News

Benarkah Megawati ‘Digiring’ untuk Capreskan Ganjar, “The Little Jokowi”?

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah resmi mencapreskan Ganjar Pranowo untuk bertarung di kontestasi Pilpres 2024. Namun beredar sinyalemen bahwa keputusan tersebut tidak lahir sebagai genuine keputusan Megawati, melainkan karena keadaan yang dipaksakan.

Jauh sebelum Megawati resmi menjadikan Ganjar sebagai calon presiden PDIP, sudah mencuat rumor yang menyebut dugaan adanya kontrak politik antara pemerintah dengan sejumlah lembaga survei untuk menyukseskan langkah Ganjar menuju gelanggang Pilpres 2024. Isu tersebut mencuat sejak Januari lalu.

“Itu isu yang sudah beredar lama dan diyakini banyak orang. Seperti lembaga survei yang dikontrak jangka panjang, misalnya satu tahun. Mereka mengadakan survei berkali-kali dan survei itu kadang-kadang menggiring opini,” ujar pengamat politik Refly Harun, saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Selasa (25/4/2023) malam.

Refly sendiri mengaku meyakini kebenaran adanya kontrak politik antara pemerintah dengan sejumlah lembaga survei untuk menggenjot elektabilitas Ganjar tersebut. Sebab, menurut dia, jika melihat tren Google selama ini, Ganjar senantiasa berada di urutan paling buncit bila dibandingkan dengan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

“Ini analisis saya ya. Ternyata banyak lembaga survei yang memang ‘bekerja sama’ dengan Ganjar. Entah melalui siapa, mungkin orang (oligarki) yang kuat dalam pendanaan di belakang layar, dan sebagainya,” jelas Refly.

Jadi, menurut pakar hukum tata negara tersebut, di satu sisi lembaga-lembaga itu melakukan survei, sementara di sisi lain mereka juga melakukan penggalangan dan kampanye bagi kemenangan pihak tertentu. “Jadi kalau istilahnya mereka sudah dibeli, di-hire. Apa yang boleh keluar atau nggak itu sudah ditentukan,” kata Refly.

Ia mengaku pernah melihat big data dari salah satu tokoh politik, yang di-update big data itu ya Ganjar nomor tiga saja, Anies dan Agus Harimurti Yudhoyono waktu itu nomor satu. Refly meyakini, jauh di lubuk hati Megawati, yang ingin ia capreskan sejatinya adalah Puan Maharani.

Hal itu masuk akal untuk melanjutkan kepemimpinan PDIP di bawah trah Soekarno. Namun karena pemerintah tidak yakin Puan akan mampu menghadapi Anies Baswedan, rival terberat yang potensial dalam Pilpres 2024, dibuatlah upaya untuk mencari lawan sepadan. Ganjar dianggap cocok sebagai rival Anies, karena kader PDIP itu, dinilai sebagai ‘little Jokowi’.

Yang menjadi persoalan lain, kata Refly, selama ini Megawati terus menunggu kenaikan tren elektabilitas dan popularitas dari Puan. Hanya, karena tren naik yang dinanti-nantikan itu tidak juga terwujud, maka Ganjar yang akhirnya dipilih.

“Karena mereka (pemerintah) menganggap kalau Puan itu bukan lawan yang sebanding dengan Anies. Istana paling khawatir Anies menang,” ucap Refly.

Upaya penggiringan itu, menurut Refly, berhasil dengan resminya Gubernur Jawa Tengah dan mantan Wakil Ketua Komisi II DPR itu diumumkan sebagai capres PDIP, 21 April lalu.

“Dengan mengucapkan bismillahirahmanirahim, menetapkan saudara Ganjar Pranowo, sekarang adalah gubernur Jawa Tengah, sebagai kader dan petugas partai yang akan ditingkatkan penugasannya sebagai calon presiden Republik Indonesia,” ujar Megawati di Istana Batutulis, Bogor, Jumat (21/4/2023) lalu.

Rumor mengenai dugaan adanya kontrak politik antara pemerintah dengan sejumlah lembaga survei untuk menyukseskan Ganjar melangkah ke Pilpres 2024 juga pernah diungkapkan ke publik oleh pengamat politik, Rocky Gerung.

Pandangan Rocky soal isu tersebut pernah diungkapnya dalam kanal YouTube-nya, pada Sabtu (7/1/2023). Kala itu Rocky membeberkan bahwa ada rapat rutin antara perwakilan oligarki, lembaga survei dan beberapa menteri di sebuah ruangan di Istana.

“Dua hari lalu kita bahas terus-menerus bahwa setiap jam 04.20 di istana, dikumpulkanlah di situ lembaga survei, ada wakil oligarki untuk supply keinginan politik dan ekonomi, dan istana untuk menentukan apa headline yang mesti diajukan supaya headline-nya berguna,”kata Rocky seraya menambahkan “maka lembaga survei siap-siap kasih data tuh.”

