Kanal

Kegagalan Pembangunan Ekonomi yang Hanya Berorientasi Pertumbuhan


Sementara Indonesia mengalami proses “trickle-up” yang potensial membawa ekonomi negara terjebak ke dalam middle income trap, negara-negara berkembang lain, seperti Jepang, Korsel, Cina,Turki, Malaysia, Thailand dst, justru sukses menghindarinya.

Mungkin anda suka

Oleh     :  Prof. Didin S Damanhuri*

Di tengah sekian banyak klaim keberhasilan pemerintah, terutama dalam hal peningkatan fasilitas infrastruktur, ada beberapa catatan perekonomian yang harus dilihat secara kritis.

Misalnya, data pertumbuhan rata-rata periode 2015-2019 yang tercatat 5,03 persen, sejatinya lebih rendah dari prestasi perekonomian Indonesia periode sebelumnya. Misalnya, angka rata-rata itu lebih rendah dari periode 2005-2014 , alias masa kepemimpinan Presiden SBY, yang tercatat 5,72 persen. Angka pertumbuhan rata-rata periode Presiden Joko Widodo itu bahkan jauh leih rendah dibandingkan pencapaian kepemimpinan Pak Harto selama 1969-1997, yang mencatatkan rata-rata pertumbuhan 6,77 persen. Namun hal itu mungkin bisa dimaklumi mengingat gaya kepemimpinan Pembangunan Pak Harto yang menurut Dr Arief Budiman alm tergolong gaya otoriter birokratis.

Catatan prestasi pertumbuhan itu akan kian membuat kita mengelus dada dihadapkan pada fakta pertumbuhan selama Pandemi. Selama 2020 lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan tercatat minus 2,07 persen (-2,07 persen) dan baru ‘bangun’ pada 2021, yakni pada  3,69 persen. Pasca-Pandemi COVID-19 angkanya kian positif yakni 5,31 persen pada 2022 dan 5,05 persen pada 2023.

Kualitas pertumbuhan ekonomi biasanya dilihat dari bagaimana 1) Rincian Laju Pertumbuhan Lapangan Usaha (sektor); 2) Rincian Komponen Sisi Pengeluaran ; 3) Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Pada sisi penyerapan tenaga kerja yang selama ini menunjukkan penyerapan yang besar, juga menunjukkan pertumbuhan yang kurang mengesankan. Sektor pertanian hanya tumbuh 1,77 persen (2020); 1,87 persen (2021) dan 2,25 persen pada 2022. Rata-rata pertumbuhan sektor pertanian  selama 2015-2022 hanya mencapai 3,05 persen.

Di sisi lain, pertumbuhan sektor industri pengolahan tahun 2022 tercatat 4,89 persen, alias lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi. Secara rata-rata selama 2015-2022, sektor tersebut hanya tumbuh 3,29 persen. Sementara, porsinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada 2014 masih tercatat 21,08 persen, pada tahun 2022 tinggal 18,34 persen.

Dilihat dari sisi pengeluaran untuk investasi, prestasi ekonomi kita juga tidak mengesankan. Untuk 2022 hanya tumbuh 3,87 persen, atau di bawah pertumbuhan ekonomi. Rata-rata selama 2015-2022 juga lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi. Tahun 2018 yang merupakan saat tertinggi pun hanya mencapai 3,68 perse). Angka itu terasa memilukan bila dihadapkan dengan periode 2005-2014 yang tercatat mencapai 9 persen.

Angka konsumsi rumah tangga juga tidak menggembirakan, yakni 4,93 persen untuk 2022, minus 2,63 persen pada 2020 dan 2,02 persen pada 2021.

Dari sisi pengeluaran pemerintah, yang ada bahkan angka minus 4,51 persen untuk  2022. Angka rata-rata selama 2015-2022 juga hanya 2,15 persen. Yang menggembirakan, ekspor tercatat mengalami pertumbuhan pesat, yakni 16,28 persen (2022); 17,95 persen pada 2021, dan 8,42 persen pada 2020. Sayangnya 85 persen berasal dari sawit, batubara dan besi-baja yang kecil dampaknya pada ekonomi rakyat dan sangat tergantung pada harga-harga internasional.

