News

Kutu Loncat Politik Kian Subur, Ada Apa dengan Parpol?

Jelang Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) kian subur berkembang kutu loncat politik. Ini adalah fenomena yang selalu berulang jelang masa pemilu. Para politisi ini dengan mudahnya mencari partai yang lebih nyaman, menguntungkan dan tentu saja menjanjikan untuk mendapat suara besar.

Mereka yang melakukan perpindahan partai ini bukan politisi kaleng-kaleng tetapi yang sudah lama menjadi aktivis partai bahkan sudah menjadi anggota parlemen sebelumnya. Yang jelas konstituennya akan kebingungan jika melihat baliho atau spanduk calon anggota parlemen itu sudah berubah partai.

Di antaranya caleg Eva Kusuma Sundari, mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi serta Siti Hediati Haryadi (Titiek Soeharto), putri presiden kedua Indonesia, Suharto. Eva Kusuma Sundari sudah hampir dua dekade menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) namun untuk pemilu tahun depan ia mencalonkan diri di bawah Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Sementara Deddy Mulyadi, pria berusia 52 tahun itu sudah 24 tahun menjadi anggota Partai Golkar sebelum pindah ke Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tahun ini. Sementara itu, Titiek Suharto, memiliki perjalanan politik yang lebih berliku. Dia pertama kali menjadi anggota Golkar, yang didirikan oleh ayahnya; sebelum bergabung dengan Berkarya, partai bentukan kakaknya Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal dengan Tommy Suharto, pada tahun 2018.

Tahun ini, ia berpindah partai lagi dengan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di bawah Gerindra, sebuah partai yang didirikan oleh mantan suaminya, Menteri Pertahanan dan calon presiden tiga kali, Prabowo Subianto.

Mengutip Channel News Asia (CNA), perpindahan partai sangat umum terjadi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini sehingga masyarakat Indonesia merancang istilah yang meledek, atau sindiran bagi para politisi yang melakukan praktik semacam ini yakni “Kutu loncat”.

Masalah ini kembali menjadi perbincangan di masyarakat ketika Gibran Rakabuming Raka, seorang anggota PDI-P dan putra presiden saat ini Joko Widodo, kemudian menjadi pasangan Prabowo Subianto meskipun partainya mendukung kandidat lain yakni mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Pencalonan Gibran memicu spekulasi bahwa dirinya dan ayahnya, yang juga anggota PDI-P, pada akhirnya akan melompat dan pindah ke partai lain.

Aturan Politik tentang Pindah Partai

Negara-negara seperti India dan Malaysia, di mana praktik ini diketahui telah menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan, telah mengeluarkan undang-undang untuk mencegah tindakan tersebut dengan secara otomatis memecat seorang politisi dari jabatan legislatifnya karena berpindah partai.

Peraturan tersebut sudah ada di Indonesia pada tahun 2008, namun pada tahun 2013 Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan tersebut dengan alasan bahwa pemecatan seorang anggota parlemen karena berpindah partai adalah inkonstitusional karena meskipun mereka dicalonkan oleh partai, mereka dipilih oleh rakyat.

Hingga saat ini, perpindahan partai masih belum diatur di Indonesia dan beberapa anggota parlemen tetap mempertahankan posisinya bahkan setelah berpindah partai. Meski menghindari praktik tersebut, para pakar mengatakan ini bukan saat yang tepat bagi negara berpenduduk terbesar keempat di dunia untuk mengikuti contoh India dan Malaysia.

Tidak ada angka resmi mengenai berapa banyak politisi yang berpindah dan maju ke partai lain pada pemilu mendatang. Namun, Mardiono, Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mengutip Kompas, Mei lalu bahwa 106 dari 580 calon anggota parlemen yang dicalonkan oleh PPP berasal dari partai lain.

“Kami tidak memiliki anggota parlemen dan calon presiden yang mencalonkan diri sebagai independen. Oleh karena itu, saat ini partai politik tetap menjadi yang terbaik dan terkadang menjadi satu-satunya cara bagi masyarakat untuk mengambil posisi politik yang strategis,” kata Titi Anggraini, pakar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, mengutip CNA.

“Jadi ketika ada individu tertentu yang berkonflik dengan partainya atau jika partainya tidak bisa lagi memfasilitasi ambisi atau ekspresi politiknya, langkah paling logis bagi mereka adalah berpindah partai,” tambahnya.

Motivasi untuk meninggalkan sebuah partai bisa bermacam-macam, mulai dari pertengkaran internal hingga menurunnya popularitas partai. Namun inti dari semua itu, Prof Siti Zuhro, peneliti politik senior di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa cara kerja partai politik di negara ini tidak jelas. 

“Partai politik seharusnya menjadi jendela bagaimana demokrasi kita berfungsi, namun mekanisme di dalam partai politik jauh dari demokratis,” katanya. Ia menambahkan hanya ada sedikit transparansi dan meritokrasi dalam cara pemilihan dan seleksi calon anggota parlemen atau eksekutif di dalam partai politik.

