Kanal

Tapak Langkah Sang Pangeran Menuju Kekuasaan

Alkisah dalam serat atau naskah babad seperti Serat Bauwarna, Serat Centhini, Babad Tanah Jawi dan beberapa naskah lainnya, diceritakan seseorang bernama Danang Sutawijaya atau yang dikenal dengan Panembahan Senopati. Ia adalah pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Mataram Islam. 

Kisahnya mendirikan Kerajaan Mataram dimulai usai ia dan ayahnya Ki Ageng Pemanahan, membantu Jaka Tingkir menumpas pemberontakan Arya Penangsang di Kesultanan Demak.

Berkat jasanya itu, Sutawijaya dan ayahnya lantas diberi hutan Mentaok (sekarang Kotagede, Yogyakarta) oleh Jaka Tingkir yang kemudian mendirikan Kerajaan Pajang.

Ki Ageng Pemanahan kemudian membangun tanah tersebut menjadi sebuah kadipaten di bawah Kerajaan Pajang. Di saat yang sama, Sutawijaya juga diangkat anak oleh Jaka Tingkir, yang bergelar Sultan Hadiwijaya.

Oleh Sultan Hadiwijaya, ia kemudian diberi tempat tinggal di utara pasar hingga dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar. Pada 1575, Sutawijaya menggantikan posisi ayahnya yang wafat sebagai Adipati Mataram dengan gelar Senopati Ing Ngalaga, yang artinya panglima di medan perang.

Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat, utusan dari Pajang datang ke Mataram untuk meminta kesetiaan Senapati. Namun, permintaan ini tak terwujud. Alih-alih setia kepada kerajaan Pajang, Sutawijaya justru bermanuver ingin melepaskan diri dari Kerajaan Pajang.

Kisah itu rasa-rasanya sedikit bisa menggambarkan dengan yang kini terjadi di PDIP. Perjuangan PDIP dari Solo hingga Kursi RI 1 sudah diberikan untuk Jokowi. Kini disaat ditagih janji setia, Jokowi malah pergi ke lain hati.  

Sejatinya manuver yang dilakukan Jokowi sudah terasa sejak pencalonan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden (bacapres) dari PDIP. Tiap mengumpulkan para relawan, Jokowi belum sekalipun menentukan sikap untuk mendukung kader bacapres dari PDIP itu. 

Saat mengumpulkan para relawan Projo dalam acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pro Jokowi (Projo) di Indonesia Arena, Jakarta, Sabtu (14/10/2023), yang turut dihadiri sejumlah Ketua Umum Partai dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), minus Prabowo Subianto, Jokowi berpidato seperti ini.

“Sabar, sabar, sabar. Jadi jangan mendesak-desak untuk hari ini saya ngomong siapa (yang akan didukung), karena juga orangnya enggak ada di sini,” kata Jokowi.

Di tempat yang sama, Jokowi juga bersuara lantang tentang suara dalam pemilu ditentukan oleh rakyat. 

“Kedaulatan itu di tangan rakyat, yang punya suara itu juga rakyat, yang nanti akan mencoblos itu juga rakyat, yang menentukan kemenangan terakhir juga rakyat!” kata Jokowi dengan lantang. 

post-cover
Momen kebersamaan Presiden Jokowi (kanan) dan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto di Istana Merdeka, Jakarta. (Foto: Dok. Setkab).

Pidato yang kemudian terbaca seolah-olah Jokowi ingin melepaskan image petugas partai yang acap kali disampaikan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Menarik untuk mengutip pernyataan pengamat politik Faisal Assegaf dalam sebuah podcast bersama mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad. Disitu, ia mengambarkan posisi mengenaskan Megawati. Sebagai Ketua Umum partai terbesar saat ini, Mega seolah tak berdaya menghadapi Jokowi.

“Ibu Megawati, terlihat secara moral itu berlutut kepada Jokowi tidak berani,” kata Faisal dalam podcast “Abraham Samad Speak Up”.

Menurut Faisal, ketidakberdayaan terlihat saat putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep tiba-tiba saja didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Tak ada sanksi yang kemudian diberikan Mega untuk Jokowi. Padahal menurut Faisal, manuver Kaesang ke PSI seolah memberikan pesan bagi para pendukungnya, “tinggalkan PDIP lalu besarkan PSI”.

“Khusus menyangkut kaesang tiba-tiba menyebrang ke PSI, harus berani kita simpulkan ini adalah pesan jokowi kepada seluruh rakyat indonesia agar tidak percaya lagi kepada PDIP,” kata Faisal.

Sebab menurut Faisal, jika memang Jokowi kader yang patuh, sebelum mengajak rakyat masuk ke PDIP berpartisipasi mendukung PDIP, maka dipastikan keluarganya terlebih dahulu yang diajak masuk. 

Kini saat PDIP telah resmi mendaftarkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD sebagai calon Presiden dan wakil presiden ke KPU, manuver justru kian genjar dengan isu yang kemudian terjawab saat Rapat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Golkar, yang memutuskan untuk mengusung Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi sebagai bakal calon wakil presiden (Bacapres) mendampingi Prabowo Subianto sebagai bakal calon Presiden (bacapres). 

