News

Lika Liku Jaminan Kesehatan Nasional, Manifesto Amanat Konstitusi

Amanat konstitusi mendorong negara harus memberikan pelayanan kesehatan terbaik bagi segenap rakyat, dan itu tidak bisa ditawar

Sejak bangsa ini belum lahir, istilah jaminan kesehatan sudah ada, meski di era kolonial kala itu, hak ini hanya berlaku untuk kaum kelas satu. Setelah pengakuan kedaulatan, upaya menjamin kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat mulai di tata, meski pada mulanya hanya terkonsentrasi bagi pegawai negeri sipil beserta keluarga.

Pakar Kebijakan Kesehatan, Dr. Hermawan Saputra, mengatakan lika liku terbentuknya badan pengelola jaminan kesehatan tidak terlepas dari amanat konstitusi yang termaktub dalam Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada Pasal 28 H ayat (1), yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

“Lahirnya asuransi  kesehatan merupakan manifesto dari amanat konstitusi,” ujar Hermawan Saputra, ketika berbincang dengan Inilah.com, Jumat (21/7/2023)

Adalah Prof. G.A. Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan era Presiden Soekarno dan Soeharto memunculkan gagasan akan perlunya menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta (universal health insurance). Mengutip dari BPJS.go.id, pada tahun 1968 mulai dilakukan tahap awal tata kelola jaminan kesehatan dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 1968, yang kemudian menjadi landasan hukum terbentuknya Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK).

5 1 - inilah.com
Mantan Menteri Kesehatan era Presiden Soekarno dan Soeharto, Prof. G.A. Siwabessy. (Foto:Istimewa)

Hingga pada tahun 1984, Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 dan 23 Tahun 1984, yang membuat BPDPK berubah status dari sebuah badan di lingkungan Departemen Kesehatan menjadi BUMN, yaitu PERUM HUSADA BHAKTI (PHB) yang melayani jaminan kesehatan bagi PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.

Kemudian pada tahun 1992, PHB bertransformasi menjadi PT Askes (Persero) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992. PT Askes (Persero) mulai menjangkau karyawan BUMN melalui program Askes Komersial.

Pada Januari 2005, PT Askes (Persero) dipercaya pemerintah untuk melaksanakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang selanjutnya dikenal menjadi program Askeskin, dengan sasaran peserta masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60 juta jiwa yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.

Ide Prof. G.A. Siwabessy soal cakupan kesehatan semesata baru terlaksana setelah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan resmi beroperasi pada 1 Januari 2014, sebagai transformasi dari PT Askes (Persero).

272934a8jamkesmas - inilah.com
Kartu Jamkesmas (Foto: Kemkes.go.id)

Hermawan Saputra melanjutkan, amanat konstitusi ini yang kemudian mendorong adanya jaminan bagi setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik. Soal diawal Republik berdiri jaminan itu hanya menjangkau golongan tertentu, menurut Hermawan menjadi sebuah kewajaran karena berkaitan dengan kondisi geografi dan ekonomi.

“Ketika kita bicara terjangkau  maka ada  dua, terjangkau secara geografi  atau aksesibilitas  dan terjangkau secara ekonomi atau pembiayaan,” kata Hermawan.

Amanat ini juga yang lantas mendorong Indonesia mengadopsi asuransi sosial yang mengharuskan negara bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan masyarakat. Dimulai dari ide jaminan kesehatan daerah atau Jamkesda, hingga kemudian diatur secara nasional dengan keluarnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Konsep asuransi sosial yang berlaku di Indonesia ini, berbeda dengan konsep asuransi komersil di Amerika Serikat, dimana Konsep yang muncul sejak tahun 1960 ini meletakan asuransi kesehatan menjadi urusan pribadi.

“Jadi siapa yang bisa menginvestasikan  sejumlah dana di masa produktifnya, maka ketika dia membutuhkan layanan sosial termasuk kesehatan, maka dia memiliki asuransi komersial,” kata Hermawan.

Hermawan mengatakan, konsep asuransi komersil ini berkembang cukup pesat hingga mencapai puncaknya sekitar tahun 2000-an. Konsep ini mulai tergerus, khususnya di Indonesia saat lahirnya jaminan kesehatan nasional melalui BPJS.

Suasana Antran Di Kantor Bpjs Kesehatan 20180217 205849 - inilah.com
Suasana Antrian di Kantor BPJS Kesehatan. (Foto:Istimewa).

“Tetapi sekarang muncul lagi transisi terbaru dengan adanya UU Kesehatan yang baru, dimana berbagai bentuk jaminan ini akan saling melengkapi atau complement benefit dan ada benefit sharing,” kata Hermawan.