“Partai politik seringkali mengabaikan kompetensi, pengalaman atau bahkan loyalitas seorang kandidat. Pada akhirnya, ini semua tentang popularitas, koneksi, dan uang. Itu sebabnya kita melihat begitu banyak selebritis, pasangan, saudara kandung, atau anak-anak elite partai yang terpilih menjadi calon legislatif atau eksekutif,” katanya merujuk pada calon pejabat eksekutif di tingkat nasional dan daerah seperti presiden, gubernur, dan wali kota.

Sebanyak 18 partai telah memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan legislatif mendatang dan Prof Siti Zuhro mengatakan hanya ada sedikit perbedaan ideologi di antara mereka. “Indonesia tidak seperti Australia atau Amerika Serikat yang masing-masing partai mempunyai landasan ideologi yang jelas, itulah sebabnya party hopping jarang terjadi di kedua negara tersebut,” ujarnya.

Kaderisasi Mandek

Masalah lain yang timbul dari budaya party hopping adalah kaderisasi, pembinaan dan pengembangan anggota partai menjadi pemimpin partai di masa depan. “Tidak semua anggota partai mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang. Itu semua tergantung pada siapa yang Anda kenal di dalam partai,” kata Khairunnisa Nur Agustyati, Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) kepada CNA.

Sementara itu, para elit partai tetap berpegang teguh pada posisi dan kekuasaannya masing-masing tanpa memberikan banyak ruang bagi anggota baru untuk bersinar, kata direktur Perludem. Bukti nyata dari hal ini adalah bahwa partai-partai tertentu di Indonesia bisa dipimpin oleh orang yang sama selama bertahun-tahun, kata Agustyati.

Mantan presiden Megawati Sukarnoputri, misalnya, telah memimpin PDI-P sejak pembentukannya pada tahun 1998. Begitu pula dengan Prabowo Subianto, yang telah menjadi ketua partai sejak berdirinya Gerindra pada tahun 2008. Sebaliknya, ada orang-orang yang dengan cepat naik pangkat di partainya hanya karena ikatan mereka dengan elit politik Indonesia, kata para analis.

Pada tahun 2020, PDI-P mendukung Gibran dalam upayanya menjadi walikota di kampung halamannya, Surakarta, juga dikenal sebagai Solo, meskipun ia memiliki sedikit pengalaman di bidang politik atau birokrasi. Pria yang kini berusia 36 tahun itu baru bergabung dengan PDI-P setahun sebelumnya.

Sementara itu, adik laki-laki Gibran, Kaesang Pangarep, 28, langsung ditunjuk sebagai ketua partai kecil, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 25 September, hanya dua hari setelah bergabung dengan partai tersebut. “Ini menunjukkan betapa kecilnya perhatian partai terhadap kadernya sendiri,” kata Anggraini.

Konflik Internal Fenomena Biasa

Para analis mencatat bahwa perpindahan partai telah terjadi selama beberapa dekade di Indonesia, dan tidak hanya berdampak pada anggota masyarakat biasa tetapi juga elit politik. Presiden kelima Indonesia, Megawati Sukarnoputri, pernah menjadi ketua Partai Demokrat Indonesia (PDI) yang sekarang sudah tidak ada lagi sampai ia digulingkan pada tahun 1996 dalam pengambilalihan yang kontroversial. Menyusul jatuhnya Suharto pada tahun 1998, Megawati membentuk PDI-P, dengan menambahkan kata “perjuangan” untuk membedakan dirinya dari PDI sebelumnya.

Perpecahan di dalam Golkar pimpinan Soeharto juga terjadi pada tahun-tahun setelah jatuhnya mantan orang kuat tersebut. Mantan elit Golkar telah mendirikan tujuh partai politik termasuk Partai Kesadaran Rakyat (Hanura) pada tahun 2006, Gerindra pada tahun 2008, Nasdem pada tahun 2011 dan Berkarya pada tahun 2018.

Dalam beberapa tahun terakhir, konflik internal di tubuh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga membuka jalan bagi terbentuknya Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) pada tahun 2019 dan Partai Ummat pada tahun 2021. Gelora dan Ummat akan berpartisipasi dalam pemilu pertama mereka tahun depan.

Prof Situ Zuhro mencatat bahwa perpecahan ini dipelopori oleh dua jenis elit partai: elit lama yang digulingkan oleh juniornya atau mereka yang gagal mengamankan posisi ketua partainya. Perpecahan seperti itu, tambahnya, kemungkinan besar akan menyebabkan eksodus besar-besaran oleh pendukung faksi-faksi sempalan. “Ini menunjukkan betapa buruknya mekanisme penyelesaian konflik internal partai-partai,” katanya.

Back to top button