Market

Nilai Tambah Hilirisasi Nikel tak Sebanding dengan Hilangnya 5.300 Ha Hutan di Halmahera


Program hilirisasi nikel di Indonesia, belum optimel memberikan nilai tambah. Di sisi lain, hilirisasi nikel yang dibanggakan Presiden Jokowi ini, justru meninggalkan kerusakan lingkungan yang dahsyat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan, selama ini, proses hilirisasi nikel di Indonesia belum optimal. Musababnya, industri hilir dari anak bangsa, belum siap. Alhasil, pemerintah menyerahkannya kepada investor China.

Indonesia baru mampu mengolah bahan mentah menjadi bahan baku, belum ada produk jadi yang bisa dihasilkan. Sehingga nilai tambahnya ttidak signifikan. “Memang apa yang disampaikan pemerintah hilirisasi membawa nilai tambah betul. Tetapi kita belum mendapatkan nilai tambah yang optimal,” ujar Fabby, Jakarta, Senin (29/1/2024).

Fabby menilai, hal itu merupakan pekerjaan rumah pemerintah bagi pemerintah untuk mengembangkan industri hilir nikel, sehingga tidak bergantung pada impor. Di samping itu, tujuan hilirisasi harus jelas, apakah hanya sekedar barang setengah jadi, atau barang jadi yang nilai tinggi cukup tingi.

Di sisi lain, Fabby mengingatkan, proses pengolahan nikel di Indonesia, berdampak besar kepada lingkungan dan sosial di area sekitar tambang nikel. Laporan Climate Rights Internasional (CRI) pada Januari 2024, membeberkan sejumlah fakta bahwa industri nikel di Maluku Utara dan pertambangan di sekitarnya, banyak melanggar hak asasi warga setempat. 

Dalam laporan itu, CRI mewawancarai 45 warga yang tinggal di dekat smelter nikel di Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), serta di sekitar tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara.

Hasilnya, warga lokal menyebut, perusahaan nikel besar itu, berkoordinasi dengan kepolisian dan militer, melakukan penyerobotan lahan, memaksa, serta mengintimidasi penduduk hingga masyarakat adat.

Selain itu, hilirisasi nikel melahirkan deforestasi yang signifikan, pencemaran udara dan air, serta menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di luar jaringan (captive power plant).

Terdapat 5.331 hektare hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara, menyebabkan hilangnya sekira 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.

“Ini kan harusnya pemerintah sadar untuk itu. Jadi bukan berarti kemudian anti hilirisasi, tapi memang perlu dampak lingkungan dan sosial dari pengolahan nikel itu tidak bisa dianggap remeh,” kata Fabby.

Karena bisa jadi, lanjut dia, biaya terhadap dampak lingkungan dan sosial yang diakibatkan itu jauh lebih besar dari nilai ekonomi yang didapatkan dari pengolahan nikel. Sebab itu, dia menilai masalah ini harus menjadi perhatian pemerintah dan perlu benar-benar diperhitungkan.

“Nah menurut saya ini kesempatan sebenarnya siapapun yang akan memimpin nanti melakukan hilirisasi tetapi memperkuat safeguard. Sehingga bisa meminimalkan dampak lingkungan dan sosial tadi,” ucap Fabby. 

Back to top button