Hasil rapat tersebut, lanjut Rocky, difabrikasi dengan tujuan untuk membuat publik gugup dan terus menekan Ketua Umum PDIP, Megawati, menjelang HUT PDIP 10 Januari 2023 agar mendeklarasikan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

“Sama seperti tadi itu, lalu timbul masalah. Ini sudah tanggal berapa, di tanggal 10 itu nanti, empat hari lagi, PDIP masih ada waktu untuk tekan Ibu Mega. Jadi begitulah kerjaan yang biasa disebut sebagai fabrikasi, dalam teori komunikasi kita (sebut) difabrikasi supaya ada semacam kegugupan pada publik,”ujar Rocky.

Dalam tayangan YouTube tersebut Rocky mengutip hasil survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Desember 2022, yang menunjukkan tingkat elektabilitas Joko Widodo hanya sekitar 15,5 persen apabila pencalonan presiden dapat dilakukan lagi. Hasil tersebut diperoleh ketika responden ditanya: “Bila Pemilihan Presiden dilakukan sekarang siapa yang Anda pilih sebagai presiden?”

Saat itu, berdasarkan survei mereka, Saiful Mujani—antara lain pada program bertajuk “Peluang Jokowi Kalau Jadi Presiden Lagi” yang disiarkan di kanal YouTube SMRC TV, Kamis 5 Januari 2023–menyebut dukungan publik pada Jokowi secara konsisten mengalami penurunan berdasarkan serangkaian hasil survei yang telah dilakukan SMRC.

Pada survei pertama yang dilakukan Mei 2021, kata dia, ada 27,6 persen publik yang menyatakan dukungan terhadap Jokowi.

Kemudian, dukungan publik terhadap Jokowi berdasarkan hasil survei SMRC secara berturut-turut pada September 2021 (19,8 persen), Desember 2021 (19,4 persen), Maret 2022 (20,1 persen), Agustus 2022 (12,5 persen), Oktober 2022 (15,2 persen), November 2022 (13,9 persen), dan Desember 2022 (15,5 persen). Saat itulah, Ganjar dianggap dapat melanjutkan kepemimpinan dan legacy yang ditinggalkan Jokowi.

“Dan itu harus cepat-cepat didengar oleh Ibu Mega ya, karena tanggal 10 HUT PDIP. Kira-kira begitu,”kata Rocky seraya mengungkapkan di istana ada ruang bernama “War Room”, untuk mengevaluasi kondisi dan isu politik secara harian.

Lembaga Survei Kompak Membantah

Isu soal penggalangan Lembaga survei itu kontan dibantah. Lingkar Survei Indonesia (LSI) Denny JA menegaskan pihaknya tidak pernah dikumpulkan pemerintah untuk menggiring opini agar Ganjar Pranowo bisa dicapreskan oleh PDIP.

Peneliti LSI Denny JA, Ade Mulyana, mengatakan pihaknya bukanlah lembaga survei yang dimaksud oleh rumor tersebut. Ia menegaskan LSI Denny JA selalu menyajikan data yang nyata, bukan dibuat-buat.

“Kami dari LSI Denny JA tidak pernah dikumpulkan oleh pemerintah untuk menggiring opini terkait pencalonan Ganjar Pranowo,” kata Ade kepada Inilah.com, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/4/2023).

Ia juga menolak pihaknya memberikan data khusus ke pemerintah terkait calon-calon presiden. “Jika rilis survei ke media, itu murni hasil pengumpulan data di lapangan dan bertujuan untuk menambah wacana serta menghiasi dinamika menjelang pemilu presiden mendatang,” sambung Ade.

Menurut dia, kalau pun ada kerja sama dengan pemerintah, itu berkaitan dengan penggalangan survei terkait pengendalian COVID-19 pada 2020, dan tidak pernah ada kontrak kerja sama berkaitan dengan urusan politik dan pencapresan.

Bantahan senada datang dari peneliti Trust Indonesia, Ahmad Fadli. Ia menegaskan pihaknya tidak mungkin melakukan manipulasi data seperti itu. Fadli berargumen, setiap gerak dan tindak lembaga survei dinaungi asosiasi dan diawasi secara hukum.

Bila kedapatan melakukan kerja sama dengan maksud memanipulasi data, kata dia, hal itu bisa dikenai sanksi oleh asosiasi dan dibawa ke ranah hukum.

“Jika lembaga survei memanipulasi data untuk memenangkan capres, apalagi data itu disampaikan kepada publik, maka itu merupakan pembohongan publik dan sangat mungkin untuk diperkarakan ke ranah hukum. Sebelum ditindak secara hukum karena menyampaikan informasi yang tidak benar, itu pun pasti akan dikenai sanksi oleh asosiasinya terlebih dahulu,” kata Fadli, kepada Inilah.com, Senin (24/4/2023) lalu.

Meski begitu ia tak menampik adanya lembaga survei yang cenderung mendukung salah satu kandidat capres dan menjadi pegangan politik bagi capres tersebut.

“Perihal tudingan bahwa lembaga survei tersebut menyuplai data, itu sudah kewajiban bila satu lembaga survei bertindak sebagai konsultan politik. Apalagi (bila) sudah dikontrak untuk menjadi bagian pemenangan capres tersebut,” ujar dia.

Back to top button