Kemiskinan juga masih menjadi persoalan krusial. Angka kemiskinan pada 2022 masih tercatat 9,57 persen atau 26,36 juta orang, atau dengan kata lain penurunannya sangat kecil dibandingkan sebelumnya. Selama 2014-2022, kalangan miskin hanya berkurang 1,37 juta orang, dari 27,73 juta sebelumnya, atau hanya 10,96 persen dari angka 2014.

Tiga model orientasi pembangunan negara berkembang

Ada tiga model orientasi pembangunan negara berkembang. Pertama, model orientasi pembangunan ekonomi di mana  pertumbuhan PDB hanya menjadi faktor indikatif, yakni pertumbuhan ekonomi dicapai melalui pemerataan (growth through equity). Misalnya Malaysia melalui New Economic Policy (NEP) dengan kebijakan pemihakan kepada kaum Bumi Putera. Ini berlangsung sejak era kepemimpinan Mahatir Mohammad (1981 – 2003). Jepang dan Taiwan pada awal-awal pembangunannya melalui pengembangan UMKM, atau Korea Selatan melalui land reform, juga menjadi contoh-contoh model ini.

Kedua, model pertumbuhan ekonomi bersama pemerataan (growth with equity). Indonesia pada era Soeharto (1974–1978), dengan pertumbuhan rata-rata 7,5 persen bersamaan dengan Delapan Jalur Pemerataan, atau Thailand melalui pembangunan agro-industri rakyat secara besar-besaran, menjadi contoh model ini.

Ketiga, model orientasi pertumbuhan ekonomi at all cost (GDP Oriented). Model ini diperlihatkan Indonesia di Era Reformasi, lewat privatisasi besar-besaran (2000–2014), dan melalui utang luar negeri dan pembangunan infrastruktur fisik besar-besaran , meliputi jalan tol, pelabuhan udara dan laut, LRT, MRT, IKN dst yang berlansgung selama 2014-2023. Ini juga bisa dilihat dilakukan oleh Cina lewat Zona Ekonomi Khusus. Bedanya, di Indonesia peran negara sangat minimum. Sementara di Cina ada peran besar negara totaliter komunis yang sangat kuat menjaga pemerataan dan pemberantasan korupsi yang konsisten.

Yang banyak menjadi pokok perhatian adalah terjadinya “trickle-up”, alih-alih “trickle down effect” seperti jargon pembangunan (berbasis liberalisme), yakni menetesnya hasil-hasil pembangunan ke daerah dan perdesaan serta rakyat banyak.

Pada proses “trickle- up”, sumber-sumber daya dan hasil-hasil pembangunan mengalir dari daerah-daerah dan perdesaan ke kota-kota besar dan ibu kota, serta kepada para pelaku pembangunan (pelaku bisnis dan elit-elite pendukungnya di Ibu kota dan kota-kota besar. Sementara di daerah-daerah dan perdesaan, yang  terjadi justru pengeringan likuiditas, SDA dan SDM, marginalisasi ekonomi rakyat serta ketimpangan yang makin memburuk.  

Beberapa proyeksi ke depan

Mencermati perkembangan yang terjadi, tampaknya beberapa persoalan lama masih akan berlangsung.

Penyusunan RAPBN dan RAPBD (meski dalam era Otonomi Daerah seperti sekaang) akan tetap memilih alokasi fiskal, moneter dan perbankan yang “sensitif terhadap pertumbuhan PDB/PDRB, yakni makin padat modal dan teknologi dan makin rendah akan penyerapan tenaga kerja. Dengan demikian sejatinya makin menyulitkan dalam menyejahterakan rakyat di daerah-daerah, selain makin menajamkan ketimpangan, baik antargolongan pendapatan, antarsektor serta antarwilayah.

Dengan sistem politik dan Pemilu yang mahal (high cost), maka proses “meningggalkan orientasi kepada kesejahtraan rakyat” pun makin nyata. Apalagi elite-elite ini, baik di pusat maupun daerah, terpilih melalui politik uang (money politics) dan cara transaksional. Dus, pembangunan nasional dan daerah pun makin tidak demokratris dan makin tidak berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi.

