News

MK Didesak Bentuk Majelis Kehormatan Permanen Buntut Putusan Kepala Daerah Maju Pilpres

Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mendesak Mahkamah Konstititusi (MK) membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) secara permanen. Pembentukan MKMK permanen ini dinilai krusial demi memeriksa dugaan pelanggaran kode etik berupa conflict of interest atau konflik kepentingan dalam putusan mengenai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Mungkin anda suka

“(Pemeriksaan) terhadap Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi selaku Hakim Konstitusi,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) KIPP Kaka Suminta dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (23/10/2023).

Kaka menilai, putusan MK atas nomor 90/PUU-XXI/2023 itu inkonsisten dengan putusan lainnya, Imbasnya, membuat bingung salah satu Majelis Hakim Konstitusi dan mendapat reaksi publik yang sangat negatif juga sangat bernuansa politis.

“Bahkan diduga adanya intervensi kekuasaan demi kepentingan penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024,” kata Kaka.

Oleh karena itu,  Kaka mendorong semua pihak untuk melakukan evaluasi terhadap MK dalam menjalankan kekuasaannya secara independen, profesional, dan berkeadilan.

Sebab, ujar dia melanjutkan, selain karena MKMK merupakan amanah yang tertuang dalam Pasal 27A ayat (2) UU MK, pembentukan majelis itu secara permanen juga menjadi salah satu rekomendasi dalam Putusan MKMK Nomor 01/MKMK/T/02/2023 yang penting untuk direalisasikan.

“Kami mendorong adanya rekonstruksi Mahkamah Konstitusi yang didesain secara ketat dengan upaya menjaga kemandirian hakim konstitusi baik secara personal maupun kelembagaan,” ujar dia menambahkan.

Langkah itu juga perlu disertai larangan  adanya hubungan keluarga antara presiden selaku pejabat eksekutif dan pimpinan DPR selaku pejabat legislatif dengan hakim konstitusi selaku orang yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Kaka menegaskan, KIPP menolak segala bentuk tindakan baik secara politik maupun hukum yang dapat melegitimasi dan berpihak pada terbentuknya dinasti politik di Indonesia.

“KIPP juga mendorong semua pihak untuk kritis melakukan eksaminasi terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi   Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memiliki penyelundupan hukum, bahkan membuat bingung salah satu hakim konstitusi itu sendiri,” ujar Kaka menegaskan.

Diketahui,  para hakim MK sudah menggelar rapat permusyawaratan hakim untuk menyegerakan pembentukan MKMK.

“Berkaitan dengan laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, kami telah melakukan rapat permusyawaratan untuk menyegerakan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi,” kata 
Hakim MK Enny Nurbaningsih dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Senin hari ini.

Enny berharap majelis ini dapat segera bekerja untuk menyelesaikan tujuh laporan yang sudah masuk mengenai dugaan pelanggaran kode etik hakim MK terkait dengan Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres dan cawapres

Menurut Enny, pembentukan MKMK berdasarkan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Tujuan pembentukan majelis tersebut untuk memeriksa dan mengadili laporan dan temuan dugaan pelanggaran kode etik hakim. Enny menyebut, semua hakim MK sepakat untuk menyerahkan penyelesaian laporan-laporan kepada MKMK.

“Biarlah MKMK yang bekerja mengurus laporan tersebut sehingga kami dapat berkonsentrasi pada perkara yang harus kami tangani sesuai dengan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi,” ujar Enny.
 

Back to top button