Market

Merugikan Negara, Penegak Hukum Didorong Periksa Bos Bapanas-Bulog terkait Demurrage Impor Beras


Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menyatakan aparat penegak hukum (APH) berwenang untuk memeriksa sebuah lembaga, bila kebijakan yang diambil berpotensi merugikan negara.

Mungkin anda suka

Hal ini ia ungkap, guna menanggapi potensi kerugian yang harus ditanggung oleh Bulog atas kebijakan Bapanas, terkait demurrage impor beras yang diduga mencapai Rp350 miliar.

“Setiap kebijakan yang diambil harus dilihat apa risikonya, kalau ternyata hal itu merugikan keuangan negara, maka nanti harus dilihat apakah ada kesengajaan yang mengakibatkan diri sendiri, orang lain, atau perusahaan yang diuntungkan,” ujar Orin kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Selasa (18/6/2024).

“Secara kelembagaan, tentu saja aparat penegak hukum berwenang melakukan proses hukum, apabila ada indikasi kerugian negara atas dugaan peristiwa pidana,” kata dia menambahkan.

Ia menyatakan pada umumnya sebuah kebijakan akan dilakukan evaluasi dan audit terlebih dahulu. Kemudian jika ditemukan kerugian negara, nantinya akan didalami apakah menjadi ranah administrasi atau pidana.

“Jika memang kebijakan itu merugikan negara, dan kebijakan itu hanya merupakan modus untuk mendapatkan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu yang dilakukan dengan sengaja, tentu APH berwenang (memeriksa),” tuturnya.

Sekitar 490 ribu ton beras impor Bulog kabarnya sempat tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Situasi ini memungkinkan munculnya biaya demurrage (denda) yang harus dibayar Bulog sekitar Rp350 miliar.

Timbulnya potensi demurrage ini diduga akibat perubahan kebijakan Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang mengharuskan impor menggunakan kontainer, padahal sebelumnya cukup memakai kapal besar.

Informasi yang didapat menyebut, sebagian beras impor di Tanjung Priok sudah bisa keluar berkat bantuan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat kunjungan kerja ke pelabuhan. Kini barang sudah berada di gudang Bulog.

Persoalannya, denda yang harus dibayarkan Bulog tersebut bisa berdampak pada harga eceran beras, demi menutupi kelebihan pengeluaran. Artinya pemerintah harus memberi subsidi lagi ke Bulog. Sampai Rabu (12/6/2024), masih ada sekitar 200 kontainer beras tertahan di Tanjung Priok. Sementara di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya tercatat 1.000 kontainer.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi buang badan dan mengarahkan untuk menanyakannya ke Perum Bulog. “Silakan dikonfirmasi dengan Direksi Bulog biar pas karena kewenangannya ada di Bulog,” kata Arief saat dihubungi, Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Sementara Dirut Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengakui, ada aktivitas impor beras sebanyak 490 ribu ton sejak awal tahun hingga Mei, yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.  

“Dari awal tahun hingga Bulan Mei 2024 terdapat puluhan kapal yang sudah berhasil dibongkar di Pelabuhan Tanjung Priok dengan total kurang lebih sebanyak 490.000 ton beras,” kata Bayu dalam keterangan tertulis yang diterima Inilah.com di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Ia menyebut proses pembongkaran memang sempat tersendat pada periode Januari-Maret. Namun Bayu tidak menjelaskan berapa besaran biaya demurrage yang dikeluarkan selama proses tersebut. Ia hanya menjamin demurrage yang dikeluarkan tidak akan berdampak pada harga eceran tertinggi (HET).

Klaim ini dipatahkan oleh anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina. Ia menegaskan, sangat memungkinkan HET bakal terimbas akibat demurrage yang dikeluarkan saat mengimpor 490 ribu ton beras membengkak. Nevi mengingatkan, pentingnya untuk tetap menahan harga beras saat ini terlebih di momen hari raya Idul Adha 2024.

“Sangat mungkin berdampak ke harga, tapi kita harus menahan kenaikan harga beras, apalagi ini di saat Hari Raya Idul Adha. Jangan dibebankan ke masyarakat dengan naiknya harga beras. Pengawasan teknis di lapangan ditingkatkan,” kata Nevi di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Back to top button