Kanal

Langgar Konstitusi Demi Kuasa, Semangat Pemakzulan Jokowi Membara dari Yogya


Seiring waktu, keburukan pemerintahan Jokowi semakin terungkap. Gerakan untuk memakzulkan Presiden Jokowi menguat. Dimulai dari kampus biru, tempatnya menimba ilmu.

Mungkin anda suka

Mendekati masa pensiun, nama Jokowi bukannya malah wangi, namun justru semakin dibenci. Lantaran tingkah polahnya sendiri yang dinilai sering menabrak konstitusi. Hanya demi kekuasaan. 

Dan, Petisi 100 yang berisi sejumlah tokoh dan aktivis, rajin mengingatkan pemerintah. Karena tak ada perubahan, kesalahan semakin fatal maka petisi ini mendorong pemakzulan Jokowi.

Asal tahu saja, Petisi 100 didirikan mantan KASAD, Jenderal TNI Purn Tyasno Sudarto; mantan Ketua MPR, Amien Rais; Guru Besar UGM, Zainal Arifin Mochtar; pengajar UNS, M Taufiq; Ketua FUI DIY, Syukri Fadholi; Ketua BEM KM UGM, Gielbran M Noor; serta pengamat energi, Marwan Batubara.

Kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (2/2/2024), Marwan yakin betul bahwa delik hukum untuk pemakzulan Jokowi, sudah cukup kuat. Sehingga pada Juli 2023, petisi ini rajin melobi DPR, DPD dan MPR, mendesak pemakzulan Jokowi.

“Pemakzulan semakin relevan setelah adanya serangkaian pelanggaran konstitusional yang baru saja dilakukan Jokowi,” kata Marwan.

Pelanggaran konstitusional baru yang dimaksud, antara lain keterlibatan Jokowi sebagai ipar mantan Ketua MK, Anwar Usman dalam pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 ihwal batas usia capres-cawapres. 

Di mana, putusan MK itu, memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, menjadi cawapres-nya Prabowo Subianto. Namun, putusan tersebut mendapat sorotan besar dari publik. 

Selanjutnya, dibentuklah Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang memutuskan Anwar Usman melanggar etik berat, sehingga harus diberhentikan dari posisi Ketua MK.

Nepotisme Jokowi itu, menurut Petisi 100, jelas melanggar Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ancaman hukuman maksimalnya hingga 12 tahun penjara.

“Dengan pelanggaran ini, Petisi 100 akan segera melaporkan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Jokowi, Anwar Usman dan Gibran,” kata Marwan.

Petisi 100 juga menyinggung pengakuan mantan Ketua KPK Agus Rahardjo yang menjelaskan adanya intervensi Jokowi terhadap KPK. “Mulai dari merevisi UU KPK untuk memperlemah KPK dengan diadakannya SP3 dan menjadikan lembaga rasuah berada di bawah presiden, hingga pengakuan Agus Rahardjo soal intervensi presiden di kasus e-KTP,” kata Marwan.

Adapun dasar hukum pemakzulan, Petisi 100 mengatakan adalah TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur tentang pemakzulan Presiden. Bahwa, petisi 100 bersikap bahwa Presiden Jokowi sudah sangat mendesak untuk mundur atau dimakzulkan.

Petisi 100 bersepakat akar masalah semua persoalan bangsa adalah Jokowi. “Untuk itu menuntut pemakzulan Presiden Jokowi sesegera mungkin dan diadili,” kata Petisi 100, dalam pernyataannya. Mereka mengaku berkewajiban terhadap upaya menyelamatkan bangsa dan negara,” kata Marwan.

Dari WAG ke Petisi Bulaksumur

Munculnya petisi Bulak Sumur ini, berawal dari sebuah WhatsApp Group (WAG) bernama UGM Guyub Rukun.

Sejumlah dosen, guru besar serta civitas akademika UGM acapkali melontarkan keresahan atas kepemimpinan Presiden Jokowi. Yang juga bagian Keluarga Besar UGM disingkat Kagama.

Memang betul, tak sedikitpun terbetik niat dari civitas akademika UGM untuk memakzulkan Jokowi. Namun, bibit kekecewaan ini, bisa terakumulasi dan melahirkan gerakan rakyat untuk pemakzulan.

Karena itu tadi, Jokowi seringkali kebablasen. Dari bincang-bincang di WAG UGM Guyub Rukun itu, terbetik rencana menyusun petisi untuk sang presiden. Namanya disepakati ‘Petisi Bulaksumur’.

