Kanal

Jangan-jangan, Tidak Ada Lagi di Antara Kita yang Pancasilais

Bila energi keragaman yang membuat setiap masing-masing entitas warga suku, etnis, agama dll itu begitu besar, tentu sebaliknya jangan ada pihak yang menganggu identitas pihak lain. Sementara pendiri bangsa kita sendiri dengan bijak telah memahami dan menyikapi keragaman itu dengan menetapkan penghormatan akan “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang negara Garuda Pancasila. Bila umat Islam tak punya persoalan dengan Pancasila, sikap yang bijak tentu bukan dengan terus menyerang umat Islam dan sisi identitas mereka. Begitu pula terhadap umat Kristen, Sanggha Buddha, warga Hindu, urang Sunda, Wong Plembang, Batak dan seterusnya.

Oleh   : Widdi Aswindi*

Di setiap 1 Juni, setelah hari itu dinyatakan pemerintah secara resmi sebagai ‘hari lahir’ Pancasila melalui Keppres Nomor 24 Tahun 2016, hampir setiap tahun pada hari itu saya seolah dipaksa untuk merenung. Selalu ada pikiran kritis, yang sebelumnya tak pernah saya lontarkan kepada siapa pun karena kuatir disalah-pahami. Bukankah kita melihat saat ini orang begitu mudah melaporkan tetangganya sendiri ke polisi, hanya karena perbedaan yang berpangkal dari ketidaksamaan pilihan politik, misalnya?

Salah satu hal yang memaksa saya merenung itu, apakah dengan masih jauhnya jarak antara  yang real dan yang ideal dari Pancasila, antara yang adiluhung dalam wacana dengan yang terkesan rendah di kenyataan sehari-hari, maka memperingati Hari (lahir) Pancasila bisa jadi seperti merayakan pepesan kosong? Selalu dari tahun ke tahun saya jawab sendiri: tidak!

Sebab, bisa saja tujuan kita memperingati 1 Juni itu datang dari sikap rendah hati dan kesadaran. Seperti laiknya orang Islam mengimani sebuah hadits,” Al-Imanu yazidu wa yankus, yazidu bi al ta’ah, wa yankus bi al masih. Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan ketaatan, berkurang akibat kemaksiatan yang kita kerjakan.”  Bila kepada Pancasila pun hal itu kita terapkan, maka kita selalu layak memperingati 1 Juni. Kita memang senantiasa perlu menguatkan dan terus menyegarkan ingatan dan komitmen kita kepada Pancasila.

Tetapi memang sukar untuk menafikan satu fakta; selama ini Pancasila sepertinya mandeg pada fase hafalan kita semua. Kita rata-rata bisa merapal dengan baik Pancasila, sehingga satu-dua pemuka yang tak bisa melakukannya layak kita pertanyakan posisi dan keberpihakannya pada dasar negara dan falsafah bangsa ini. Di realitas, pengamalan Pancasila yang kita tegakkan laiknya “aqidah bernegara” itu memang tengah “babak belur”. Terbongkarnya banyak kasus korupsi yang kian dianggap biasa dan tak memunculkan cela, hedonisme dan flexing pejabat serta keluarganya di tengah naiknya tingkat kemiskinan rakyat, kesombongan penguasa yang cenderung menutup mata dan telinga, rendahnya kemanusiaan kita yang cenderung menyerah kepada budaya yang salah (korupsi, pungli, kesewenangan, misalnya), tidak seriusnya kita menyebar-ratakan  hasil-hasil kekayaan dan pembangunan negara, dan sebagainya, kian kita anggap sebagai kewajaran dan normal.

Di sisi lain, kita melihat pengangguran terselubung yang kian melejit naik, pinjaman online terus merebak marak dan menciptakan bom waktu di antara rakyat, peredaran uang yang hanya berputar di sekelompok kecil elit negara, semuanya menampakkan bahwa negara ini tidak sedang “baik-baik saja”. Artinya, kita harus jujur bahwa sebagai bangsa, mungkin kita sedang menjadi komunitas yang sakit.

Manifestasi: wajib!

Sebagai jati diri dan falsafah kehidupan bangsa, Pancasila sudah seharusnya menjadi suatu yang termanifestasi dan wujud dalam kehidupan kita. Di kehidupan sehari-hari, juga kehidupan berbangsa. Bila sebagaimana dikatakan salah seorang pencetusnya, Bung Karno, bahwa Pancasila itu merupakan saripati kejiwaan bangsa yang disuling dari budaya dan pengalaman hidup bersama bangsa kita di masa lalu, bukankah seharusnya ia tak terlampau sulit untuk diaplikasikan menjadi sikap hidup kita bersama?

