News

Kesalahan Besar Joe Biden, Melupakan Jakarta dan KTT ASEAN

Datang ke New Delhi dan Hanoi, tapi tidak ke Jakarta. Presiden Amerika Serikat Joe Biden melewatkan pertemuan KTT ASEAN di Jakarta dan sebagai gantinya mengirimkan Wakil Presiden Kamala Harris. Sebuah kerugian besar bagi Biden.

Tidak elok melihat pemandangan tentang Joe Biden dalam sepekan ini. Biden malah memilih mendatangi KTT G20 di New Delhi dan ke Ibu Kita Vietnam, Hanoi setelahnya. Padahal baik Jakarta, New Delhi dan Hanoi sama-sama berada di Asia. Tidak peduli apa kata orang, mendapatkan hadiah hiburan tidak pernah menyenangkan. Dan itulah yang dirasakan Indonesia, tuan rumah pertemuan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

“Biden tidak hanya tidak hadir, tapi dia juga menghina kekuatan besar di kawasan ini – dan mengingat AS terus-menerus mengatakan ingin membangun hubungan yang lebih kuat dengan Asia, hal ini terasa seperti sebuah tujuan bunuh diri,” ujar Karishma Vaswani mengutip Bloomberg Opinion.

Melihat aksi Biden ini muncul anggapan yang kuat bahwa beberapa negara Asia lebih penting bagi AS dibandingkan negara lainnya. “Ini adalah keputusan yang dingin dan penuh perhitungan untuk memperkuat tekanan yang sedang berlangsung dalam mengkonsolidasikan masing-masing sekutu dan mitra seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina, dan sekarang Vietnam,” kata Michael Vatikiotis, penulis beberapa buku tentang Asia, termasuk Blood And Silk: Power And Konflik Di Asia Tenggara Modern. 

“Ini semua tentang menakut-nakuti Tiongkok – dan memilih masing-masing negara ini satu per satu akan lebih mudah, dibandingkan dalam forum multilateral di mana Beijing akan hadir,” tambah Michael Vatikiotis.

Kebijakan yang Bakal Terus Berlanjut

Karishma mengungkapkan berdasarkan informasi yang didapatnya, pemilihan sekutu dan mitra yang disengaja adalah gagasan dari tokoh utama kebijakan Biden di Asia yakni Kurt Campbell. Hal ini kemungkinan akan terus berlanjut, seperti yang dikemukakan Campbell dalam sebuah diskusi awal tahun ini di Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Washington. 

Strateginya adalah menciptakan jaringan di sekitar Tiongkok – sebuah rangkaian geografis negara-negara yang semuanya memandang Beijing sebagai ancaman bersama. Pertemuan Camp David yang baru-baru ini diadakan antara AS, Korea Selatan, dan Jepang adalah contohnya. 

Begitu pula dengan AUKUS, kemitraan bernilai miliaran dolar yang dicanangkan AS dengan Australia dan Inggris, serta kelompok Quad yang terdiri dari India, Australia, Jepang, dan AS, yang semuanya dirancang untuk melawan meningkatnya ketegasan Tiongkok di Laut Cina Selatan dan sekitar Taiwan.

“Ini tidak sesederhana itu. Tidak semua orang melihat dunia dengan prisma hitam-putih, kita-dan-mereka yang terpolarisasi seperti yang ditunjukkan AS pada Beijing,” tambah Karishma Vaswani yang juga mantan Editor Indonesia untuk BBC World Service. Bagi banyak negara, Tiongkok telah menjadi penyelamat dan akan terus meningkatkan perekonomiannya, meskipun saat ini sedang mengalami perlambatan. 

AS Membiarkan Pengaruh Tiongkok di Indonesia

Secara teori, Indonesia seharusnya menjadi mitra alami bagi Washington. Ini adalah negara demokrasi yang besar dan dinamis dengan hubungan militer yang kuat secara historis dengan Amerika. Namun dalam beberapa tahun terakhir, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia telah menerima tawaran ekonomi dari Beijing. 

Membiarkan pengaruh Tiongkok terus berlanjut adalah sebuah kesalahan bagi AS. Ambivalensi dari Jakarta dapat dimengerti mengingat Indonesia adalah negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara, dan memiliki prospek yang relatif kuat. 

Jelas bahwa multilateralisme menjadi kurang penting bagi AS. Amerika melihat strateginya dalam mengejar negara-negara di kawasan ini satu per satu sebagai strategi yang sukses dan efisien. Dan jika upaya tersebut adalah untuk melawan peran pesaing utamanya di Asia, maka menandatangani peningkatan besar dalam kemitraan dengan Vietnam akan jauh lebih berguna dibandingkan menghabiskan satu hari di Jakarta. 

Penolakan kehadiran Biden di Jakarta juga terlihat akibat berpikiran sempit. Hal ini mengingat tahun depan akan diadakan pemilihan umum di AS, sehingga kemungkinan besar dia juga tidak akan hadir pada pertemuan ASEAN berikutnya.

Bagi banyak negara di Asia, era Donald Trump yang menarik diri dari kesepakatan perdagangan dan America First tidak bisa dilupakan. Meskipun Biden telah berhasil meyakinkan beberapa mitra di Asia bahwa AS kembali dan terlibat di kawasan ini, negara-negara lain tidak merasakan hal yang sama. Hubungan – setidaknya yang baik – membutuhkan waktu, tenaga, dan kerja keras. Membangun kepercayaan berarti bersikap tulus dalam upaya tersebut.

Persinggahan di Jakarta sebenarnya bisa menjadi kemenangan mudah bagi Biden di saat Tiongkok sedang lemah secara ekonomi. Melewatkannya membuat AS tampak seperti hanya menginginkan perkawinan yang nyaman dengan Asia, dibandingkan kemitraan yang nyata.

Back to top button