News

“Jalan Tol VS Jalan Rusak”: Bancakan Korupsi Proyek Jalan

Data memperlihatkan jalan dengan kondisi baik belum menyentuh angka 50 persen dari yang ada. Capaian pembangunan jalan tidak selaras dengan besaran anggaran yang telah dialokasikan pemerintah setiap tahunnya.

Topik mengenai jalan rusak menghiasi pemberitaan berbagai media di Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir. Hal itu seturut aksi Tiktoker @awbimaxreborn atau Bima Yudho Saputro mengkritik pembangunan di Lampung yang salah satunya menyoroti kerusakan ruas jalan di provinsi tersebut. Sosok Bima pun menjadi perbincangan meski ia mengaku keluarganya ikut terkena getah setelah video TikTok mengkritisi pembangunan di Lampung viral.

Namun, terlepas dari terbongkarnya kerusakan jalan di wilayah Lampung tersebut, permasalahan semacam ini sejatinya merupakan problem yang sering berulang. Salah satunya akibat anggaran perbaikan jalan yang notabene bagian dari pembenahan infrastruktur kerap menjadi bancakan atau hidangan untuk dikorupsi.

Hal itu sejalan dengan kajian KPK terkait anggaran besar yang kerap dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur termasuk jalan kerap dijadikan lahan basah tindak pidana korupsi.

Mengutip data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 menunjukkan, dari 546.116 KM jalan nasional, provinsi, hingga kabupaten-kota di Indonesia, 174.298 kilometer jalan mengalami rusak dan rusak berat, atau sekitar 31 persen. Sisanya, 139.174 kilometer jalan dalam kondisi sedang. Adapun 232.644 KM jalan dalam kondisi baik.

Data tersebut memperlihatkan jalan dengan kondisi baik belum menyentuh angka 50 persen. Capaian pembangunan kondisi jalan itu dinilai tidak selaras dengan besaran anggaran yang telah dialokasikan pemerintah setiap tahunnya. Sebagai contoh, untuk tahun 2023 ini saja, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digelontorkan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk pembangunan infrastruktur, termasuk pembangunan jalan sebanyak Rp125,18 triliun. Sedangkan di tahun sebelumnya yaitu 2022, pagu anggaran yang diberikan mencapai Rp125,9 triliun. Pada tahun 2021 sebesar dan Rp143,5 triliun.

Ketua Indonesia Budget Center (IBC), Arif Nur Alam pun mengakui proyek pembangunan maupun pembenahan terkait jalan menjadi langganan bancakan untuk dikorupsi. Menurut dia, korupsi sektor ini mudah dilakukan seiring lemahnya sistem yang berakibat kemudahan merekayasa pemenang tender proyek.

“Proyek jalan begitu menjamur karena kebijakan kita, termasuk di daerah, fokus pada pembangunan fisik. Pembangunan fisik paling mudah yang merekayasa pemenang dan paling tinggi nilai, dan proses persentase fee cukup tinggi,” kata Arif kepada Inilah.com, Kamis (11/5/2023).

Dia menjelaskan, kemudahan merekayasa terjadi karena sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) dilaksanakan secara tertutup. Imbasnya, marak proyek-proyek pesanan pihak-pihak tertentu. “Secara umum pengadaan-pengadaan termasuk jalan, itu sudah ada cenderung proyek titipan yang dilaksanakan oleh siapa,”ujar Arif.

Dia pun lebih lanjut membeberkan soal praktik curang pada proyek pembangunan dan perbaikan jalan. Kecurangan diduga memang sudah didesain sejak awal yaitu saat masih tahapan perencanaan. “Masyarakat ini tidak ikut dilibatkan. Apakah proyek itu dianggap penting dalam rangka menjawab persoalan yang terjadi lingkungan masyarakat tersebut,” ujar Arif.

Lebih jauh, praktik korupsi terhadap proyek pembangunan dan pembenahan jalan marak terjadi wilayah perdesaan. Padahal, kucuran dana desa cukup memberikan harapan yang seharusnya digunakan untuk pembangunan. Namun, kata Arif melanjutkan, mencuat dugaan masih ada kepala desa yang menggunakan dana desa.

Lagi-lagi, lemahnya sistem menjadi pemicu. Arif menyebut, lemahnya sistem administrasi terkait erat dengan urusan politik. Pasalnya, oknum pejabat nakal butuh dana untuk kebutuhan pemilu. Tidak hanya terjadi di desa, tapi juga dalam ruang lingkup daerah maupun pusat .

“Banyak kongkalikong dan konspirasi untuk kepentingan dana politik, baik sifatnya individu politisi maupun untuk kepentingan partai,” ujarnya.

Aktor-aktor yang terlibat pun selalu sama yang berperan sebagai birokrat, politisi, dan pengusaha. Mereka mempolitisasi anggaran proyek pembangunan infrastruktur melalui rapat Badan Anggaran (Banggar).