Bagaimanapun, prinsip dan tata kelola negara tidak bisa hanya dikopi-paste dari pengalaman bangsa dan budaya lain. Berkaca pada sejarah, di musim semi tahun 1990, sekitar dua lusin ahli konstitusi, hukum dan hakim dari dunia Barat berkumpul di Praha untuk membantu pembuatan draft konstitusi baru bagi negara-negara Eropa Timur—yang saat itu baru ‘merdeka’–dengan memasukkan nilai-nilai dan tata kelola yang berlaku di dunia Barat. Di kemudian hari terbukti, tanpa pemahaman terhadap kompleksitas struktur sosial dan pengalaman belajar sosial dari masyarakat yang bersangkutan, instalasi prinsip dan tata kelola baru itu tidak berjalan baik.

Wajar bila merujuk pengalaman tersebut, Clayton M. Christenson  menyimpulkan bahwa “Institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan. Maka dari itu, membangun institusi yang kuat tidaklah sesederhana “mengekspor” apa yang bisa berjalan di suatu tempat ke tempat lain.” Persoalannya di bangsa ini, prinsip yang kita sepakati itu datang, bahkan merupakan intisari dari budaya kita sendiri. Lalu mengapa sulit terwujud?

Mungkinkah karena kita tak pernah tergerak untuk melakukan ‘penerjemahan’ yang memungkinkan nilai-nilai acuan itu menjadi amal yang hayat di masyarakat? Kita juga sulit mengatakan upaya semacam itu tidak ada. Bahkan di masa Orde Baru, kita menemukan rejim itu telah mendadarkan Pancasila melalui beragam indoktrinasi, hingga menjadi 36 butir yang lebih aplikable. Barangkali persoalannya ada pada sisi yang lebih sublim daripada sekadar ‘pendadaran’. Sebagaimana kita tahu budaya Barat mengenal idioms,” The devil is in the details”, yang menegaskan pentingnya memperhatikan aspek terkecil dari segala hal, antara lain tugas, proyek, rencana, prinsip dan sebagainya.

Menurut hemat saya, karena Pancasila merupakan wisdom local yang diambil dari kesamaan budaya yang hidup di Indonesia, yang diperlukan untuk membumikannya di kehidupan sehari-hari barangkali adalah peneladanan perilaku Pancasila tersebut. Karena ia datang dari beragam budaya dan sisi bangsa, sebaiknya Pancasila pun diteladankan para tokoh Islam, Kristen, Hindhu, Buddha, juga tokoh budaya Sunda, Jawa, Padang, Batak, semua suku dan etnis yang ada.

Para tokoh dari beragam sisi cara, agama, etnis, budaya, sistem dan sebagainya itu, masing-masing meneladankan sikap hidup Pancasila sesuai pegangan mereka. Para tokoh tersebut, terutama para pimpinan bangsa, juga harus mampu melihat simplisitas dalam kompleksitas. Dari kompleksitas pengalaman masa lalu, pemimpin harus bisa menemukan prinsip-prinsip utamanya, yang dengan itu perjalanan ke masa depan memiliki tambatan, pegangan atau kompas untuk mengarungi kegelapan. Benarlah yang dikatakan penerima Nobel Perdamaian, Albert Schweitzer, bahwa kepemimpinan sejatinya adalah urusan tentang memberikan contoh dan teladan.

Sebaliknya, karena komunitas bangsa Indonesia adalah komunitas yang penuh keragaman, tidak ada salahnya bila kita tahu dengan pasti seberapa besar energi keberagaman itu menggerakkan aktivitas positif bangsa ini. Bila energi keragaman yang membuat gerak setiap masing-masing entitas warga suku, etnis, agama dll itu begitu besar, tentu sebaliknya jangan ada pihak yang menganggu identitas pihak lain. Sementara pendiri bangsa kita sendiri dengan bijak telah memahami dan menyikapi keragaman itu dengan menetapkan penghormatan akan “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang negara Garuda Pancasila. Bila umat Islam tak punya persoalan dengan Pancasila, sikap yang bijak tentu bukan dengan terus menyerang umat Islam dan sisi identitas mereka. Begitu pula terhadap umat Kristen, Sanggha Buddha, warga Hindu, urang Sunda, Wong Plembang, Batak dan seterusnya.

