Kanal

Jangan Bikin Politik Jadi Terlaknat


Di negeri yang melanggengkan politik terlaknat, politik tak pernah menjadi jati dirinya sendiri, yakni sebagaimana dinyatakan Alain Badiou, sebuah upaya terus menerus dan penuh gairah melawan kebekuan yang mencekik. Politik (yang sejati), dengan kata lain adalah kerja melawan jumud. Melawan kekuatan anti-kemanusiaan, anti-keberadaban.

“Laknatullah ala as-siyasah,” sabda Nabi Muhammad SAW, suatu ketika. “Laknat Allah atas politik.”

Tentulah sabda Nabi SAW yang mulia itu tidak kita tafsirkan dengan naif. Toh manusia biasa seperti Aristoteles saja—hanya dia diberkati hidup lebih dulu dari kita umumnya—mengatakan manusia adalah makhluk yang bersosial, berpolitik  (zoon politicon).

Melepaskan pernyataan itu dari konteksnya hanya akan membuat sabda Sang Maulana seolah bertabrakan dengan sabdanya yang lain. Abu Said al-Khudri pernah meriwayatkan sabda Nabi SAW, “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubah dengan tangannya. Sekiranya tidak mampu maka dengan lidahnya, sekiranya tidak mampu lagi maka dengan hatinya. Cara demikian (dengan hati) itu adalah selemah-lemahnya iman.” 

Dengan ‘tangan’, kata Nabi, dan kata ‘tangan’ ini kerap dimaknai sebagai ‘kekuasa-an’. Dan kekuasaan tentu saja berkait-kelindan akrab dengan politik. Jadi mana mungkin Nabi melaknat sesuatu yang potensial membangun ‘amar makruf nahyi munkar’.

Bahkan saking perlunya kekuasaan untuk menegakkan kalimat Allah di muka bumi, Imam Al Ghazali konon pernah berkata,”Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaanlah penjaganya. Sesuatu yang tidak berpondasi akan hancur, dan segala yang tidak memiliki penjaga pasti akan musnah.”

Artinya, politik yang terlaknat HANYALAH politik yang tidak menjadikan kekuasaan sebagai amanah demi menjadikan bumi sebagai wilayah yang adil, makmur merata dan tertata. Politik yang terlaknat barangkali adalah politik yang tengah didesakkan untuk menjadi realitas keseharian di Indonesia saat ini. Politik yang menutup mata bahwa kuasa hanya layak diberikan kepada mereka yang mampu, kredibel dan amanah. Bukan politik yang membuta akan moral, etik dan nurani; atau ruang politik yang diisi figur-figur haus kekuasaan tanpa pernah merasa perlu bertanya ke dalam hati untuk apa ia atau mereka berkuasa.

Politik yang terlaknat adalah politik yang hanya menitikberatkan perjuangan kepada usaha mengejar kursi kekuasaan. Politik yang dilaknat, tampaknya adalah politik yang menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, bukan alat untuk menegakkan kebenaran.

Dengan demikian, para aktor politik terlaknat adalah mereka yang membuta tuli akan firman Tuhan,” Kampung akhirat Kami sediakan buat orang-orang yang tidak haus kekuasaan (sewenang-wenang), serta tidak berbuat kejahatan di muka bumi…” (QS 28:83).

Hanya dalam arena politik terlaknatlah kita menyaksikan komunikasi hanya jadi alat untuk sekadar serang-menyerang dan merendahkan. Hanya jadi sarana saling membuka aib dan mengubek borok. Hanya dalam atmosfer politik yang terlaknat kita bisa menyaksikan para wakil rakyat, tanpa sungkan dan malu memalingkan muka dari rakyat kecil yang memilih mereka, dan sepenuhnya memihak sekelompok kecil maha kaya yang selama ini menindas hak-hak warga pemilih itu.   

Di negara yang menggulirkan politik terlaknat, politik tak pernah menjadi sebuah gerak dan upaya yang adil untuk terus membuat semua orang lebih ‘memanusia’. Tak pernah menjadi alat perjuangan penuh gairah untuk membuat setiap diri menjadi rahmat bagi semua.

