News

Mulusnya Jalan Koruptor Jadi Bukti Kegagalan Kaderisasi di Parpol?

Koruptor yang jadi caleg pasti memiliki jasa besar bagi partai politik. Sehingga parpol mendaftarkan lagi mereka sebagai caleg meski sudah berstatus narapidana.

Partai politik seakan sudah kehabisan stok kader terbaik mereka untuk dijadikan sebagai calon anggota legislatif (caleg) baik di tingkat pusat maupun daerah. Anggapan tersebut menjadi wajar karena hingga saat ini masih muncul bakal caleg yang berstatus narapidana.

Kondisi ini makin diperparah dengan masuknya narapidana korupsi sebagai bakal caleg dalam Daftar calon sementara (DCS) Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilu 2024. Padahal para napi korupsi itu sudah terbukti tidak amanah dalam menjalankan tugasnya saat memegang jabatan di sebuah institusi.

Namun mereka masih mendapatkan kesempatan untuk maju kembali sebagai pejabat negara karena aturan yang berlaku saat ini masih memberikan ruang bagi para napi khususnya koruptor untuk mencalonkan diri sebagai caleg.

Dasar hukum para napi ini bisa maju sebagai caleg tertuang dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dan 11 Tahun 2023. Dalam PKPU itu teruang jika mantan terpidana korupsi boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tanpa harus menunggu masa jeda lima tahun usai bebas.

Padahal pada aturan sebelumnya, KPU melarang para koruptor untuk ikut dalam Pemilihan Legislatif (Pileg).

Terlepas dari segi hukum tidak melanggar, namun parpol sebagai organisasi politik harusnya bisa melarang atau tidak memilik kadernya yang sudah berstatus napi khususnya koruptor. Dengan fakta saat ini menunjukkan jika parpol gagal dalam melakukan kaderisasi sehingga memilih mendaftarkan kembali koruptor sebagai bakal caleg mereka.

Koruptor Jadi Sapi Perah Parpol

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo menilai jika caleg koruptor tersebut bukanlah orang sembarangan. Sebab mereka masih bisa maju sebagai caleg meski statusnya sudah menjadi napi koruptor.

“Kenapa ketika sudah divonis KPK, menjalani hukuman dan kemudian masih dicalonkan lagi oleh partai tentu caleg itu punya jasa terhadap partai. Jadi ada relasi spesial antara partai dengan para caleg koruptor itu,” Ari kepada Inilah.com beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan dalam sistem demokrasi politik nasional saat ini masih belum berjalan dengan baik. Sebab parpol sering menjadikan para kadernya yang duduk di lembaga negara sebagai ‘sapi perah’ untuk mendanai parpol.

Hal inilah yang membuat mereka melakukan segala cara agar bisa berkontribusi kepada parpol masing-masing. “Satu sisi itu ada hubungan simbiosis mutualisme antara partai dan calegnya,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Ari menambahkan, parpol seharusnya memiliki komitmen kuat dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Salah satu caranya dengan menyiapkan dan mencalonkan kader-kader terbaik mereka yang bersih sebagai pejabat negara.

Namun dengan masukkan para napi koruptor sebagai caleg justru membuat kesan jika parpol tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Jadi ketika publik berusaha untuk menggagalkan korupsi, ketika ada KPK, tentunya partai bukan memberikan hubungan yang kuat dengan KPK tapi malah menjadi bagian dari isu instrumen untuk melanggengkan praktik-praktik korupsi ketika masih mencalonkan caleg yang mantan koruptor,” katanya.

Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah atau yang akrab disapa Castro, menyebut bahwa teridentifikasinya caleg koruptor merupakan bukti kegagalan parpol dalam menyaring kadernya. Kenyataan ini disebutnya sebagai sebuah paradoks dalam perpolitikan tanah air, dan sulit untuk diterima oleh akal sehat.

“Lolosnya mantan-mantan koruptor ini pertanda partai politik gagal menjadi saringan integritas. Bahkan ada yang baru bebas tiba-tiba sudah dijadikan pimpinan partai politik,” terang Castro kepada Inilah.com.

Ia pun menyatakan bahwa kondisi ini semakin menggambarkan keadaan parpol yang menyedihkan. Sehingga jangan menyalahkan publik jika nantinya parpol diangga sebagai wadah ‘cuci tangan’ para koruptor.

“Mestinya publik juga memberi catatan bagi partai-partai yang masih mengusung mantan-mantan koruptor,” tegasnya.(Vonita Betalia/Diana Rizky)

Back to top button