Market

Food Estate, Guru Besar Unpad: Ada Kemajuan Tapi Perlahan

Gagal tidaknya program food estate dinilai tidak dapat disimpulkan dalam waktu dekat. Sebab,  program itu harus berjalan secara berkelanjutan dan terus menerus dievaluasi.

“Ada kemajuan, tetapi memang progresnya perlahan. Jadi, menurut saya food estate itu bagus sekali, tapi dalam implementasinya kelihatannya harus banyak penyempurnaan sehingga tidak terlalu banyak kegagalannya,” kata Guru Besar Pertanian Universitas Padjajaran (Unpad) Tualar Simarmata di Jakarta, Rabu (18/1/2023).

Sebelumnya, Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Sudin menyoal Kementerian Pertanian yang dipimpin Syahrul Yasin Limpo. Kementan dinilainya memiliki kinerja yang buruk sekaligus banyak masalah, salah satunya ihwal program food estate.

Sudin mengaku sudah mengantongi sejumlah data yang menunjukan, program food estate gagal di beberapa tempat. Sudin mengaku Komisi IV sudah menyiapkan panitia kerja (panja) khusus untuk menganalisis kegagalan program tersebut.

“Bahkan teman-teman mengusulkan bikin Pansus (panitia khusus) karena di situ banyak data yang palsu,” kata Sudin dalam rapat kerja bersama Menteri Pertanian, Perum Bulog, Dirut PT RNI dan PT Pupuk Indonesia di Gedung DPR, Jakarta Selatan, Senin (16/1/2023).

Tualar kembali menekankan perlunya perluasan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, mengingat kebutuhan pangan memang terus meningkat tiap tahun.

“Luas sawah kita saat ini sekitar 7,5 juta hektare. Kalau kita bisa menambah katakanlah 5 juta hektare, dan itu secara bertahap, maka kita sudah pasti bisa menjadi mandiri pangan, swasembada sangat kuat,” kata Tualar.

Untuk memperbaiki pengelolaannya ia menyarankan agar food estate dikelola oleh badan khusus yang profesional, baik BUMN ataupun swasta, supaya eksekusinya bisa maksimal.

“Manajemennya harus dibikin satu pintu, dari A sampai Z. Kalau mau bikin food estate kan harus ada satu company yang menjadi induknya. Nah, induknya itulah yang menurut saya harus dibuat profesional,” ucap dia.

Selain itu ia menyarankan petani milenial terlibat dalam pelaksanaannya atau berperan sebagai mitra. Kemudian pemerintah atau pengelola food estate bisa menghitung perkiraan luas lahan pertanian yang dibutuhkan agar petani bisa hidup dengan nyaman dan mendapatkan penghasilan yang layak.

Pengamat Pertanian dan Wakil Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (Unbraw) Sujarwo menilai, keberadaan program food estate atau lumbung pangan memiliki konsep dan tujuan yang positif untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

“Dengan asumsi biaya transaksi dapat ditekan dan ada efisiensi operasi, maka food estate akan menjadi instrumen kebijakan pemerintah dalam rangka penguatan ketahanan pangan berkelanjutan dan membawa efek berantai pada modernisasi pertanian nasional,” katanya.

Sujarwo menilai langkah pemerintah untuk menggencarkan food estate sangat wajar terlebih di tengah ancaman krisis pangan pada masa mendatang. Jika food estate diperankan sebagai bangunan kelembagaan pemerintah untuk modernisasi, efisiensi pertanian, penciptaan nilai tambah, dan bersinergi dengan korporasi petani, maka akselerasi yang dilakukan pemerintah sangat strategis.

Tak hanya itu, sambung dia, food estate juga dapat mendorong kesejahteraan petani melalui pola kelembagaan atau korporasi petani, sehingga, nilai ekonomi pertanian bisa terskala dengan baik.

“Dengan ini efek penciptaan nilai tambah akan semakin terbuka lebar jika sumberdaya pertanian dikelola secara perusahaan dengan skala usaha dan memiliki keberlanjutan (continuity) dalam produksinya,” ucap Sujarwo.

Terkait pernyataan Kepala Komisi IV DPR yang menilai program food estate gagal, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berkelit. Menurut Mentan, kondisi lahan di Indonesia sangat beragam sehingga membutuhkan proses untuk mempelajari metode yang efektif untuk mengolahnya.

Penilaian atas keberhasilan program food estate, kata Mentan, tidak bisa disamaratakan dengan pertanian di pulau Jawa. “Enggak (gagal) lah. Jangan dilihat lahan yang ada di sini, di Jawa, dengan di Kalimantan yang rawa itu. Jadi tak bisa seperti balik tangan,” tuturnya.

Ia menjelaskan, pemerintah tengah membuka sekitar 62 ribu hektare lahan baru. Menurut catatannya, 47 ribu hektare dari total lahan food estate sudah produktif dan telah menghasilkan produk sebanyak 4 ton. Namun Syahrul tak menyebutkan di mana saja lahan yang sudah produktif itu dan komoditas apa yang telah dihasilkan.

Program food estate berjalan lebih lambat karena menghadapi berbagai kendala seperti hama, cuaca, hingga masyarakat sekitar. Program food estate membutuhkan proses dan kesabaran dalam mengurusnya. “Tetapi saya yakin, melalui program ini, lahan-lahan di Indonesia bisa berubah menjadi lahan produktif,” imbuh Mentan.

Back to top button