Sejak Jumat (26/1/2024), rencana penyusunan Petisi Bulaksumur ini, menyebar dengan cepat. Termasuk ke kuping Rektor UGM, Prof Ova Emilia dan sejumlah mahasiswa serta aktivis.

Selanjutnya, pihak rektorat mengutus Sekretaris Universitas Gadjah Mada (UGM), Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu untuk menemui pengagas petisi tersebut.

Sehari sebelum pembacaan petisi, atau tepatnya Selasa (30/1/2024), Andi menemui para penggagas, satu per satu. “Kalau ditanya Bu Rektor, tahu dengan itu (petisi Bulaksumur), ya jelas ngerti. Kita, kami perangkatnya suatu kewajiban untuk menyampaikan. Cuma kan baru tadi malam, kemarin sore mulai ada beberapa yang kecewa tentang itu,” jelas Andi, di Kampus UGM, Yogyakarta, Jumat (2/2/2024).

Pada Rabu (31/1/2024), Gedung Balairung UGM dipenuhi puluhan guru besar, akademisi, alumni bahkan aktivis BEM KM UGM. Kali ini bukan untuk demo atau menjalankan kegiatan belajar, melainkan meenggelar pembacaan Petisi Bulaksumur.

Sebelum acara puncak, dua mantan rektor UGM serta sejumlah akademisi dan aktivis menyampaikan orasi di mimbar akademik. Mereka adalah eks Rektor UGM (2002-2007), Prof Sofian Effendi; eks Rektor UGM (2017-2022), Prof Panut Mulyono; Guru Besar FKKMK UGM, Prof Yati Soenarto; Dosen Hukum Tata Negara FH UGM, Dr Zainal Arifin Mochtar; Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Dr Abdul Gaffar Karim; serta Ketua BEM KM UGM, Gielbran Muhammad Noor.

Sedangkan untuk pembacaan Petisi Bulaksumur dilakukan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Prof Koentjoro. Isinya dahsyat. Bahwa, civitas akademika UGM merasa prihatin dengan banyaknya penyimpangan konstitusi yang terjadi di era Jokowi.

“Kami menyesalkan tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi yang merupakan bagian dari Keluarga Besar Universitas Gadjah Mada (Kagama),” kata Prof Koentjoro.

Mulai dari pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi melenggang mudah menjadi calon wakil presiden (cawapres), mendampingi Prabowo Subianto.

Atau keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif Jokowi tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye.

Jelas-jelas tidak ada semangat untuk menjaga netralitas pejabat negara di era Jokowi. “Keberpihakan merupakan wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi,” kata Prof Koentjoro.

Petisi itu, juga mengingatkan agar Jokowi sebagai alumni UGM, berpegang teguh kepada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi.

“Hal itu demi melanjutkan estafet kepemimpinan untuk mewujudkan cita-cita luhur sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945,” katanya.

Kampus Bergerak

Tak dinyana, gerakan perlawanan dari civitas akademika UGM ini, diikuti kampus-kampus lain. Selang 24 jam setelah Petisi Bulaksumur, civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogjakarta, melontarkan pernyataan sikap ‘Indonesia Darurat Kenegarawanan’.

Isinya kurang lebih sama. mengkritisi pemerintahan Jokowi yang dianggap menyalahgunakan wewenang jelang Pemilu 2024. Pernyataan sikap dibacakan Rektor UII, Prof Fathul Wahid di kampus terpadu UII, Yogyakarta.

Fathul mengatakan, pernyataan sikap ini, murni bentuk keresahan anak bangsa terhadap kondisi Indonesia saat ini. Pernyataan sikap ini tidak bersifat elitis.

Selanjutnya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melakukan hal yang sama. Guru besar UMY, Akif Khilmiyah menyebut pelanggaran konstitusi dan hilangnya etika bernegara di era Jokowi, semakin menjadi-jadi.

“Mulai dari KPK dikebiri, pejabat doyan korupsi, DPR tak berfungsi membela anak negeri, dan sebagian hakim MK tidak punya etika dan harga diri,” ucap Akif.

Puncak dari semua itu, lanjut Akif, ‘pemasungan’ hakim MK oleh ambisi penguasa negeri dan hilangnya etika dalam politik konstetasi menjelang Pemilu 2024.

Langkah perlawanan dari kampus-kampus di Yogyakarta ini, terus membesar ke daerah lain. Bahkan diikuti kampus-kampus ternama seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Lambung Mangkurat (ULM, Kaltim), Universitas Andalas (Unand), dan Universitas Padjajaran (Unpad, Bandung).