“Proses penganggaran kita diputuskan secara politis. Kalau di tingkat nasional oleh DPR, kalau di tingkat daerah DPRD yang diusulkan oleh pemerintah kemudian dibahas paripurna bersama DPRD,” Arif menjelaskan.

Sedangkan, bila ditarik ke belakang, pintu masuk celah korupsi ini berawal dari dinas di pemerintah daerah (pemda) atau organisasi perangkat daerah (ODP) yang melakukan perencanaan hingga mengalokasikan anggaran.

“Jadi tingkat dinas, itu pintu masuk pertama, karena proses perencanaan pembangunan itu dilakukan oleh dinas dengan lead koordinatornya adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Kalau di tingkat nasional ada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).”

Kemudian, ada penyusunan rencana kegiatan anggaran tahunan.” Di situ pimpinannya adalah sekretaris daerah),” kata Arif.

Selanjutnya, ketika proyek dan anggaran itu sudah di ketok palu dan masuk ke tahap teknis, maka terjadi mark down, menurunkan atau memperkecil anggaran, kapasitas barang dan sebagainya dengan tujuan mengantongi keuntungan dari proyek jalan. “Jalan yang harusnya kualitasnya aspalnya sekian, betonnya sekian, kemudian kualifikasinya diturunkan. Itu modus teknisnya,” ujar Arif.

Peluang praktik penyelewengan proyek semacam itu tinggi apabila pembahasannya tertutup. Misalnya, daerah bagian timur Indonesia karena prosesnya tertutup dan sangat bernuansa oligarkis. Meski begitu, ia menggarisbawahi, peluang korupsi di Indonesia bagian lain juga sama besarnya. Kunci pencegahan menyangkut perilaku sikap dan komitmen dari pemerintah masing-masing daerah.

20230512 Infografis Korupsi 28 - inilah.com
Infografis Titik Rawan Korupsi Proyek Penyelenggaraan Jalan (Desain: Inilah.com/Brenda Febry Ardiansyah)

Sementara, Direktur Eksekutif Center for Budget Analisis (CBA), Uchok Sky Khadafi mengakui proyek terkait jalan merupakah lahan bahah korupsi. Lemahnya pengawasan dari institusi terkait menjadi penyebab praktik rasuah terjadi. Terlebih, penyelewengan juga melibatkan oknum nakal yang seolah kebal hukum.

“Siapa yang berani menyentuh mereka. Kejaksaan saja berani tidak berani menyentuh,” ujar Uchok.

Pihak kejaksaan pun membutuhkan ahli untuk menemukan kejanggalan pada jalan yang rusak.

Biasanya, kata Uchok membeberkan, fee atau komisi dalam proses lelang proyek jalan sebesar 10 persen. Komisi ini untuk menentukan perusahaan yang akan memegang proyek tersebut.

Untuk itu, Uchok menilai, meski suatu perusahaan memiliki standar yang bagus, tetapi mereka akan kalah tender apabila tidak memiliki jaringan “orang dalam” di dinas terkait.

Adanya penyelewengan mengakibatkan jalan yang dibangun memiliki kualitas sangat rendah. Artinya, lanjut Uchok, tidak sesuai dengan anggaran yang disiapkan karena telah dipotong-potong berbagai oknum. “Makanya jalan-jalan yang dikerjakan saat ini itu tidak bisa bertahan puluhan tahun. Satu tahun saja kuat Alhamdulillah,” ujarnya.

Lobi dari hulu ke hilir

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur, menjelaskan, korupsi proyek jalan bisa melibatkan seluruh pihak. Dari pihak swasta, kepala daerah, OPD, hingga anggota DPRD. Asep merunutkan, adanya saling lobi dari hulu ke hilir yang dimulai proses perencanaan hingga teknis pengerjaan proyek jalan. Pihak swasta menyuap pihak pengambil keputusan demi memenangkan lelang proyek.

“Misalnya ada proyek anggap Rp100 miliar untuk pembuatan jalan. Kemudian dilelang ini, tentu banyak pengusaha atau kontraktor ingin menang. Mereka menyuap kepada pihak berkaitan dengan kegiatan itu (karena) terkait nanti yang memutuskan,”kata Asep.

Kemudian, pihak swasta tertentu berhasil memenangkan proyek lelang dan memotong anggaran untuk menutupi modal awal melakukan suap kepada pihak pengambil keputusan. “(Sebagai contoh) uang Rp100 miliar dipotong dulu untuk biaya-biaya tadi, anggap bisa habis 30 persen, sisa 70 persen. Besaran 70 persen itu untuk ambil untungnya 20 persen. Anggaran itu alhasil tinggal 50 persen,” ujar Asep.

Uang untuk proyek yang tersisa 50 persen itu yang selanjutnya digunakan kontraktor untuk proyek pembuatan jalan. Dengan begitu, terjadi pengurangan kualitas jalan yang tak sesuai dengan anggaran awal yang ditetapkan. Akibatnya, jalan baru dibuat, tetapi cepat rusak.

