Kanal

Militer Kuat Tapi Rakyat Lemah

Global Fire Power (GFP) 2023 mengumumkan peringkat militer negara-negara di dunia. Pemeringkatan ini menimbulkan banyak pertanyaan. Salah satu pertanyaan besar adalah militer kuat tapi kondisi masyarakat dunia malah melemah.

GFP mengeluarkan pemeringkatan militer dari 145 negara pada 9 Januari lalu. Laporan tahunan mengklasifikasikan militer terkuat di dunia berdasarkan lebih dari 60 faktor, termasuk ukuran, pengeluaran, dan kemajuan teknologi.

Mungkin anda suka

Peringkat teratas masih dikuasai Amerika Serikat dengan indeks 0.0712. Semakin mengecil indeks, mendekati nilai 0, kekuatan militer suatu negara kian kuat. Sebaliknya, nilai 1 kekuatan militernya semakin lemah. Kemudian Rusia dan China membuntuti dengan indeks 0,0714 dan 0,0722.

Peringkat 4 dan 5 diduduki India (0,1025) dan Inggris (0,1435). Jerman (0,3881) sebagai pencetak mesin perang justru berada di peringkat 25, di tepat di bawah Thailand dan di atas Aljazair (0,3911) peringkat 26. Indonesia berdasarkan pemeringkatan itu berada di ranking 13 dari 145 dengan indeks militer sebesar 0,2221.

Peringkat Indonesia berada di atas Mesir yakni ke-14 (0,2224), Ukraina 15 (0,2516), Australia ke-16 (0,2567), Iran ke 17 (0,2712), dan Israel ke-18 (0,2757).

Adapun negara di kawasan Asia tenggara yang masuk di 20 besar adalah Vietnam (0,2855) di peringkat ke-19. Selanjutnya, Thailand (0,3738) di peringkat ke-24, Filipina (0,4811) di posisi ke-32, Myanmar (0,5768) di rating ke-38, dan Malaysia (0,6189) berada di peringkat (0,6189) ke-42.

Laporan yang bias

Laporan tahunan GFP tersebut menempatkan militer Amerika Serikat berada di posisi paling atas, diikuti oleh Rusia, China, India, dan Inggris. Dr. Ramzy Baroud, Senior Research Fellow non-residen di Center for Islam and Global Affairs (CIGA) dan juga di Afro-Middle East Center (AMEC) mengungkapkan, pemeringkatan yang dilakukan GFP ini bias, ceroboh, dan sangat dipolitisasi.

Misalnya, sementara Rusia mempertahankan posisi sebelumnya sebagai militer terkuat kedua di dunia, Ukraina melonjak tujuh peringkat, menempati posisi ke-15. “Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana GFP memperkirakan kemampuan militer Ukraina saat hampir setahun setelah perang dahsyat menghancurkan sebagian besar perangkat keras militer Kiev itu?” kata Ramzy Baroud, mengutip Middle East Monitor.

Serangkaian pertanyaan yang lebih relevan harus ditanyakan, apakah ini benar-benar waktu yang tepat untuk membicarakan kekuatan militer. “Apakah tepat membicarakan pengeluaran yang tidak masuk akal untuk perangkat keras, suatu tindakan yang pada akhirnya ditujukan untuk menghasilkan keuntungan, menanamkan rasa takut dan membunuh orang?” tambahnya lagi.

Melupakan bahaya besar

Menyusul Perjanjian Paris tentang lingkungan tahun 2015, banyak pemerintah akhirnya bangkit dengan secara kolektif menyetujui bahwa perubahan iklim memang merupakan bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia. Momen yang menjanjikan itu tidak berlangsung lama, bagaimanapun, karena Pemerintahan Donald Tr

ump mengingkari komitmen Washington sebelumnya, sehingga melemahkan tekad pihak lain untuk menurunkan emisi gas rumah kaca setidaknya 40 persen pada 2030.

Kemudian pandemi COVID-19 melanda, mengalihkan perhatian dunia semakin jauh dari krisis iklim sehingga menjadi kurang mendesak. Bagi sebagian orang, fokus baru hanyalah bertahan hidup, sementara bagi yang lain, konsekuensi ekonomi yang menghancurkan dari pandemi. Sedangkan untuk negara-negara termiskin fokusnya adalah keduanya.

“Negara-negara termiskin di dunia paling terpukul, dengan perempuan dan anak-anak memikul beban yang tidak proporsional,” menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Oxfam pada Maret 2022. Hal ini sudah diperkirakan.