Di Era Reformasi, berbagai undang-undang, misalnya UU BI, Perbankan, lalu lintas devisa, UU Pasar Modal, dan lain-lain, yang merupakan bagian yang memprkuat GDP Oriented, bersifat “Against to Otda, Decentrlized Economy and Political democratic”, karena bersifat “financial centralism”. Dengan demikian, yang dikorbankan adalah UMKM dan daerah-daerah yang makin jauh dari Jakarta.

Pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur fisik, sosial, ekonomi, politik, dll, mendukung atau follow to GDP Oriented, dan ini akan mengorbankan UMKM, daerah-daerah serta golongan Masyarakat berpendapatan rendah, baik secara nasional maupun di internal daerah tersebut.

Dampak Pembangunan yang berorientasi GDP

Yang paling kasat mata dari dampak pembangunan yang sangat berorientasi GDP, yang pertama adalah terjadinya, pertama, dampak kesenjangan. Saat ini saja sudah terbukti lebarnya :

-Kesenjangan antargolongan pendapatan. Menurut survei Credit Suisse pada 2021 lalu, kepemilikan satu persen (!) golongan terkaya Indonesia menguasai atau sama dengan 46,6 persen kekayaan negara. Selain itu, 10 persen kepemilikan kalangan terkaya Indonesia sama dengan 75,3 persen jumlah kekayaan seluruh penduduk.

-Kesenjangan antarwilayah. Terbukti dari data bahwa sumbangan Jawa terhadap kekayaan nasional (PDB) mencakup 58,48 persen, sementara wilayahnya hanya sekitar 3 persen dari wilayah nasional.

-Kesenjangan antarsektor.  Dilihat dari kontribusi dan asset UKM dihadapkan dengan konglomerasi ekonomi. Kontribusi UMKM—yang prosentasenya merupakan 99,98 persen dari total unit usaha–terhadap produksi nasional (PDB) 2021 tergolong besar, yakni 63,34 persen. Sementara dari sisi kesempatan kerja, UMKM juga berhasil menyerap 96 persen tenaga kerja.

-Ketimpangan antaretnis. Pembangunan yang GDP Oriented telah mengantarkan fakta bahwa 95 persen penduduk adalah pribumi. Tetapi dari pribumi ini, hanya ada sembilan pengusaha pribumi, dengan porsi kekayaan yang hanya 11,1 persen.

-Ketidakadilan/ketimpangan antargolongan pendapatan, antardaerah, antarsektor  dan penguasaan asset (power index)  meningkat,  dari 678 ribu kali pada 2014,  menjadi 1.056.000 kali pada 2023, berdasarkan sumber data Forbes dan BPS. Angka ini terburuk di dunia.

Dampak kedua adalah adanya kebocoran dan korupsi yang akut.Di era Orde Baru rata-rata terjadi tingkat kebocoran sebesar 30 persen. Angka itu meningkat di Era Reformasi, yakni menjadi antara 30 persen s.d  57 persen. Data itu saya peroleh berdasarkan puluhan riset mahasiswa, bimbingan program doctor, dsb.

Ketiga otonomi daerah yang belum menyejahterakan rakyat. Baru sekitar 10 persen dari para kepala daerah yang ada dinilai berhasil memberdayakan daerah dan warganya.

Keempat, terjadinya ekosistem politik yang menyuburkan oligarki bisnis. Dengan demikian dampak selanjutnya adalah terancamnya Indonesia masuk perangkap  “middle income trap”.

Dampak kelima, terjadinya struktur tempayan dalam perekonomian Indonesia, yang masih sangat jauh dari “struktur belah ketupat”. Dengan begitu maka rasional untuk dikatakan hampir tidak ada perubahan selama kurun waktu satu dekade ini.

Negara lain yang terhindar dari “Trickle-Up”

Wajar untuk mempertanyakan, mengapa terjadi “kekecualian” dari gejala umum “trickle-up” di antara negara-negara berkembang. Sementara Indonesia mengalaminya, negara-negara berkembang lain, seperti Jepang, Korsel, Cina,Turki, Malaysia, Thailand dst, justru sukses terhindari dari trickle-up.

