Market

Imbangi The Fed, Ekonom UI Desak BI Kerek Suku Bunga 5,75 Persen

Menghadapi pengetatan moneter yang dilakukan bank sentral negara maju, Bank Indonesia (BI) masih punya ruang untuk mengerek naik suku bunga acuan atau BI-7Day Reserve Repo Rate (BI-7DRRR).

Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Teuku Riefky mendorong agar BI kembali menaikkan BI-7DRRR sebesar 25 basis poin (bps), menjadi 5,75 persen pada bulan ini.

“Mempertimbangkan kemungkinan kenaikan suku bunga bank sentral AS atau The Fed, volatilitas nilai tukar rupiah di tengah aliran modal yang bergejolak, dan inflasi yang saat ini masih berada jauh di atas target, BI masih perlu melanjutkan siklus pengetatan moneternya,” kata Riefky di Jakarta, Rabu (18/1/2023).

Meskipun laju kenaikan suku bunga The Fed mulai melambat, kata dia, perbedaan imbal hasil antara obligasi Pemerintah Indonesia dan US Treasury masih cukup tipis, sehingga ia menilai BI masih perlu melanjutkan kenaikan suku bunga acuan guna mempertahankan perbedaan suku bunga.

“Menaikkan suku bunga kebijakan akan membantu mengurangi potensi jumlah arus modal keluar, menstabilkan pergerakan rupiah, dan mengurangi tekanan inflasi yang disebabkan oleh barang-barang impor,” imbuhnya.

Pada akhir tahun 2022 dan awal tahun 2023 siklus pengetatan suku bunga acuan bank sentral di berbagai negara diperkirakan akan berakhir karena inflasi mulai mereda.

Di Amerika Serikat, inflasi pada Desember 2022 tercatat sedikit menurun menjadi 6,50 persen secara tahunan, karena penurunan harga energi yang signifikan. Angka inflasi AS terbaru merupakan angka terendah sejak Oktober 2021 dan telah melambat sejak mencapai puncaknya pada Juni 2022.

“Hal ini membuat pasar berekspektasi bahwa The Fed hanya akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 bps pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) di bulan Januari,” ucapnya.

Adapun untuk Indonesia, Riefky memperkirakan tingkat inflasi pada 2023 akan kembali ke dalam koridor sasaran bank sentral antara yakni antara 2 sampai 4 persen.

“Hal ini sejalan dengan menurunnya inflasi global meskipun banyak ketidakpastian yang datang dari perang Rusia-Ukraina, risiko resesi global, dan bagaimana China menangani dampak pelonggaran kebijakan zero-COVID,” ucapnya.

Back to top button