UU Kesehatan yang telah berlaku ini, dikatakan Hermawan, kembali menghidupkan asuransi komersil, dimana ada integrasi antara asuransi sosial yang dikembangkan pemerintah dengan asuransi komersil yang menjadi benefit tambahan.  Hal dikatakan dia, menjadi positif lantaran para peserta jaminan kesehatan akan mendapat pilihan dan variasi produk asuransi.

“Kalau yang asuransi sosial ini kan sifatnya gotong royong, tetapi kalau mereka yang mampu membayar lebih maka juga akan tetap berkembang commercial assurance, dimana berbagai pilihan dan variasi produk akan kembali semarak dan mengisi ruang-ruang jaminan kesehatan,” kata Hermawan.

Terlepas dari pro dan kontra terkait pemberlakukan UU Kesehatan, menurut Hermawan, ada perbaikan dalam tata kelola jaminan kesehatan, salah satunya tidak terpaku dengan aturan BPJS. Masyarakat, sambung Hermawan, kini diberikan opsi untuk menambah kebutuhan akan pelayanan kesehatan.

“Secara konsep itu bagus, artinya ada peran negara untuk menjamin kesehatan masyarakat kita menyebutnya asuransi sosial, tapi kalau secara privat sektor tetap harus dorong agar juga perusahaan-perusahaan termasuk orang yang memiliki kemampuan untuk asuransi komersil atau asuransi tambahan dengan pendekatan komersial itu juga memiliki,” kata Hermawan.

Img 20201129 Wa0005 760x490 - inilah.com
Pelayanan Kesehatan di daerah terpencil. (Foto:PemkabLuwu)

Sementara itu pakar ekonomi kesehatan Dr. Chriswardani Suryawati, M.Kes, menyatakan, ada beberapa Pekerjaan Rumah (PR) yang mesti diselesaikan  dalam urusan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), salah satunya menjangkau masyarakat di daerah terpencil.

“Salah satu masalah yaitu masih ada sebagian besar masyarakat khususnya didaerah-daerah yang jaringan fasilitas kesehatannya belum memadai,” ujar Dr Chriswardani kepada Inilah.com, Sabtu (22/7/2023).

Lagi-lagi masalah geografis menjadi penyumbat dari meratanya JKN bagi masyarakat luas.”Jaminan kesehatan itu menjamin biaya di fasilitas kesehatan tapi tidak menjamin transportasinya. maka itu masih menjadi msalah sampai sekarang,” kata Chriswardani.

Hal ini yang kemudian diresahkannya mengingat UU kesehatan saat ini, justru memberi wewenang berlebih bagi Menteri Kesehatan.

Chriswardani menilai, menjadi tidak tepat jika Menkes memegang kordinasi, sebab menurutnya, BPJS tidak cuma mengurusi layanan kesehatan, namun di dalamnya juga berkaitan dengan berbagai pihak. Ia memberi contoh dalam urusan Penerima Bantuan Iuran (PBI), dimana menjadi urusan Kementerian Keuangan dalam hal pencairan anggaran.

“Kemudian ada juga yang PBI daerah, daerah itukan berarti kewenangan wali kota, bupati dan gubernur itu ada di bawah kementerian dalam negeri, itu mereka mengalokasikan APBD, mereka punya aturan sendiri,” kata Chriswandi, Dr Chriswardani kepada Inilah.com, Sabtu (22/7/2023).

1626248301 Perjuangan Nakes Lakukan Tracking Di Pelosok Desa Ambulans Harus Lewati Jalan Berlumpur - inilah.com
Beberapa pekerja nakes coba menarik mobil ambulance yang terjebak lumpur ketika ingin masuk ke daerah pelosok. (Foto:Istimewa)

Belum lagi menurut dia, ketika akses Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk sampai ke pelosok daerah terpencil, yang kemudian juga menjadi wewenang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menyediakan akses jalan.

“Sebenarnya ini adalah penyempitan, penyempitan karena jaminan kesehatan  itu bukan urusannya semata-mata Menteri Kesehatan,” kata Chriswardani.

BPJS sebagai salah satu motor JKN, dikatakan Chriswardani, sejatinya masuk dalam lembaga keuangan bukan bank, dimana pengawasannya berada di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia menilai, kordinasi BPJS harus tetap berada di bawah Presiden.

“JKN indonesia ini menjadi JKN terbesar di dunia, sekiar 230 juta karena pesertanya sudah sekitar 90 persen dari jumlah penduduk indonesia. Itu urusan segitu banyaknya tidak bisa diberikan kepada Menteri kesehatan,” kata Chirswardani. (Nebby/ClaraAna)

Back to top button