Ada beberapa penjelasan, namun secara sederhana, adanya proses “heterodoxi” pembangunan, atau mampunya mereka keluar dari arus besar (mainstream) turut memberi andil terhindarnya negara-negara tersebut. Heterodoxi tersebut memiliki ciri-ciri makro sebagai berikut :

-Adanya ideologi nasional yang kuat untuk mengahadapi hegemoni negara-negara maju (advance capitalist  state).

-Peran “active state” yang mampu mencegah akuisisi kaum modal terhadap pasar dan mencegah kaum modal untuk mengendalikan negara menjadi alat untuk akumulasi kapital demi kepentingan mereka sendiri.

-Adanya independensi kebijakan pembangunan.

-Adanya kemandirian ekonomi, kedaulatan politik dan aksi kebijakan berbasis Suitainable Development (ekonomi, sosial dan ekologi). Serta,

-Adanya kemandirian pangan, energi, finansial, teknologi dan pelaku bisnis untuk kepentingan nasional.

Outlook 2024: refoma ekonomi-politik secara mendasar

Berdasarkan kajian di atas, menurut hemat kami perlu dilakukan beberapa hal yang berpeluang membawa Indonesia menjadi lebih baik di kemudian hari. Hal tersebut mencakup :

-Menggeser orientasi pembangunan yang terlalu “GDP Oriented” ke arah “Sustainable Growth–secara ekonomi, sosial dan ekologi, with equity”.

-GDP sebagai faktor indikatif yang harus diikuti oleh tujuan mencapai keberlan-jutan secara ekonomi, sosial dan ekologi, serta target pemerataan dengan indikator yang kongkret dan terukur dari waktu ke waktu,  serta inline dengan kebijakan fiskal, moneter, perbankan dan tata ruang  secara nasional dan daerah-daerah.

-Reforma pengelolaan fiskal dan moneter yang terlalu terkonsentrasi di Kementerian Keuangan perlu direformasi dengan dipisah, di mana Bappenas sebagai perencana perekonomian nasional, sekaligus sebagai pengelola otoritas fiskal bersama Kemenkeu (juga sebagai bendahara negara), Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter, dan ada badan penerimaan pendapatan negara.

-Perlunya mengembalikan KPK sebagai komisi negara yang independent dan menaikkan status KPPU sebagai komisi negara yang independen selevel KPK. KPK yang kuat, independen dan governance ditargetkan untuk menurunkan korupsi secara signifikan. Sementara KPPU ditargetkan untuk menyehatkan pasar dan para pelaku ekonominya, serta mencegah kartelisasi dan oligarki ekonomi, selain menjadi penopang pemerintah dalam mendorong  pelaku ekonomi jadi pemain industrial yang efisien dan inovatif.

-Adanya indikator-indikator sukses otonomi daerah-daerah denga insentif dan disinsentif dalam alokasi fiskal daerah (DAU dan DAK), serta desentralisasi fiskal dan pemberlakuan perankingan daerah-daerah yang dinilai sukses.

-Perlunya revisi undang-undang politik yang melarang sumbangan kepada parpol dan elitenya, seraya pembiayaan sepenuhnya oleh APBN bagi parpol yang memenuhi parlementary threshold. Kemudian memfokuskan korporasi sebagai pemain indus-trial yang efisien dan inovatif, dengan memperkuat berlakunya UU Hilirisasi yang menguntungkan perekonomian nasional..

-Perlunya koreksi struktur “tempayan” menjadi struktur “belah ketupat”, di mana terdapat kelas menengah yang besar, dan yang kecilnya diperankan pelaku informal, mikro dan kecil :

(1) dengan program pembiayaan dan pemberdayaan  yang massif ala Grament Bank-nya Mohammad Yunus di Bangladesh, dikombinasikan dengan Program BMT.

(2) untuk memperbesar kelas menengah dengan  alokasi  perbankan dari 20 persen menurut UU menjadi 40-50 persen. Sementara korporasi besar jadi pelaku kelas global yang kompetitif dengan berbagai incentif. [Dsy]

*Prof. Didin S. Damanhuri, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB dan Universitas Paramadina, wakil ketua Dewan Pakar ICMI Pusat, salah seorang pendiri Insitute for Development Economic & Finance (INDEF)

Back to top button