“Harusnya aspalnya 10 centimeter, tapi cuma 5 centimeter, misalnya seperti itu. Harusnya semennya sekian sak per 10 meter, hanya 5 sak per (10) meter. Adanya pengurangan bahan menimbulkan berkurangnya kualitas jalan. Materialnya seharusnya pakai grade A, tapi yang digunakan grade B atau bahkan C.”

Dalam tindak pidana korupsi seperti ini, KPK biasanya meringkus pihak pemberi dan penerima suap. “Pemberinya (penyuap pihak perusahaan) satu misalnya, tapi yang diberi dua (kepala daerah dan OPD). (Sebaliknya) misalnya penerima satu contohnya bupati, tapi pemberinya ada dua dari bagian keuangan dan direkturnya (pihak perusahaan).”

Sementara, Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, dalam keterangannya menyebut, KPK sejauh ini sudah menangani beberapa kasus korupsi pembangunan infrastruktur jalan dalam rentang tahun 2015 hingga 2022.

20230512 Infografis Korupsi 27 - inilah.com
Infografis sejumlah kasus korupsi pembangunan infrastruktur jalan.(Desain: Inilah.com/Brenda Febry Ardiansyah)

Suap dan korupsi mendominasi

KPK, ujar Ali, pernah melakukan kajian tentang perencanaan dan pengawasan pembangunan. Fokusnya pada pembangunan dan preservasi jalan. Temuan kajian menunjukkan kasus korupsi pada penyelenggaraan jalan didominasi suap dan penyalahgunaan kewenangan. Termasuk, perbuatan curang oleh pemborong maupun pengawas dan penerima pekerjaan, serta penyelenggaran negara selaku pengurus atau pengawas yang ikut dalam pemborongan dan ijon pekerjaan.

Ali memaparkan, berdasarkan kajian KPK, ada empat titik rawan korupsi dalam penyelenggaraan jalan. Pertama, tahap Perencanaan dan Anggaran. Dia mengatakan, korupsi pada tahap ini meliputi intervensi program yang melampaui kewenangan Pekerjaan Umum (PU), penyalahgunaan wewenang, suap dalam alokasi anggaran, dan permintaan fee.

“KPK merekomendasikan kepada Kementerian PUPR membuat regulasi yang mengatur kepatuhan perencanaan, membuat regulasi tentang pelaksanaan pembangunan infrastruktur diluar tugas dan fungsi PUPR. Selanjutnya, perlu membangun manajemen perubahan pada sistem perencanaan anggaran agar terintegrasi dan transparan,” ujar Ali.

Kedua, tahap perencanaan Teknis. Menurut Ali, pada tahapan ini terungkap korupsi meliputi kolusi. Hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan rancangan teknis Detail Design Engeneering (DED) yang tidak rinci, dan peningkatan harga (mark up) dalam estimasi biaya Engineering Estimate (EE) yang rawan suap. Rekomendasi KPK, lanjut Ali, Kementerian PUPR membuat sistem informasi jasa konstruksi.

“(Berikutnya antara lain) Kementerian PUPR melakukan akreditasi ulang asosiasi existing, asosiasi, dan LPJK, dan menegakkan standardisasi sertifikasi dengan melibatkan BNSP,” katanya.

Ketiga, Ali menyebut terkait tahap pra-pembangunan. Korupsi pada tahapan ini meliputi mark up Harga Perkiraan Sendiri (HPS) menyebabkan biaya yang tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas konstruksi. Kemudian, pemenangan terhadap kontraktor tertentu, serta memanipulasi syarat lelang.

“KPK merekomendasikan agar pemerintah membentuk Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang independen dan profesional. Kementerian PUPR perlu membangun data base harga satuan dan nilai kontrak, serta meminta Kementerian PUPR menyusun e-katalog Sektoral untuk pekerjaan berulang.”

Terakhir, atau keempat yaitu tahap pembangunan. Pada tahapan ini, korupsi meliputi manipulasi laporan pekerjaan, pekerjaan infrastruktur fiktif, dan ketidaksesuaian pekerjaan dengan kontrak. Ali menyebut, guna mengatasi masalah ini, KPK merekomendasikan agar Kementerian PUPR membuat kebijakan dalam menegakkan independensi konsultan, pembuatan regulasi tentang pertanggungjawaban dalam hal keteknikan dan keuangan.

“KPK juga mengajak masyarakat sebagai penerima manfaat dari pembangunan nasional, juga turut memantau dan mengawasi pelaksanaan pembangunan tersebut. Agar hasilnya memberikan dampak positif yang nyata bagi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Salah satu prasyaratnya tentu tidak adanya praktik-praktik korupsi,” ujar Ali. [Rizki Aslendra]

Back to top button