News

Telah Lahir Ikon Dunia Perjuangan Uighur : Tahir Hamut Izgil

Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia telah membuat banyak pemerintah negara berpenduduk Muslim memilih diam. Dalam banyak hal, termasuk Indonesia. Hanya sedikit simpati untuk Uighur muncul di dunia saat ini.  Tahun lalu, miliarder Chamath Palihapitiya, salah satu pemilik Golden State Warriors di NBA, dikritik karena berkomentar, pada episode podcast-nya, “Tidak ada yang peduli tentang apa yang terjadi pada Uighur…”

Di era digital, insan mana yang tak punya kesempatan bersuara? Karena itu, rejim-rejim yang bahkan di era ketelanjangan ini masih saja merasa punya hak untuk menyiksa dan menyusahkan sesama manusia, hakikatnya adalah para penguasa paling bejat, sadis dan keji yang pernah ada di muka bumi.

Sekian tahun, sejatinya bahkan melintas dekade mengalami penindasan, kaum Uighur yang dihinakan serendah-rendahnya di Cina tak punya sosok yang yang dikenal secara internasional. Tidak seperti Aung-San Syu Kyi untuk Burma pada waktunya—meski kini ia terbukti tokoh yang payah. Tidak pula Afrika Selatan yang punya Nelson Mandela, atau Dalai lama untuk Tibet. Para jurnalis selalu kesulitan untuk menemukan orang yang bisa bicara atas nama Uighur.

Tidak untuk saat ini, meski nama penyair dan akademisi Tahir Hamut Izgil sesungguhnya sudah mulai muncul 2017 lalu, seiring pelariannya ke Amerika Serikat dari tempat para Uighur mengalami aneka jenis penyiksaan dan pelecehan, Provinsi Xinjiang. Bila di tahun-tahun itu Izgil baru bisa menyatakan testimoni ke berbagai media massa yang mewawancarainya. Di Indonesia, media-media yang sejak awal ikut serius menulis testimoni tak banyak. Satu di antaranya adalah Jernih.co. Media itu ikut menurunkan tulisan panjang “The Uyghur Chronicle”, yang dimuat panjang The Atlantic.

Barbara Demick, jurnalis dan kritikus buku yang sempat hidup tujuh tahun di Cina, pada artikelnya di The New York Times, 1 Agustus 2023, menulis, memoar Izgil yang baru terbit, “Waiting to Be Arrested at Night,” adalah buku yang terasa ganjil di antara beragam buku sekitar hak asasi manusia (HAM). Tidak ada adegan penyiksaan, tidak ada kekerasan dan hanya sedikit proklamasi tentang genosida. Izgil, terkesan menulis dengan menahan diri. Seperti judulnya, terror, baginya,  adalah antisipasi.

Buku itu, kata Demick, sebenarnya adalah thriller psikologis, meskipun narasinya berjalan lambat laiknya film horor klasik, ketika keadaan yang normal perlahan larut menjadi mimpi buruk. Ketika buku itu dibuka dengan kisah tahun 2009, Izgil tinggal di Urumqi, sebuah kota berpenduduk hampir lima juta jiwa di wilayah Xinjiang, barat laut Cina. Area itu merupakan Tanah Air tradisional minoritas Muslim Uyghur yang teraniaya di negara itu. Pada usia 40, Izgil menikah, dan mengecap hidup bahagia dengan dua anak perempuan, serta lingkaran pertemanan yang kuat. Puisi-puisi yang ditulisnya membuat Izgil terkenal dalam budaya yang menghormati genre tersebut. Sementara untuk hidup, ia menjadi sutradara film di perusahaan miliknya.

Singkatnya, dia tengah berada di puncak karier. Lalu iklim politik bergejolak. Pada Juli 2009, ketegangan berkepanjangan antara populasi Muslim Uyghur dan Han Cina di Xinjiang berubah menjadi kekerasan. Terjadi kerusuhan dengan korban hampir 200 kematian akibat tindakan keras pemerintah Cina.

Izgil bukanlah seorang pembangkang. Tetapi sebagai intelektual Uyghur terkemuka, dia harus menghindari perilaku yang menunjukkan kobaran nasionalisme etnis di mata aparat Partai Komunis Cina. Dia tahu risikonya. Pada tahun 1996, ketika mencoba melintasi perbatasan ke Kyrgyzstan dalam perjalanannya untuk belajar di Turki, dia ditangkap dengan tuduhan palsu “berusaha membawa materi ilegal dan rahasia ke luar negeri.”

Dia pun cukup pragmatis untuk memesan baijiu—minuman keras Cina yang bercita rasa buruk–pada setiap jamuan makan, sekadar untuk menangkis kecurigaan bahwa kelompok penyair Uyghur yang tengah berkumpul itu adalah “Muslim yang taat.” Meski begitu, dia juga cukup subversif untuk menikmati tertawaan atas absurditas rezim yang berkuasa.

Ketika penumpasan meningkat pada tahun 2016, Izgil heran melihat seorang tukang daging lokal berusaha keras mengerat daging kambing dengan pisau yang dirantai ke sebuah tiang—aturan baru rejim untuk menjauhkan senjata dari tangan “teroris” Uyghur. Ketika orang-orang pemilik toko lokal dipaksa untuk mengenakan ban lengan merah, memegang pentungan dan peluit, serta membuang waktu sekian jam sehari untuk baris-berbaris sebagai bagian dari program anti-teroris, dia dan temannya menertawakan hal itu sebagai lelucon. “Jika semua orang dimobilisasi untuk menjaga stabilitas, dari mana datangnya teroris yang kejam?”kata dia,  menyindir.

