Market

Percuma Kerja Keras Menteri Bahlil, Apindo: Investasinya Tak Kurangi Pengangguran

Kerja keras Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia merealisasikan investasi Rp1.207 triliun pada 2022, ternyata gagal menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Masih banyak pengangguran. Pertanda investasi dan pertumbuhan ekonomi tak berkualitas.

Tak sedang bercanda, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyayangkan tingginya capaian investasi 2022 yang berhasil melampaui target Rp1.200 triliun. Karena tak berdampak kepada penyerapan tenaga kerja yang ada.

“Saya selalu bilang bolak-balik, apakah pertumbuhan ekonomi kita berkualitas? Menurut saya enggak. Kenapa? Pertumbuhan ekonominya tinggi, investasinya tinggi tetapi tidak bisa memberikan lapangan kerja yang besar untuk rakyatnya,” kata Hariyadi dalam peluncuran Apindo Business & Industry Learning Center (ABILEC) yang dipantau secara daring di Jakarta, Senin (13/2/2023).

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi 2022 mencapai 5,31 persen. Pertumbuhan ini jauh lebih tinggi dari capaian pra pandemi yang rata-rata sebesar 5 persen dan merupakan capaian tertinggi sejak 2014 silam.

Dari sisi investasi, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sepanjang 2022 mencapai Rp1.207,2 triliun, tumbuh 34 persen dibandingkan capaian tahun 2021 sebesar Rp901,02 triliun.

Meski tumbuh gemilang, penyerapan tenaga kerja dari realisasi investasi tahun 2022 tercatat hanya 1,3 juta orang. “Investasi 2022 sebesar Rp1.207 triliun. Itu naiknya luar biasa, tetapi yang kita prihatinkan, penyerapannya cuma 1,3 juta orang. Artinya Rp1 triliun menghasilkan (lapangan pekerjaan bagi) cuma 1.081 orang. Bandingkan 9 tahun lalu. Pada 2013, investasi hanya Rp398 triliun. Namun, mampu menciptakan 1,8 juta lapangan kerja. Atau tiap investasi Rp1 triliun serap 4.600 pekerja,” terang Hariyadi.

Hariyadi menilai, kondisi tersebut mencerminkan terjadinya pola industri yang padat modal atau capital intensive industry. Arah kebijakan sektor industri ke depan harus diubah agar bonus demografi yang selama ini diagung-agungkan tidak sia-sia.

Di sisi lain, pekerjaan rumah (PR) lain yang harus dihadapi adalah masih tingginya pekerja dengan pendidikan rendah. “Angkatan kerja 58 persen hanya tamatan SMP ke bawah. Ini PR kita bersama,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri Bidang Transformasi Digital, Kreativitas dan Sumber Daya Manusia Kemenko Perekonomian, Rizal Edwin mengakui, dominasi low skill workers dengan latar belakang pendidikan SMP ke bawah pada angkatan kerja nasional merupakan salah satu tantangan dalam peningkatan kualitas SDM di Indonesia.

Padahal, peningkatan kualitas dan daya saing SDM menjadi salah satu faktor krusial dalam mendorong transformasi ekonomi. Bahkan RPJMN 2020-2024 menempatkan SDM sebagai modal utama untuk menuju pembangunan yang inklusif dan merata di seluruh wilayah Indonesia.

“Upaya peningkatan kualitas SDM bukanlah hal yang mudah. Masih terdapat sejumlah tantangan, seperti misalnya tadi sudah sampaikan yaitu dominasi low skill workers dengan latar belakang pendidikan SMP ke bawah pada angkatan kerja nasional kita,” katanya.

Edwin juga menyoroti masih adanya skill mismatch antara lulusan lembaga pendidikan dan kebutuhan tenaga kerja oleh industri. “Juga tantangan otomasi dan digitalisasi yang berpotensi menghapus banyak jabatan kerja,” kata Edwin.

Back to top button