Bahkan sebelum dunia berhasil sembuh dari penyakit globalnya dengan variannya yang sama mematikannya, perang Rusia-Ukraina muncul di awal tahun lalu. Bagi Rusia, aksi itu sebagian merupakan upaya berani untuk menghadapi kekerasan selama satu dekade di Donbas. Sementara bagi Barat, perang tersebut adalah pertahanan terakhir untuk mempertahankan tatanan dunia unipolar yang tidak berkelanjutan.

Persaingan global kemudian muncul dan belum pernah terjadi sebelumnya sejak Perang Dunia II. Dunia mengetahui bahwa Perang Dunia II telah menewaskan hingga 60 juta orang, menghancurkan banyak ekonomi, menyebabkan migrasi massal, menghancurkan lingkungan dan mengubah peta banyak negara dan geopolitik dunia.

Anehnya, begitu saja, orang kembali ke kenyataan pahit dari ‘permainan hebat’ di masa lalu yakni Perang Dunia. Melupakan harga-harga yang melambung tinggi, kematian yang sia-sia, kehancuran ekonomi, dan kerusakan lingkungan seacara bertahap.

Di saat-saat seperti ini, jumlah puluhan ribu korban tewas dan lebih banyak lagi yang terluka, bagi sebagian dari kita, menjadi statistik harian, tanpa emosi atau makna. Mereka hanyalah umpan dalam perang yang harus dimenangkan dengan harga berapa pun demi membentuk tatanan dunia menurut versi masing-masing. Jarang kita juga merenungkan konsekuensi perang yang tidak diinginkan.

“Apakah semua ini sebanding dengan harga darah dan darah kental yang dibayarkan setiap hari? Penghasut perang sering berpikir demikian, dan bukan karena dorongan patologis untuk melakukan kekerasan, tetapi karena keuntungan astronomis yang sering dikaitkan dengan konflik jangka panjang,” tambah Ramzy Baroud.

Berlomba jual beli senjata

Konflik global sering menyebabkan peningkatan tajam dalam penjualan senjata, di seluruh dunia, karena setiap pemerintah ingin memastikan, dalam tatanan dunia pascaperang, ia akan dapat memperoleh pengaruh dan rasa hormat yang lebih besar. Mereka yang telah naik peringkat GFP, tentu saja, ingin mempertahankan status yang diperoleh dengan susah payah. Mereka yang peringkatnya turun akan melakukan apa saja untuk bangkit kembali.

Hasilnya dapat diprediksi, lebih banyak senjata, lebih banyak konflik, dan lebih banyak keuntungan. Dan, di tengah-tengah itu semua, kemiskinan, tunawisma, ketidaksetaraan sosial, bencana iklim, respons global terhadap pandemi, semuanya diturunkan ke urutan paling bawah dari daftar prioritas, seolah-olah masalah yang dulunya kritis tidak terlalu mendesak.

Lihat saja Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 lalu telah memporakporandakan perekonomian dunia. Negara kesulitan menjaga kesejahteraan rakyatnya, akibatnya warga miskin menjadi bertambah. Kesenjangan ekonomi di negara berkembang dengan negara berpendapatan rendah dan jumlah orang miskin ekstrem telah meningkat akibat pandemi COVID-19.

“Pandemi mendorong kemiskinan di seluruh dunia yang sudah mencapai 100 juta orang menjadi miskin ekstrem. kami melihat tragic reversal development,” ujar Presiden Bank Dunia David Malpass akhir tahun lalu. Selain itu, ada kenaikan 12 persen terhadap utang pada negara berpendapatan rendah mencapai US$860 miliar.

Pendapatan per kapita pada negara berkembang mencapai 5 persen pada 2021, tetapi negara miskin hanya mencatatkan 0,5 persen. Hal ini juga diperparah dengan kondisi inflasi tinggi, minimnya lapangan kerja, dan krisis energi di beberapa negara. Selain itu, pabrik dan pelabuhan banyak yang tutup, menyebabkan logistik dan rantai pasok semakin memburuk.

Jadi apa gunanya memiliki tentara yang kuat, namun masyarakat yang lemah, tidak setara, tidak bebas, makin miskin? Ini tentu bukan pertanyaan yang harus dijawab oleh Global Fire Power, karena perubahan tidak dimulai melalui peringkat militer yang kuat atau lemah, tetapi dilahirkan di dalam masyarakat itu sendiri.

Back to top button