Market

Mimpi di Siang Bolong Capres ‘Gemoy’ Ingin Setop Impor BBM

Janji Prabowo Subianto yang kini dijuluki calon presiden (capres) ‘gemoy’ bakal setop impor BBM, memang bikin gemes. Bukan apa-apa, terlalu di awang-awang, alias sulit mewujudkannya.

Ekonom muda Bhima Yudhistira bahkan tegas saja menyebut Prabowo, sedang mimpi di siang bolong. “‘Narasinya seolah bagus, ro lingkungan tapi kurang realistis. Seperti mimpi di siang bolong ya,” tegas Bhima kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (28/11/2023).

Pernyataan Bhima ini, ada musababnya. Ketergantungan impor minyak dan gas bumi (migas) di era Jokowi, sudah sedemikian akut.

Ambil contoh Januari-Oktober 2023, nilainya impor migas mencapai US$13,1 miliar. Atau setara Rp196,5 triliun (kurs Rp15.000/US$). Khusus impor BBM, nilainya mencapai US$4,4 miliar, setara Rp66 triliun. Atau  rata-rata Rp6,6 triliun per bulan.  

Data Kementerian ESDM memaparkan, kebutuhan BBM di Indonesia lebih besar ketimbang produksi. Misalnya, kebutuhan BBM tembus 1,4 juta barel per hari. Sementara produksi minyak mentah Indonesia mentok 600 ribu barel per hari. Sehingga harus impor sekitar 800 ribu barel per hari.

Okelah, gagasan Prabowo mengembangkan biofuel dari minyak sawit, jagung dan tebu, untuk mengurangi impor BBM, cukup bagus. Namun itu tadi, kenyatannya justru berbalik. Saat ini, produksi sawit, jagung maupun tebu, turun terus.

Kuartal IV-2023, Indonesia bahkan ancang-ancang impor 1,2 juta ton jagung. Langkah ini ditempuh untuk menurunkan harga jagung untuk pakan ternak yang terlanjur tinggi.

Mau kembangkan biofuel berbasiskan minyak sawit? Pada  Mei 2023, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), mencatat penurunan konsumsi biodiesel sebesar 10,4 persen.

Padahal, pemerintah telah mencanangkan program B35, yakni solar dicampur 35 persen minyak sawit. Rencananya, program biodiesel atau biosolar ini, akan naik bertahap menjadi B100.

Demikian pula pengembangan bioavtur berbasiskan minyak sawit atau Sustainable Aviation Fuel (SAF). Sempat diuji-coba di pesawat Garuda Indonesia untuk penerbangan selama 1 jam.

Satu lagi, biofuel berbasiskan tebu atau bioethanol. Kabarnya,  PT Pertamina (Persero) siap mengembangkan bioetanol sebagai campuran BBM. Yang diberi nama Pertamax Green 95. Di mana kadar bioetanol 7 persen (E7). Namun, hingga kini tak jelas nasibnya.

“Bagaimana kita bisa mencukupi ethanol sebagai pengganti BBM. Gula saja kita impor 5,8 juta ton. Apalagi kalau etanolnya dipakai untuk menggantikan BBM. Bisa krisis gula nanti, atau kita impor ethanol,” kata Bhima.

Tentu saja, masyarakat akan berhitung sebelum menggunakan biofuel. Apakah lebih irit atau sebaliknya. Demikian pula umur mesin kendaraan, apakah semakin awet atau sebaliknya. Jadi, bukan semata-mata masalah lingkungan.

Masih kata Bhima, tim Prabowo-Gibran sebaiknya membuka data skenario tidak impor BBM dengan cermat. Agar semuanya bisa terang benderang, bukan sekedar janji kampanye tanpa dasar.

“Kedua, penggunaan biodiesel secara masif sudah menimbulkan petaka pada 2022. Terjadi perebutan stok minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), antara program biodisel dengan minyak goreng. Yang berdampak kepada kelangkaan minyak goreng di berbagai daerah,” kata Bhima.

Dan jangan lupa, Prabowo sah-sah saja melontarkan gagasan pengembangan biofuel. Namun, jangan malah menimbulkan masalah baru, yakni deforestasi.

“Pembukaan lahan hutan di Indonesia bagian timur atas nama hutan tanaman energi, sudah menimbulkan banyak masalah agraria hingga lingkungan. Pada 2019, sedikitnya 38 persen hutan tanaman energi berasal dari praktik deforestasi. Setop impor BBM, kita kehilangan hutan,” pungkasnya. 

Back to top button