News

Libatkan Ahli, The Washington Post Simpulkan Polisi Bersalah dalam Tragedi Kanjuruhan

Polisi menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam, (1/10/2022) (Foto: Antara)

Media Amerika Serikat, Washington Post, menyoroti aksi polisi di tengah tragedi Kanjuruhan, Malang. Polisi dinilai Washington Post sebagai aktor utama penyebab peristiwa mematikan atas kejadian memilukan tersebut. Reportase investigasi ini dirilis Kamis, (6/10/2022) melalui headline “How police action in Indonesia led to a deadly crush in the soccer stadium” atau “Bagaimana tindakan polisi di Indonesia menyebabkan peristiwa mematikan di stadion sepak bola”.

Tinjauan investigasi tersebut berdasarkan pemeriksaan lebih dari 100 video dan foto, wawancara dengan 11 saksi dan analisis oleh pakar pengendalian massa dan pembela hak-hak sipil.

“Para pakar menyebut tragedi tersebut mengungkap masalah-masalah sistemik yang menghadapi polisi, banyak dari mereka yang tak dilatih dengan baik untuk mengendalikan kerumunan dan sangat termiliterisasi,” tulis artikel Washington Post, dikutip inilah.com, Kamis (6/10/2022).

Investigasi ini dibuka dengan kolase enam animasi foto, rentetan besar-besaran amunisi gas air mata yang ditembakkan oleh polisi Indonesia.

Penembakan sedikitnya 40 amunisi ke arah kerumunan dalam rentang waktu 10 menit membuat penggemar mengalir ke pintu keluar. Polisi Indonesia juga disebut melanggar protokol nasional dan pedoman keamanan internasional untuk pertandingan sepak bola.

The Washington Post turut mengungkap 40 amunisi yang digunakan polisi Indonesia meliputi gas air mata, flashbang dan flare. Akibat rentetan tembakan amunisi itu, banyak suporter terinjak-injak sampai mati atau tertimpa tembok dan gerbang logam karena beberapa pintu keluar ditutup, menurut penyelidikan.

Artikel Washington Post (Foto: inilah.com)
Artikel Washington Post (Foto: inilah.com)

The Washington Post mengungkapkan bagaimana penggunaan gas air mata oleh polisi dalam menanggapi beberapa ratus penggemar yang memasuki lapangan menyebabkan kerugian besar.

Gelombang mengerikan terjadi di ujung selatan stadion Kanjuruhan, di mana korban selamat mengatakan sebagian besar kematian terjadi. Beberapa pintu terkunci, kata saksi mata, yang semakin memicu kepanikan.

Lebih lanjut Washington post juga menulis, Hingga Kamis, para pejabat mengatakan 131 orang telah meninggal, termasuk 40 anak-anak. Kelompok hak asasi manusia, termasuk Amnesty International Indonesia, mengatakan jumlah korban di Kabupaten Malang di Indonesia bisa mencapai 200 orang.

Pemerintah Indonesia telah menyerukan penyelidikan atas insiden tersebut, yang merupakan salah satu bencana kerumunan paling mematikan yang pernah tercatat.

Sementara pejabat kepolisian setempat justru mengatakan penggunaan gas air mata dibenarkan karena “ada anarki”. Namun, para ahli pengendalian massa yang meninjau rekonstruksi video yang disediakan oleh Washington Post tidak setuju.

Soroti korban Anak-anak

Masalah lain yang menjadi sorotan adalah banyaknya anak-anak yang menjadi korban tewas saat Tragedi Kanjuruhan.

Washington Post mengungkapkan kepiluan dari ibu dari anak salah satu korban tewas tragedi kerusuhan Kanjuruhan, Muhammad Vidy Prayoga.

Ezgif.com Gif Maker(6) - inilah.com
Elmiati duduk di tribune sektor 13 Stadion Kanjuruhan bersama suami dan putranya Muhammad Vidy Prayoga yang berusia 3 tahun pada akhir pekan lalu di Kanjuruhan, Malang. (Foto: Elmiati)

Media Amerika Serikat (AS) itu menuliskan, Prayoga yang baru berusia 3 tahun ikut menyaksikan laga antara Arema FC vs Persebaya Surabaya di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022).

“Virdy berdiri di kursinya sebelum kick-off mengenakan syal Arema di lehernya yang membentang hingga mata kaki. Ibunya, Elmiati (33 tahun), menyalakan ponselnya untuk merekam video dan Virdy tersenyum lebar ke arah kamera. Ia mencintai Arema FC,” bunyi tulisan tersebut.

Tetapi kemudian kerusuhan terjadi setelah Arema FC kalah dari Persebaya 2-3, dan dilaporkan membuat 131 orang kehilangan nyawa.

Insiden paling berdarah di sepak bola Indonesia itu juga yang akhirnya membuat Virdy harus meninggalkan keluarganya untuk selama-lamanya.

“Kami tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terus mendorong dan berdesak-desakan,” kata Elmiati terkait kerusuhan tersebut, dikutip dari Washington Post.

Imbas dari tragedi itu, jumlah korban tewas yang merupakan anak-anak terus bertambah.

Awalnya pejabat mengatakan ada 17 anak-anak yang tewas karena kerusuhan tersebut.

Namun pada Rabu (5/10/2022). Kepala Otoritas Kesehatan Malang, Wiyanto Wijoyo mengatakan jumlanya bertambah hingga 40 anak yang menjadi korban tewas.

Elmiati mengungkapkan dirinya serta sang suami dan Vidy menyaksikan pertandingan dari sektor 13.

Ketika pertandingan usai, mereka masih dalam suasana yang baik meski Arema kalah.

 

Ibnu Naufal

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button