News

Mati Kena Bom atau Kelaparan! Tak Ada Tempat Aman Termasuk Sekolah

Nasib warga Gaza di Palestina sangat mengenaskan. Kini mereka meringkut dalam kegelapan, ketakutan dan ancaman kematian. Di benaknya timbul pertanyaan, jika bom tidak mengenai dirinya dan keluarganya, bagaimana mereka dapat bertahan hidup karena mulai kehabisan makanan dan air minum?

Warga Palestina di Gaza bertanya-tanya setiap hari. Apakah makanannya cukup untuk hari ini? Bisakah kita minum atau mandi? Akankah kita dapat menjangkau orang-orang yang kita kasihi? 

“Di pagi hari ketika kami cukup beruntung untuk bangun setelah malam pemboman Israel, kami saling memandang seolah-olah ingin memastikan bahwa kami ada di sana. Lalu, kita mulai menghitung: Siapa yang kehilangan teman? Siapa yang kehilangan keluarganya? Siapa yang kehilangan rumahnya?,” ungkap Ruwaida Amer dari Al Al Jazeera dalam reportasenya.

Warga yang terancam dan ketakutan itu mengenang tempat-tempat indah yang pernah dikunjungi di Jalur Gaza, tempat pasir bertemu dengan lautan berbusa. Warga memutar ulang kenangannya, berusaha mempertahankannya dengan harapan suatu hari akan menghidupkannya kembali.

Tidak ada yang berencana untuk menimbun bahan makanan sebelum serangan dari Israel ini. Bagaimanapun, membayangkan keluar untuk mencari makanan saja, meski hanya 10 menit, sangatlah menakutkan. Membayangkan kehilangan anggota keluarga karena mereka pergi keluar untuk hal seperti itu sungguh sangat menakutkan.

Bukan berarti warga mempunyai selera makan yang tinggi namun rasa sakit melihat dan mendengar yang terjadi di sekitarnya setiap hari, berita tentang teman dan kolega yang terbunuh, dan ledakan yang tiada henti membuat warga tidak bisa merasakan banyak hal seperti itu. Tapi warga harus menjaga diri agar tetap hidup. Warga juga tidak ingin mati kelaparan.

Tidak Ada Lampu, Telepon dan Air

Rumah sakit terdekat memiliki listrik sejauh ini. Jadi ketika warga putus asa, bisa pergi ke sana untuk mengisi daya ponsel, yang akan digunakan sesedikit mungkin untuk menghemat masa pakai baterai. Ketika rumah berguncang dan terdengar ledakan di dekatnya, warga tentu ingin mengetahui apa yang terjadi. Siapa yang terluka? Apakah ada yang meninggal? Sayangnya keingintahuan itu tak bisa dilakukan mengingat ponsel tak bisa digunakan untuk menghemat daya.

Ya, segala sesuatu dalam hidup tampaknya bergantung pada listrik, namun yang lebih penting bagi warta adalah rumah sakit. Yang membuat warga khawatir adalah apa yang akan terjadi pada rumah sakit jika listrik di Gaza padam total. Warga sangat khawatir berapa lama pasien kritis yang bergantung pada sistem pendukung kehidupan akan bertahan hidup tanpa listrik.

post-cover

Anak-anak Palestina berkumpul untuk mengisi botol dengan air dari keran umum di tengah konflik dengan Israel di Khan Younis, di selatan Jalur Gaza. (Foto: Ibraheem Abu Mustafa/Reuters)

Kekhawatiran warga setiap hari saat ini lebih terkait dengan kelangsungan hidup keluarganya adalah air. Anggota keluarga diingatkan untuk menggunakan air secara hemat, hanya menggunakan air jika benar-benar dibutuhkan. Soalnya, air tidak mengalir kalau tidak ada listrik, jadi warga bisa berhari-hari tanpa mendapat listrik. Sementara pabrik desalinasi sepertinya sudah kering.

“Saya hampir tidak tahu kekurangan mana yang paling perlu saya khawatirkan, padahal sebenarnya yang saya pedulikan hanyalah apakah saya dan keluarga saya dapat bertahan hidup, apakah teman-teman dan orang-orang yang saya sayangi akan baik-baik saja,” ungkap reporter tersebut.

Jadi hari-hari ketika jaringan telepon seluler mati adalah hari-hari terburuk. Selama berjam-jam – saat-saat panik yang membuat jantung berdebar-debar – warga tidak dapat menghubungi siapa pun untuk memastikan mereka masih hidup, untuk mengetahui apakah ledakan dahsyat tersebut telah terjadi di lingkungan mereka.

Apakah itu tujuan Israel? Untuk mengisolasi Gaza dari dunia luar sehingga tak seorang pun bisa melihat kejahatan yang dilakukan di sini?

Sekolah Juga Jadi Sasaran Bom Israel

Lebih dari 20.000 warga Palestina mengungsi ke sekolah-sekolah yang dikelola oleh Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada dini hari tanggal 7 Oktober, sebagai akibat dari agresi Israel yang sedang berlangsung terhadap Jalur Gaza. Keluarga yang tinggal di sepanjang perbatasan timur lingkungan Shujaiya, keluarga yang tinggal di Jalur Gaza utara, dan keluarga yang tinggal di bagian lain Jalur Gaza semuanya terpaksa mengungsi.

Menurut laporan Jurnalis Mahmoud Mushtaha, mengutip The New Arab, beberapa dari keluarga ini meninggalkan rumah mereka setelah tentara pendudukan Israel mengirimi mereka pesan-pesan ancaman, sementara yang lain meninggalkan rumah mereka segera setelah menara tempat tinggal dan bangunan dibom. 