Di negeri yang melanggengkan politik terlaknat, politik tak pernah menjadi jati dirinya sendiri, yakni sebagaimana dinyatakan Alain Badiou, sebuah upaya terus menerus dan penuh gairah melawan kebekuan yang mencekik. Politik (yang sejati), dengan kata lain adalah kerja melawan jumud. Melawan kekuatan anti-kemanusiaan, anti-keberadaban.

Sungguh, apa yang terpampang di halaman muka-halaman muka media massa tentang politik kita di hari-hari terakhir ini, wajar membuat kita mengelus dada. Begitu nyata, elit-elit yang kita miliki tampaknya hanya para binatang politik pemuja ‘Papa Nick’—sapaan menyindir untuk Nicolo Machiavelli, yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. The end, demikian para binatang politik ini percaya, justifies the means.  Mereka pun menjadikan dongeng Machiavelli dalam Il Principe-nya yang tersohor itu lebih sakral dari ayat-ayat kitab suci.

Sebagai justifikasi atas ‘kebinatangan’ mereka, para machiavellian itu mungkin akan mengungkap satu bagian di antaranya. Pada kitab “Illiad” karangan Homerus, Machiavelli bercerita, masa kecil para penguasa negara-kota atau polis, selalu diasuh seekor makhluk setengah hewan setengah manusia. Bagi Machiavelli, kisah itu hanya kiasan bahwa seorang politisi, seorang penguasa, harus tahu bagaimana mengombinasi kedua sifat itu. “Yang satu tanpa yang lain,” kata dia,” tak akan menjamin kekuasaan yang lama.”

Karena itu, Machiavelli meyakini bahwa sikap pura-pura diperlukan dalam paduan setengah manusia dan setengah hewan itu. Seorang penguasa-politisi, kata Machiavelli, karena itu sebenarnya tak perlu memiliki sifat baik. Mereka hanya perlu terlihat– sekali lagi, terlihat, memiliki sifat baik.

Kita tak tahu, apakah para politisi Indonesia mutakhir membaca “Il Principe” dan memeraktikkannya? Atau sifat setengah hewan itu memang secara alamiah telah menjadi bawaan sejak lahir? Yang jelas, publik melihat fakta, kini mereka hanya tukang pura-pura.

Memang, sekian lama hidup dalam kubangan politik kotor membuat kita nyaris frustrasi, malah mungkin yakin bahwa politik tak bisa dijalankan dengan tangan yang bersih. Lihat saja, bahkan filsuf sekelas Sartre saja menuliskan pesimisme itu melalui naskah dramanya, “La Mains Sales”. Saat Hoederer, seorang tokohnya bertanya retoris,”Bisa kau bayangkan mengatur kekuasaan tanpa dosa?”

Tetapi tak semua manusia menyerah kepada fakta. Dengan berbekal keyakinan bahwa hanya para pendosalah yang wajar berputus asa  (QS Yusuf:87), masih ada sebagian yang menolak anggapan bahwa kotornya politik adalah hukum besi. Masih banyak yang meyakini, urusan kekuasaan dan amanah itu melibatkan Yang Maha Kuasa. Dari Dia pula, semua kekuasaan, posisi dan segala yang sejatinya amanah itu datang. Sebagai ujian, sebagai ayakan untuk mengukur cinta kita kepadaNya dan kepada sesama.

Sejatinya urusan kekuasaan adalah urusan profetik, yang tersambung langsung kepada Tuhan YME. Nabi SAW bersabda,” Akan memimpin kamu, sesudah aku, para penguasa. Akan memimpin kamu orang baik dengan kebaikannya dan orang berdosa dengan dosa-dosanya. …kalau mereka baik, kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka. Kalau mereka buruk (jahat), kebaikannya untuk kamu dan keburukannya untuk mereka.” (Tafsir At-Thabari, IV:147-150).

Karena itu, barangkali pemimpin yang kita perlukan adalah pemimpin yang juga profetik. Yang menyerahkan hidupnya demi kekuasaan Dia Yang Maha, yang memegang erat kebenaran menurutNya.

Kita perlu pemimpin yang selalu mengikatkan dirinya dengan Tali Allah (hablillah); yang percaya bahwa segala langkahnya hanya untuk kemuliaan Allah dan sesamanya. Kita perlu pemimpin yang masih seorang manusia. Seorang yang tak akan gamang dan jeri kepada celaan dan tekanan manusia karena sadar bahwa hidupnya dari dan akan menuju kepadaNya. [ ]

 

Back to top button