Namun rasa humornya tak bertahan lama. Pos-pos pemeriksaan yang dibiat rejim Komunis bermunculan. Para petugas polisi sok rajin mencari aplikasi, lagu, atau foto ilegal di ponsel cerdas milik warga. Buku-buku dilarang, termasuk beberapa yang diterbitkan penerbit negara yang sebelumnya dibolehkan. Laporan mulai bermunculan dari kota-kota lain, tentang penangkapan massal, dan info bahwa sekolah serta kantor pemerintah telah diubah fungsi menjadi “pusat studi”. Namun “pusat studi” itu dipenuhi pintu besi, palang jendela, dan kawat berduri. Orang-orang Uyghur yang terlihat terlalu religius — menumbuhkan janggut atau berdoa beberapa kali sehari — tiba-tiba hilang. Izgil saat itu masih menghibur diri, dan yakin bahwa di Urumqi, kota kosmopolitan, semua itu tidak bisa terjadi.

Pada 2017, Izgil dan istrinya, Marhaba, mendapat telepon yang menginstruksikan mereka untuk melapor ke kantor polisi. Mereka memberikan sidik jari dan sampel darah, dan melakukan pemindaian wajah. Melalui koridor ruang bawah tanah, mereka melihat sel yang dilengkapi dengan belenggu. Mereka juga melihat “kursi harimau” ala Cina yang sebelumnya telah mereka dengar sebagai salah satu alat penyiksa yang kejam. Di kursi itu, tahanan dapat dibiarkan dalam posisi take nak yang mendatangkan stres yang menyiksa, selama berhari-hari.

Izgil mulai menyimpan pakaian hangat di samping tempat tidurnya, mengantisipasi bahwa dia akan ditangkap pada suatu malam, dan dibawa ke sel penjara yang dingin. Meskipun dia dan istrinya tidak bisa berbahasa Inggris, dan mereka enggan meninggalkan Tanah Air, mereka memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat.

Tetapi keluar dari Cina begitu rumit sehingga hanya dengan berpura-pura bahwa putri sulung mereka perlu dirawat karena epilepsi–dan menyuap petugas kesehatan untuk menjamin diagnosisnya–mereka akhirnya dapat melarikan diri ke Washington, DC.

Tapi kepergian mereka bukanlah kemenangan. Ketika Izgil menelepon ibunya setelah tiba di Amerika Serikat, polisi Cina menyita ponsel dan kartu identitasnya. Semua baru dikembalikan hanya setelah ayah dan saudara laki-laki Izgil menandatangani surat pernyataan, berjanji tidak akan pernah berbicara dengan Izgil lagi. Teman-temannya menghapus nomor kontaknya di WeChat.

Beberapa kerabat Izgil masih terjebak dalam penahanan massal yang telah menjerat lebih dari satu juta warga Uighur. Di Amerika Serikat, dengan bahasa Inggris yang cekak dia menghidupi diri dan keluarganya sebagai sopir Uber. Penerjemahnya, Joshua L. Freeman, menulis dalam pengantar buku tersebut, “Jika Anda menggunakan Uber di Washington, D.C., beberapa tahun yang lalu, ada kemungkinan pengemudi Anda adalah salah satu penyair Uyghur terbesar yang masih hidup.”

Izgil sendiri mengakui hidupnya terus bergumul dengan rasa bersalah. “Kita hidup dengan rasa malu pengecut yang tersembunyi dalam kata ‘melarikan diri’,” tulisnya.

Kisah Uyghur sangat mengenaskan. Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia telah membuat banyak pemerintah negara berpenduduk Muslim memilih diam. Dalam banyak hal, termasuk Indonesia. Hanya sedikit simpati untuk Uighur muncul di dunia saat ini.  Tahun lalu, miliarder Chamath Palihapitiya, salah satu pemilik Golden State Warriors di NBA, dikritik karena berkomentar, pada episode podcast-nya, “Tidak ada yang peduli tentang apa yang terjadi pada Uighur…”

Izgil adalah penyair yang bersuara lembut, bukan orator atau aktivis. Namun mungkin itulah salah satu alasan mengapa akunnya yang sederhana justru sangat efektif. Demick mengakui, saat menjadi tamu (melalui Zoom) di kelas jurnalisme internasional yang ia ajar di Princeton, tahun lalu Izgil mengatakan, dia tidak ingin direduksi menjadi juru bicara karena suatu alasan. Tetapi segera pula menyadari bahwa dia berkewajiban secara moral untuk menggunakan bakatnya demi kebaikan Muslim Uighur.

Ada bukti kredibel bahwa di antara pelanggaran yang dilakukan orang-orang Cina terhadap Uyghur adalah penyiksaan, pemerkosaan, dan sterilisasi paksa. Tetapi cerita besarnya sebenarnya bukanlah tentang kekerasan fisik. Ini tentang pemerintah yang mengendalikan penduduknya dengan propaganda dan teknologi. Meskipun beberapa pusat studi telah ditutup sejak 2019, penahanan massal tetap ada, dan Cina menyempurnakan belenggunya melalui langkah-langkah lain — telepon pintar, CCTV, pengenalan wajah, dan data biometrik lainnya. Cina juga memperluas jangkauan jauh melampaui perbatasannya, sehingga pelarian seperti Izgil tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga mereka. Ternyata, tidak perlu pertumpahan darah untuk menanamkan rasa takut. Termasuk rasa takut yang ditanamkan kepada para penerima beasiswa belajar di Cina, tampaknya. Kita melihat, selama ini pun mereka diam saja. [The New York Times ]

Back to top button