Keluarga-keluarga yang direlokasi ke sekolah-sekolah UNRWA, kini menghadapi beberapa tantangan, terutama karena banyaknya keluarga yang berdesakan dalam satu ruang kelas tanpa fasilitas dasar yang menyediakan standar hidup minimum, seperti listrik dan air. Misil ada di mana-mana, warga tidak punya tempat tinggal yang aman. Perempuan dan anak-anak berteriak ketakutan.

“Saat kami berada di rumah, tidak menyadari apa yang terjadi di luar, kami mendengar suara ledakan yang tidak disengaja. Kami tidak tahu dari mana datangnya bom-bom ini, saya keluar bersama keluarga tanpa saling mengecek satu sama lain. Setelah beberapa menit berjalan, kami mulai saling memeriksa,” kata Kamal Obeid, 32 tahun, salah seorang warga.

Israel mendeklarasikan “keadaan perang” dan menyetujui “langkah militer yang signifikan” setelah serangan mendadak Hamas. Hal ini mengakibatkan 18 tower dan bangunan tempat tinggal hancur, dengan rincian 159 unit rusak total, dan 1.210 unit rumah rusak sebagian, termasuk 36 unit tidak layak huni . Hal ini menyebabkan sekitar 263.000 pengungsi di sekolah-sekolah terpaksa mengungsi, menurut kantor PBB – dan angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat. 

Kamal Obeid, ayah dari lima anak, terpaksa mengungsi dari rumah amannya di lingkungan Shujaiya ke sekolah UNRWA di lingkungan Tal-elhaw, Gaza barat. Ia tinggal bersama ketiga saudara laki-lakinya, dua di antaranya sudah menikah dan memiliki 11 anak, dan satu lagi belum menikah bersama orang tua mereka.

Banyak orang tua yang mengungkapkan perasaan sangat sedih karena tidak mampu memenuhi kebutuhan anak-anak mereka karena kurangnya sumber daya sekolah, dan perasaan sangat sedih karena kehilangan rumah tanpa tempat berlindung yang aman bagi diri mereka sendiri dan keluarga.

“Situasi di sekolah sangat buruk, tidak ada listrik atau air. Pada hari keempat pengungsian di sekolah bersama anak-anak kami, tidak ada bantuan kemanusiaan yang datang untuk memberikan layanan atau kebutuhan apa pun,” kata Kamal.

“Kita 24 orang, bayangkan kita semua dalam satu ruang kelas, tidak ada tidur dan istirahat. Dalam sekejap mata, kami semua menjadi tunawisma. Kami tidak yakin apa yang harus dilakukan selanjutnya,” kata Kamal.

Om Ramzi Jendia, 57 tahun, terpaksa mengungsi untuk keempat kalinya. Dia menjalani seluruh agresi Israel di Gaza sejak tahun 2007. “Ini keempat kalinya saya harus meninggalkan rumah. Setelah setiap agresi berakhir, saya katakan bahwa ini adalah kali terakhir saya pergi, namun hidup di bawah pendudukan Israel bukanlah saat terakhir untuk menderita,” katanya.

Meskipun tragedi pengungsi tidak dapat digambarkan, beberapa dari mereka juga kehilangan orang yang mereka cintai, dan yang lainnya tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka. “Saat kami duduk di sekolah untuk memastikan satu sama lain baik-baik saja, mereka memberi tahu saya bahwa tiga putra saudara perempuan Anda terbunuh dalam pengungsian,” kata nenek yang sangat terpukul itu.

Rumah Om Ramzi Jundia pernah menjadi tempat berlindung bagi 45 orang sekaligus. Putra-putrinya, serta cucu-cucunya, kini menjadi tunawisma dan tidak memiliki tempat tinggal yang aman.

Ahmed Jendia, 22, mengungsi dari lingkungan Turkman, di Gaza timur. “Intensitas pemboman di wilayah kami memaksa kami mengungsi. Rudal ada dimana-mana, kita tidak punya tempat tinggal yang aman. Perempuan dan anak-anak berteriak ketakutan,” katanya kepada The New Arab. 

Selain kepadatan yang berlebihan, terdapat sekitar lebih dari 1.000 orang yang berada di dalam sekolah, sehingga tidak cocok untuk digunakan sebagai tempat berlindung. Pasokan air di sekolah terputus, sehingga sulit bagi siapa pun di sekolah untuk mencuci atau mandi, jelas Ahmed Jendia.

“Adegan perpindahan rumah kami selama serangan itu sangat mengerikan. Ini adalah kejadian migrasi yang berulang yang dialami nenek moyang kami pada tahun 1948. Anak-anak saya menangis melihat orang-orang terbunuh dan terluka di sekitar mereka,” kata seorang saksi mata lainnya, yang berada di sekolah bersama para pengungsi. 

Gaza tidak memiliki tempat yang aman bagi warga sipil. Orang-orang yang tinggal di dekat perbatasan di timur atau utara Gaza dievakuasi ke lingkungan Al-Rimal di tengah Jalur Gaza, tempat beberapa bisnis terbesar berada. Pesawat Israel kemudian membombardir lingkungan Al-Rimal, yang dianggap banyak orang sebagai kawasan aman. Serangan pendudukan Israel bahkan menargetkan sekolah-sekolah UNRWA, yang berafiliasi dengan PBB. Mengerikan!

Back to top button