Keduanya, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah akan dideklarasikan pada hari ini minggu (22/10), bertepatan dengan hari santri. Menurut Fahri juga, bahwa hari Senin (23/10) akan diantar partai KIM mendaftar ke KPU.

Memang Gibran menjadi ‘komoditas’ panas terlebih setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk ‘memberi karpet merah’ saat menerima gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Pemilu, yang datang dari seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta Bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Persoalan batas umur 40 tahun yang mendera Gibran kini tak jadi soal, sebab di aturan ‘baru’ kini terdapat embel-embel “sedang menjadi kepala daerah”. 

Situasi ini tentu tidak mengenakan bagi kubu PDIP. Partai seolah terus-terusan dihantam gelombang ‘manuver’ alih-alih mendapat sokongan Jokowi dan keluarga dalam mengusung Ganjar Pranowo, justru kini PDIP seolah-olah terkepung dengan koalisi besar bernama KIM.

PDIP bukan tidak mempunyai sikap. Ketua DPP Puan Maharani sempat mempertanyakan arah dukungan Jokowi ini. Mengingat saat deklarasi Mahfud MD sebagai bacapres kala itu, Jokowi juga tidak hadir lantaran sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri.

post-cover
Wali Kota Solo yang juga kader PDIP, Gibran Rakabuming Raka (tengah) saat menunjukkan Surat Keputusan (SK) rekomendasi bacawapres yang diterima dari Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kiri) saat Rapimnas Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Kemanggisan, Jakarta Barat, Sabtu (21/10/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna).

“Nanti ditanyakan ke Presiden (Jokowi) kalau sudah pulang masih dukung Pak Ganjar Pranowo atau punya pilihan lain,” ujar Ketua DPP Puan Maharani, saat disinggung tentang arah dukungan Jokowi buntut dari relawannya, Projo, mendukung Prabowo Subianto. 

Menurut Politikus senior PDIP Aria Bima, pertanyaan yang disampaikan Puan itu tidak mungkin terlontar bila kondisi sedang baik-baik saja.

“Pertanyaan retorisnya Mbak Puan itukan menjadi something wrong  tentang dukungan Pak Jokowi ke Pak Ganjar dan Pak Mahfud,” kata Aria

Kecewa sudah pasti, mengingat perjuangan PDIP dari Solo hingga Kursi RI 1 sudah diberikan untuk Jokowi. Kini saat ditagih janji setia, Jokowi malah pergi ke lain hati.  

“Sebagai kader partai, sebagai orang yang semua hal diberikan kepada Pak Jokowi dan Gibran ada apa? PDIP salah apa? Bu Mega salah apa? Wong semua hal sudah diberikan. Apa yang belum diberikan? Sampai hari ini loh ya, sampai hari ini,” ujar Politikus senior PDIP Aria Bima, Aria di Media Centre TPN Ganjar Presiden, Jakarta, Jumat (20/10).

Kekecewaan juga dapat dimengerti sebab langkah Gibran ke KIM bukan cuma persoalan ‘khianat’, lebih dari itu juga bisa menggerus suara PDIP di Pilpres nanti. Sang pangeran Gibran dan tentu atas restu Jokowi mampu mengiris suara PDIP di lumbung suara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Ini yang kemudian terbaca dari hasil survei dari Indikator Politik Indonesia, dimana menunjukan bahwa sosok Jokowi memberikan pengaruh besar terhadap elektabilitas PDI Perjuangan. Sosok Jokowi dinilai menjadi alasan pemilih dalam memilih partai.

Survei mencatat sebanyak 21,9 persen publik memilih PDI Perjuangan karena alasan suka dengan Jokowi dari total basis enam persen responden.

“Alasan terbesar kedua memilih PDI Perjuangan itu karena suka sama Presiden Jokowi. Jadi artinya kita bisa simpulkan Presiden Jokowi punya kontribusi elektoral yang sangat memadai ya sangat besar buat PDI Perjuangan,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Indikator Politik Indonesia, Sabtu (21/10).

Adapun, lanjut dia, alasan terbesar pertama pemilih dalam memilih PDI Perjuangan ialah karena sebanyak 27,3 persen masyarakat terbiasa memilih PDIP dari basis 19,3 persen responden.

“Dan tanpa mengurangi rasa hormat ya, yang memilih PDI Perjuangan karena alasan spontan suka dengan Ibu Mega itu hanya empat persen,” kata Burhanuddin Muhtadi seraya mempertanyakan bagaimana kelanjutan elektoral dari PDIP jika hubungan dengan Jokowi merenggang.

Menilik hasil survei itu, maka tapak langkah sang pangeran Gibran Rakabuming Raka menuju tangga kekuasaan kian terbuka lebar. Sementara manuver yang dilakukan bapaknya, kini tidak hanya membuat Jokowi sebagai King Maker, namun juga The Real King Maker. Terlebih Jokowi masih memegang instrumen kekuasaan hingga Oktober 2024.

“Dia (Jokowi) bukan king maker tapi the real king maker. Pertarungan capres-cawapres itu di layer pertama. Lalu dilapis kedua pertarungan king maker itu SBY, Paloh, Mega, mungkin JK. Nah, di atasnya mereka itu semua ada Jokowi,” ujar Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro, kepada Inilah.com, Minggu (22/10).

(Nebby/Clara/Rizki).

Back to top button