News

Inilah Arahan KPK ke Pemprov NTB soal Sengkarut Gili Trawangan

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah menyelesaikan koordinasi dan konsultasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kisruh pengelolaan aset Pemprov NTB di kawasan wisata Gili Trawangan, Lombok Utara. Terdapat delapan poin yang dibahas Pemprov bersama lembaga antirasuah itu.

Biro Hukum Sekretariat Daerah NTB telah menuntaskan koordinasi dengan KPK di Jakarta, Senin (20/3/2023) sore. Dari notulensi rapat, seperti dikutip Lombok Pos, Selasa (21/3/2023), terdapat 8 permasalahan yang dibahas Pemprov bersama KPK, seperti pencabutan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan pemberian SHM, adanya 15 perjanjian yang dikomplain masyarakat dengan berbagai alasan; dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang alias SPPT yang menjadi dasar mengklaim lahan.

Masalah lainnya adalah masyarakat yang ingin kerja sama langsung dengan Pemprov dan setelah terbit Hak Guna Bangunan (HGB), masyarakat melakukan kerja sama business to business dengan pengusaha. Begitu juga dengan masalah penutupan usaha secara paksa yang dilakukan oknum masyarakat dan disaksikan Kepala Dusun Gili Trawangan dan Kepala Desa Indah.

Menurut KPK, kebijakan Pemprov perlu diantisipasi dengan payung hukum dan penegakan hukum. Jika dibiarkan berlarut-larut, jumlah penolakan akan semakin besar.

Oknum masyarakat yang menyewakan dan memperjualbelikan lahan tidak dengan bangunan, kepada pengusaha atau investor, kemudian investor membangun di atas tanah tersebut, maka pemberian kerja sama diprioritaskan kepada pihak yang saat ini menguasai. Yang mendirikan bangunan di atasnya.

KPK juga menegaskan bahwa tuntutan masyarakat untuk pemprov membatalkan kerja sama yang sudah terbit, tidak bisa dilakukan. Apalagi dibatalkan secara sepihak tanpa dasar hukum yang sah.

Sebelumnya, Gubernur NTB Zulkieflimansyah menyatakan pihaknya membuka peluang untuk merangkul sebagian masyarakat maupun pengusaha. Meskipun sebelumnya para pihak ini diduga melakukan praktik ganti rugi dan sewa aset lahan pemprov di bawah tangan.

KPK diketahui melarang Pemprov NTB untuk bekerja sama dengan pihak yang melakukan praktik melanggar hukum. Bang Zul pun, sapaan akrabnya, membenarkan adanya warning dari KPK. Hanya saja, masalah di Gili Trawangan ini bukan semata-mata persoalan hukum.

”Dari segi hukum, iya, KPK bilang seperti itu. Tapi orang-orang ngamuk, orang tidak protes ke KPK, tapi ke gubernurnya,” kata Zul.

Dinamika yang terjadi di Gili Trawangan sekarang berkaitan juga dengan persoalan sosial. Masalah ini kemudian membuat sebagian masyarakat dan pengusaha mendemo gubernur hingga dua kali. Menuntut agar HPL pemprov dicabut.

Saran agar tidak bekerja sama seperti yang disarankan KPK, diakui Zul tidak mudah untuk dilakukan. Alasannya, gubernur melihat masyarakat dan pengusaha tersebut berpotensi kehilangan penghasilan.

“Orang yang selama ini nikmati Rp 1 miliar setahun, terus hilang, kan marah dia. KPK tidak boleh hukum only. Justru kami yang mau memfasilitasi, kok jadi seperti ini,” bebernya.

Karena itu, Zul membuka ruang terhadap poin-poin yang menjadi tuntutan masyarakat. Zul menyebut tim dari Biro Hukum Setda NTB sedang berada di Jakarta. Berkonsultasi dengan KPK terkait masalah di Gili Trawangan.

Menurutnya, tuntasnya masalah pengelolaan aset di Gili Trawangan akan menjadi salah satu prestasi besar dari KPK. Yakni dari sisi pencegahan bocornya pendapatan daerah maupun negara.

“Tunggu saja hasil konsultasinya. Memang secara hukum pemprov benar, tapi dinamika sosial di lapangan harus diperhatikan juga,” tegas Zul.

Dengan berlarut-larutnya persoalan di Gili Trawangan, Zul menyebut pemprov belum memikirkan potensi pendapatan. “Yang penting ini jangan gaduh dulu. Karena menurut saya, jangan tujuannya hanya PAD saja,” tandasnya.

Kepala Biro Hukum Setda NTB Lalu Rudy Gunawan mengamini pernyataan Gubernur Zulkieflimansyah. Menurutnya, sudah ada garis tegas yang diberikan KPK terhadap pemanfaatan aset. Meski begitu, tetap terbuka peluang bagi oknum masyarakat, yang sebelumnya menyewa dan menjual aset, agar tetap mendapatkan penghasilan.

”Pemprov tetap kerja sama dengan pengusaha yang sudah ada perjanjian. Untuk masyarakat, nanti tinggal melakukan perjanjian kerja sama lain secara keperdataan dengan investor tersebut. Tentu berdasarkan sepengetahuan dan pengawasan Pemprov,” imbuh Rudy.

Warning KPK terhadap Pemprov NTB agar tidak bekerja sama dengan pihak yang mengambil keuntungan pribadi bukan tanpa sebab. Salah satu alasannya adalah kebocoran potensi pendapatan hingga ratusan miliar rupiah.

Nilai jual beli dan sewa lahan aset milik Pemprov NTB di Gili Trawangan cukup fantastis. Angkanya mencapai hingga lebih dari Rp100 miliar. Berasal dari transaksi di bawah tangan terhadap 46 bidang tanah yang berada di lahan seluas 65 hektare.

Nilai transaksi ilegal tertinggi seharga Rp10 miliar, hasil kesepakatan antara investor inisial SYB dengan masyarakat ZA. Sewa ilegal ini berlaku selama 20 tahun dari 2017, untuk tanah seluas 1.500 dan 500 meter persegi.

Di bawah itu, ada sewa ilegal seharga Rp8,4 miliar untuk luas tanah 1.590 meter persegi. Transaksi yang melibatkan oknum dengan inisial IA dan MA selaku investor, menyepakati perjanjian sewa selama 21 tahun, yang akan berakhir di tahun 2037.

Selanjutnya terdapat dua transaksi jual beli ilegal, masing-masing senilai Rp 8 miliar. Satu jual beli melibatkan MA dengan AVT untuk lahan seluas 1.615 meter persegi serta RT bersama AS dengan investornya MD di atas lahan seluas 1.600 meter persegi.

Dari 46 bidang lahan ini, tidak semuanya dikuasai orang per orang. Ada sejumlah nama yang menguasai dan melakukan lebih dari satu transaksi ilegal. Misalnya IA, yang bersangkutan menguasai tiga bidang lahan dengan total luas 2.712 meter persegi. Dari ketiga lahan ini, IA mendapat uang sewa hingga Rp13,4 miliar.

Ada juga ZA yang menyewakan tiga bidang lahan dengan total luas 1.991 meter persegi, senilai Rp13,3 miliar. Dengan waktu sewanya masing-masing 10 tahun dan 20 tahun.

Di data tersebut, diklasifikasikan juga model transaksi ilegalnya. Antara lain, 34 sewa, lima ganti rugi, dua jual beli, satu kerja sama, satu sewa dan ganti rugi, serta satu transaksi lainnya ganti rugi dan jual beli. Total nilai transaksi ilegal mencapai Rp102,2 miliar.

Back to top button