News

Kontroversi Hakim Arief Hidayat: Dissenting Opinion, Menghilangkan Berkas hingga Disanksi Dua Kali

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat jadi pusat perhatian usai MK memutuskan menolak gugatan sistem pemilu, pertahankan sistem proporsional terbuka pada gelaran pesta demokrasi 2024. Arief Hidayat menjadi sorotan karena ia adalah satu-satunya hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion soal sistem pemilu. Arief mengusulkan sistem proporsional terbuka terbatas.

“Sistem pemilu proporsional terbuka terbatas itulah yang saya usulkan. Isu hukum mengenai sistem pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka, namun tidak berarti hal tersebut menghalangi Mahkamah untuk menilai konstitusionalitasnya,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan dissenting opinion di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Menurut Arief, diperlukan evaluasi perbaikan dan perubahan pada sistem proporsional terbuka yang telah empat kali diterapkan pada 2004, 2009, 2014, dan 2019. Karena itu, ia berpendapat peralihan sistem pemilu, dari sistem proporsional terbuka ke sistem proporsional terbuka terbatas diperlukan.

Sebab dari perspektif filosofis dan sosiologis pelaksanaan sistem proporsional terbuka yang selama ini eksis, ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Karena para calon anggota legislatif bersaing tanpa etika. “Menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarkat dan adanya potensi konflik yang tajam di masyarakat yang berbeda pilihan,” cetus Arief.

Sikapnya yang beda sendiri, tentu memantik rasa penasaran publik yang ingin mengetahui lebih dalam sosok satu ini. Pria kelahiran Semarang 3 Februari 1956 ini merupakan akademisi hukum yang terpilih sebagai hakim konstitusi untuk menggantikan Mahfud MD pada 4 Maret 2013, melalui pemilihan di Komisi III DPR RI.

Tidak lama kemudian, Arief Hidayat resmi menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sejak tanggal 14 Januari 2015, setelah diambil sumpahnya pada pelantikan yang dilakukan di ruang sidang lantai 2, Gedung Mahkamah Konstitusi RI. Selama menjabat sebagai Ketua MK, Arief terpilih menjadi Presiden AACC (Asosiasi MK Se-Asia) selama dua periode.

Perjalanannya sebagai hakim konstitusi tidak selalu mulus. Diketahui, Arief pernah dikenakan sanksi etik oleh Dewan Kehormatan MK, berupa teguran lisan karena perilaku yang tidak etis, terbukti membuat katebelece.

Hal ini terjadi pada April tahun 2016 silam. Kala itu Dewan Kehormatan MK menyatakan Arief terbukti membuat surat katebelece, meski tidak mendapatkan keuntungan apapun dari ‘surat sakti’ tersebut.

Katebelece yang dimaksud adalah selembar kertas yang ditulis Arief pada 16 April 2015. Surat itu ditujukan kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Widyo Pramono yang meminta perlakuan khusus diberikan kepada seorang jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek. Arief menulis kalimat “Mohon titip dan dibina, dijadikan anak bapak” dalam surat tersebut.

Atas temuan ini, majelis Dewan Etik yang terdiri dari Abdul Mukhtie Fadjar dengan anggota M Zaidun dan M Hatta Mustafa mengusut hal tersebut. Setelah mendengar para saksi terkait, perbuatan tersebut dinilai sebagai pelanggaran etik karena selaku Ketua MK seharusnya Arief memberikan contoh teladan dalam memenuhi kode etik serta senantiasa menjaga marwah wibawa MK.

Sementara sanksi kedua dijatuhkan pada 11 Januari 2018. Sanksi dijatuhkan karena Arief bertemu dengan anggota Komisi III DPR RI di sebuah hotel. Pertemuan tersebut dilakukan sebelum uji fit and proper di DPR dan bertemu tanpa undangan resmi.

Diduga pertemuan itu untuk pembahasan pencalonan kembali Arief sebagai hakim MK. Sayangnya, untuk pelanggaran kali kedua ini, Arief lagi-lagi cuma dijatuhi sanksi berupa teguran lisan. Ia baru akan dipecat kalau sekali lagi terbukti melakukan pelanggaran.

Selain dua kali sanksi, Arief juga pernah melakukan kesalahan yang cukup fatal, ketika hilangnya sejumlah sejumlah berkas perkara yang sedang berproses. Berkas perkara yang hilang tersebut adalah berkas permohonan sengketa perolehan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2017 Kabupaten Dogiyai dan Aceh Singkil. Menanggapi hilangnya berkas-berkas tersebut, MK langsung membuat tim investigasi dan menemukan dua orang oknum pencuri yang berasal dari internal MK sendiri.

Back to top button