dikutip dari Antara, Jumat (1/3/2024), ketika merespons Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-XXI/2023.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan uji materi Perludem terkait dengan ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dalam Sidang Pleno MK yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis (29/2/2024), menyatakan, “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.”

Dalam putusan itu, lanjut Titi Anggraini, Mahkamah berpendapat bahwa berkenaan dengan ambang batas parlemen sebagaimana ditentukan norma Pasal 414 ayat (1) UU No. 7/2017 perlu segera dilakukan perubahan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh beberapa hal.

Disebutkan pula oleh Titi beberapa hal yang perlu diperhatikan pembentuk undang-undang, antara lain, ambang batas parlemen didesain untuk digunakan secara berkelanjutan.

Perubahan norma parliamentary threshold, termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional, terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR RI.

Beberapa hal lainnya yang patut mendapat perhatian Pemerintah dan DPR RI, yakni perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik; dan perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029.

Selain itu, lanjut Titi, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR RI.
 

Back to top button