News

KH Cholil Nafis: Penyimpangan Ajaran Ponpes Al Zaytun Wajib Diluruskan Sesuai Fatwa MUI

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah, KH Muhammad Cholil Nafis, menegaskan pentingnya meluruskan penyimpangan ajaran yang telah dia sebutkan. Hal ini berkaitan dengan kontroversi yang timbul seputar Pondok Pesantren Al-Zaytun dan pernyataannya bahwa wanita dapat menjadi khatib dalam salat Jum’at.

Ketika ditanyai lebih lanjut mengenai penyimpangan ajaran tersebut dan dampaknya terhadap komunitas Muslim serta santri Pondok Pesantren Al-Zaytun, Rais Syuriah PBNU tersebut menjawab singkat, “Ya (penyimpangan ajaran Al-Zaytun)… harus diluruskan sesuai rekomendasi dalam fatwa (MUI) itu,” katanya kepada inilah.com, Kamis (22/6/2023).

Komentarnya ini merujuk pada Fatwa MUI No.38 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa khutbah Jum’at oleh wanita di hadapan laki-laki tidak sah. Fatwa ini muncul sebagai respons atas pertanyaan masyarakat terkait pernyataan pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang, yang mengizinkan wanita menjadi khatib.

Dalam penjelasannya, MUI menyatakan bahwa meyakini wanita boleh menjadi khatib dalam rangkaian salat Jum’at di hadapan jamaah laki-laki merupakan keyakinan yang salah dan perlu diluruskan. Sangat jelas, Cholil Nafis merujuk pada fatwa ini sebagai dasar untuk meluruskan keyakinan tersebut.

Fatwa ini menetapkan ketentuan hukum sebagai berikut:
1. Salat Jumat hukumnya wajib atas muslim laki-laki dan boleh bagi perempuan.
2. Khutbah Jumat merupakan rukun dalam salat Jumat dan harus dilakukan oleh laki-laki.
3. Khutbah yang dilakukan wanita di hadapan jemaah laki-laki tidak sah, sehingga salat Jumat yang khutbahnya dilakukan oleh wanita di hadapan jemaah laki-laki juga tidak sah.
4. Meyakini bahwa wanita boleh menjadi khatib dalam rangkaian salat Jumat di hadapan jemaah laki-laki merupakan keyakinan yang salah yang wajib diluruskan dan yang bersangkutan wajib bertaubat.

Dalam rekomendasinya, fatwa ini juga mengimbau umat Islam untuk berpegang teguh pada ajaran agama yang lurus, berhati-hati dalam memilih tempat pendidikan bagi anak-anak mereka, dan bahwa negara wajib menjamin perlindungan terhadap ajaran agama dari penyimpangan, penodaan, dan penistaan.

Meski pengasuh pondok pesantren Cendikia Amanah Depok Jawa Barat tersebut tak memberikan detail lebih lanjut tentang bagaimana proses meluruskannya, jelas bahwa panduan dan rekomendasi dari fatwa MUI menjadi acuan penting. Untuk itu, MUI, dalam kapasitasnya sebagai penasihat umat Islam di Indonesia, berperan penting untuk memastikan pemahaman yang benar tentang hukum-hukum agama dan mencegah penyimpangan ajaran.

Terlebih dalam konteks ini, peran MUI sangat krusial mengingat isu ini tidak hanya berdampak pada komunitas Muslim secara luas, tetapi juga mempengaruhi santri Pondok Pesantren Al-Zaytun yang menjadi pusat perhatian publik terkait kontroversi ini.

Cholil mengakhiri penegasannya dengan pesan singkat namun tegas bahwa keyakinan yang salah harus diluruskan. Ini adalah panggilan bagi umat Islam, khususnya Pondok Pesantren Al-Zaytun dan komunitas Muslim pada umumnya, untuk berpegang teguh pada ajaran agama yang benar dan lurus sesuai dengan rekomendasi dari fatwa MUI.

Back to top button