News

Keterwakilan Perempuan Rendah, Butuh Perubahan Perspektif Budaya dan Regulasi

Anggota Bawaslu RI periode 2008-2012, Wahidah Suaib membeberkan beberapa hal yang harus diperbaiki soal minimnya keterwakilan perempuan dalam politik. Ia mengatakan, perspektif budaya dan regulasi jadi faktor kurangnya keterwakilan politik perempuan.

Hal itu ia sampaikan dalam diskusi daring yang diadakan oleh Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI, yang bertajuk ‘25 Tahun Reformasi, Quo Vadis Keterwakilan Politik Perempuan’ Selasa (20/6/2023). “Ada problem perspektif dan kultur yang belum afirmatif,” kata Wahidah secara daring, diakses di Jakarta.

Salah satunya contohnya, sambung dia, bisa dilihat dari sistem perekrutan anggota Bawaslu. Menurutnya, tim seleksi yang bertugas dalam perekrutan ini harusnya punya persepektif yang luas mengenai gender. “Belum ada perspektif gender yang merata dalam komisioner dan juga timsel yang direkrut pun masih sangat minim kita menemukan timsel yang berspektif gender,” jelas dia.

Bahkan, lanjut Wahidah, perempuan yang menjadi tim seleksi pun belum tentu mengerti perspektif gender. Hal itu turut memengaruhi proses seleksi. “Ini akan sangat memengaruhi di saat melakukan seleksi. Jadi ini kulturnya perlu diperbaiki,” tegas Wahidah.

Selain itu, ia juga menyoroti soal regulasi yang juga menurutnya tak kalah penting untuk diperhatikan agar keterwakilan perempuan dapat terpenuhi. “Misalnya sudah ada aturan di UU bahwa keterwakilan perempuan. memang kursi yang diberikan pada perempuan. Nanti UU, PKPU, Perbawaslu mengatur bagaimana teknis menempatkan perempuan di situ,” paparnya.

Wahidah melihat keterwakilan perempuan tidak dapat terpenuhi karena tes-tes seleksi yang bersifat umum. Sehingga pentingnya regulasi internal lembaga penyelenggara diterapkan, agar mengantisipasi.

“Contoh di penilaian tes esai seringkali kalau penilaian bersifat umum, tes tertulis misalnya seringkali saringan perempuan banyak terlempar. Makanya di regulasi KPU pun Bawaslu penting,” tandas Wahidah.

Back to top button