Tidaklah bijak bila elit negeri terus-menerus menggaungkan tudingan intoleran, mengangkat terus isu ekstremisme, mengampanyekan politik identitas, dan sebagainya, sementara suasana di tengah masyarakat  sejatinya tengah baik-baik saja tanpa ada pergesekan apa pun.

Kampanye seperti itu tidak saja menguras energi dan menghabiskan biaya percuma. Sejatinya, perilaku itu pun tak ubahnya menyiramkan bensin ke bara api, yang pada saatnya bisa mengobarkan persoalan kritis tersendiri di bangsa ini.

Harus pula mereka yang kerap melakukan hal itu tahu, bahwa seperti dinubuatkan Jalaluddin Rumi, “Benih tumbuh tanpa suara. Dahan jatuh dengan gemuruh. Destruksi itu penuh keriuhan, sedang kreasi itu penuh kesunyian”, mereka hanya melakukan kegaduhan tak perlu yang miskin arti.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, sebuah webinar yang akan digelar pada 11 Juni mendatang benar-benar menarik dan relevan dengan hal di atas. Webinar yang diadakan Ikatan Alumni Filsafat-Teologi (Ikafite) Universitas Katolik Sanata Dharma, Yogyakarta, itu bertema “Katolik Kok Korupsi?”  Artinya, harus ada pengingat di tingkat yang lebih lokal, lebih spesifik, lebih komunal tentang penerapan Pancasila.

Senyampang itu, seiring kebutuhan yang disebabkan karena makin tingginya pendidikan masyarakat, sebagai falsafah, Pancasila pun perlu dibedah untuk dibuatkan kerangka teoritis keilmuannya. Ia perlu mendapatkan justifikasi secara epistemologis (bagaimana pemahaman falsafah itu diperoleh), ontologis (apa falsafah yang dipegang dan dihayati itu), serta sisi aksiologi atau sisi ‘kegunaan’ dan praksisnya sebagai sebuah falsafah.

Agar dapat menjadi jiwa seluruh rakyat, Pancasila pun harus benar-benar terlihat menjiwai semua kebijakan. Pancasila harus tampak menjadi esensi sekaligus standar evaluasi kebijakan yang dibuat eksekutif.  Misalnya, mana saja kebijakan yang pro-Pancasila? Apakah kebijakan subsidi mobil listrik untuk orang kaya itu bisa dibenarkan Pancasila? Apakah orang-orang yang selalu menguar-uar tudingan (melakukan) politik identitas kepada yang lain itu tidak justru tidak tengah menjadi senjata pihak yang ingin mengancam persatuan, dus ia justru tidak Pancasilais?

Dengan Pancasila juga, harusnya kita bisa mengevaluasi apakah program KCIC itu telah (cukup) Pancasilais, atau tidak? Apakah pembangunan IKN dengan segala persoalannya itu cerminan sikap Pancasilais atau tidak, dan sebagainya.

Memang, karena Pancasila bukankah alat hukum, menjadi Pancasilais atau tidak Pancasilais bukankah perbuatan yang bisa dikenai hukuman.

Hingga hari ini fenomena yang ada barulah Pancasila itu terlihat eksis justru ketika digunakan oknum penguasa sebagai alat penekan kepada rakyat. Itu kita lihat terjadi pada era Orde Baru, yang dengan mudahnya menuding pihak lain di kalangan rakyat sebagai tidak Pancasilais. Kita sayangkan manakala hal yang sama terjadi pada era pasca-Reformasi itu, dengan adanya pihak-pihak yang merasa didukung elit negara menuding pihak lain sesama warga sebagai intoleran, radikal-radikul, kadrun, dan sebagainya yang bernada melecehkan.

Seolah mereka lupa kebijaksanaan lama nenek moyang kita yang berkata,”Manakala kau menuding orang lain, empat jarimu yang lain menunjuk ke arahmu.” Seolah kehilangan nalar sehat bahwa itu semua otomatis menjadi benih-benih perpecahan yang sejatinya merupakan perbuatan anti-Pancasila atau tidak Pancasilais. [  ]

*Widdi Aswindi, pengusaha dan pemerhati gerakan sosial

**Kanal adalah ruang opini pribadi para penulis.

Back to top button