Market

Lucas: Terlalu Mudah Bikin Bangkrut, UU Kepailitan Harus Direvisi

Jumat, 25 Nov 2022 – 14:52 WIB

Lucas - inilah.com

Penasihat dan Pendiri Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) Lucas menilai sudah saatnya UU Kepailitan dan PKPU Direvisi. (Foto: Tangkapan layar Youtube HukumID)

Keberadaan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dinilai sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan dunia usaha belakangan ini. Salah satunya adalah, syarat untuk mengajukan pailit dan PKPU terlalu ringan dan mudah. Karena itu dipandang perlu segera merevisi undang undang dimaksud.

“Jadi saran saya kalau belum revisi undang undang, sementara ini bisa dibuat perpu atau MA (Mahkamah Agung) mengeluarkan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) menyangkut kira kira berapa syarat nilai utang untuk mengajukan PKPU. Juga dibandingkan dengan asetnya, lalu bagaimana mekanisme test insolvensinya. Jadi jangan sampai dia belum insolven terus pailit karena rencana perdamaiannya ditolak atau rencana perdamaiannya terlambat diajukan,” papar Penasihat dan Pendiri Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) Lucas, seperti dikutif dari kanal Youtube HukumID, Jumat (25/11/2022)

Lucas menjelaskan, kepailitan berdasarkan pasal 1 ayat 1 UU No 37 tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Sedangkan PKPU adalah suatu masa dimana seluruh kreditor yang konkuren dan separatis dipanggil untuk mendaftarkan kewajibannya. Kemudian debitor yang di PKPU mengajukan rencana pedamaian atau penyelesaian utang.

“Jadi PKPU ini penawaran. Tolong beri kan saya kesempatan. Saya masih masih mampu mengelola, asal saya dikasih nafas. Diberikan dispensasi, diberikan perpajangan waktu dan diberikan kelonggaran sedikit. Nah itu disepakati oleh kreditor konkuren dan seperatis yang mewakili setengah jumlah kreditor dan tagihan sedikitnya dua per tiga atau lebih. Jadi kira kira begitu saja,” papar Lucas.

Semua proses itu menurut Lucas, sudah diatur dalam pasal 2 ayat 1 UU tentang Kepailitan. Disebutkan, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Selain itu, ada juga bunyi Pasal 8, bahwa utang itu harus bisa dibuktikan secara sederhana.

“Apabila tiga syarat itu dipenuhi, pengadilan bisa saja memenuhi permohonan yang diajukan pemohon kepailitan. Nah pemohon kepailitan PKPU bisa dari debitor atau kreditor. Inilah yang membuat  permohonan PKPU jadi marak,” kata Lucas.

Syarat Nilai Utang

Dia melihat, perlu aturan lebih rinci tentang berapa besar utang yang bisa diajukan PKPU atau pailit sehingga tidak merugikan kreditor yang lain.

“Harus ditentukan berapa syarat nilai utang yang boleh diajukan PKPU atau pailit. Jangan jangan ini urusan aset transaksinya ratusan miliar, hanya gara gara urusan utang 20 juta di PKPU, hanya urusan 50 juta di PKPU. Jadi harus ada perbandingannya. Untuk aset yang satu triliun itu berapa batasan utang yang bisa di PKPU. Berapa persen batasannya. Ini harus dipertegas,” jelas Lucas pula.

Selanjutnya menurut Lucas, harus ada yang disebut insolvensi test terhadap debitor. Sayangnya hal ini belum diatur dalam undang undang.

“Disini hanya dikatakan jika debitor ditolak rencana pedamaiannya maka insolven. Sebenarnya gara gara ditolak rencana perdamaiannya terus insolven itu gak fair. Insolven itu benar benar dia sudah tidak mampu lagi menjalankan usahanya. Sudah terlalu minus. Tapi kadang kadang tidak begitu adanya. Dia baik baik saja, asetnya masih banyak, hanya cash flow-nya saja yang terganggu. Dia hanya butuh cash. Jadi test insolven ini harus benar benar diatur,” jelas Lucas.

Menurut Lucas, pengajuan PKPU yang mensyaratkan adanya dua utang yang jatuh tempo dan salah satunya tak bisa dibayar, terlalu ekstrim. “Misalnya perusahaan punya ratusan kreditor masak gara gara dua kreditor dia bisa pailit. Ini kan gak logis, harus ditambah syaratnya,” kata Lucas.

Dia juga mempertanyakan bunyi pasal 8 UU Kepailitan yang menyebutkan utang tersebut harus bisa dibuktikan secara sederhana.

“Bagaimana itu sederhana. Apakah diperjanjikan dengan jelas, apa harus dengan akta notaris. Kata sederhana ini bisa dipakai untuk bisa menjadi pailit atau tidak pailit, untuk bisa menerima PKPU atau tidak menerima PKPU. Kata sederhana ini sesuatu yang bias, karet,” kata Lucas pula.

Itu sebabnya pengertian sederhana itu harus dipertegas. Mesti dipastikan dalam keadaan bagaimana orang disebut berutang.

“Orang dalam sewa menyewa kemudian ada bagi hasil, itu dikategorikan utang atau tidak. Atau dalam hal bagi hasil yang belum dibagi, apakah itu masuk dalam utang. Atau soal pengakuan utang. Nah ini harus diatur. Sekarang agak bias. Beberapa putusan pengadilan berbeda beda soal ini. Kita butuh patokan yang jelas,” pungkas Lucas.

Back to top button