Yang bikin miris, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto justru mencurigai gerakan moral dari kampus itu, ditunggangi. Dengan entengnya, Airlangga menyebut petisi dari kalangan akademisi itu, tak lebih dari kritik dari tokoh tertentu yang memakai nama kampus. “Itu kan tokoh yang memakai (nama) kampus,” kata Airlangga

Dia mengaku sebagai alumni UGM, berhak memberikan tanggapan terhadap Petisi Bulaksumur, seperti itu. “Bulaksumur, saya juga dari Bulaksumur,” ucap Airlangga.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyebut petisi dari beberapa akademisi dari sejumlah universitas terkait pemerintahannya, merupakan hak berpendapat dan berdemokrasi. “Ya, itu hak demokrasi, setiap orang boleh berbicara, berpendapat, silakan,” ujar Jokowi saat pembukaan Kongres XVI GP Ansor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (3/2/2024).

Peluang Jokowi Dimakzulkan

Pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, menjelaskan, pemakzulan presiden harus melewati proses panjang yang tidak sederhana. Mulai dari penentuan alasan pemakzulan hingga lainnnya.

“Jadi secara substansi [alasan pemakzulan] bukan hal sederhana, dan secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus ke DPR, MK, dan MPR,” kata Zainal.

Dia bilang, ada tiga alasan seorang presiden layak dimakzulkan atau diberhentikan. Pertama, presiden melakukan pelanggaran pidana, seperti suap, korupsi, penghianatan kepada negara, dan tindak pidana berat lainnya.

Kedua, presiden melakukan perbuatan tercela. Dalam hal ini, frasa perbuatan tercela diambil dari aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat (AS). Namun, beda pemaknaan atas kejahatan di AS lebih spesifik ketimbang Indonesia.

“Misal skandal Bill Clinton dengan Lewinsky itu bukan karena hubungan seksual, tapi karena Clinton berbohong di bawah sumpah. Saya tidak tahu kalau di Indonesia perbuatan tercela diterjemahkannya seperti apa karena perdebatannya bisa panjang,” kata Zainal.

Ketiga, lanjut Zainal, jika presiden tidak lagi memenuhi syarat untuk memimpin negara. Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa presiden dan atau wapres dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya.

“Atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wapres,” kata Zainal.

Dari tiga alasan itu, apakah Jokowi memenuhi? Menurut Zainal, bisa iya dan tidak. Apakah misalnya presiden cawe-cawe dalam pemilu itu, bisa dianggap sebagai perbuatan pidana atau perbuatan tercela. “Cuma apakah bisa dikualifikasikan ke tiga jenis tadi itu pasti ada perdebatannya,” kata Zainal.

Di kalangan aktivis, kesalahan terfatal Jokowi adalah menukangi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan Gibran menjadi cawapres nomor urut 2. Dalam perkara ini, terlibatlah adik ipar Jokowi, Anwar Usman yang kemudian harus kehilangan jabatan dari Ketua MK.

“Bahkan mungkin tokoh yang pernah berkuasa di era Orba pun tidak akan pernah menyangka jika spirit Orba dapat bangkit seperti saat ini, penyelenggaraan negara yang nepotismenya dilakukan benderang,” jelas Fauzan Luthsa, aktivis FAMRED 98.

Saat ini, kata Fauzan, penyelenggara negara sudah secara nyata tidak menjalankan TAP MPR No 11/1998 mengenai Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Suka atau tidak, pemerintahan Jokowi telah mengalami distrustyang sangat mendalam.

“Sebaiknya Jokowi cuti saja. Karena apa? Posisinya sudah tidak netral lagi dan jika tidak ambil cuti, maka produk pemilu nanti akan berpotensi melahirkan ketidakpercayaan. Negara dan rakyat tidak boleh kalah oleh keluarga penguasa,” kata Fauzan.

Setali tiga uang dengan Fauzan, Agung Nugroho yang juga aktivis KOMRAD 98 itu, menyebut pemerintahan saat ini, tak beda dengan psikopat yang tak peduli dengan norma dan moral, demi kekuasaan.

“Dengan memanfaatkan kekuasaannya, Jokowi melakukan tindakan politik yang menabrak segala bentuk peraturan dan perundang-undangan untuk kepentingan keluarga dan koleganya memiliki kekuasaan politik” ungkap Agung.

Dia juga mengatakan, yang dilakukan Jokowi membuat demokrasi tidak sehat dan bertendensi berpihak dalam pelaksanaan pemilu 2024 khususnya pilpres. “Pemilu terancam curang jika Jokowi yang notebene masih menjabat sebagai presiden di tengah anaknya ikut menjadi peserta sebagai cawapres” jelas Agung. (Rizky, Diana. Vonita). 

 

 

 

Back to top button