News

Dominasi Ketum Picu Parpol Alami Krisis Kepemimpinan

Dominasi kekuasaan ketua umum (ketum) dinilai memicu partai politik (parpol) di Indonesia mengalami krisis kepemimpinan. Hal ini tidak terlepas dari ketergantungan pada figur besar dan karismatik yang kerap melekat pada sosok ketum parpol.

“Mayoritas parpol di era reformasi kini mengalami krisis kepemimpinan karena terlalu tingginya ketergantungan pada figur besar karismatik. Hidup dan matinya partai sangat bertumpu pada sosok ketua umum,” kata Dewan Penasihat Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Jamaludin Ghofur di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Senin (20/2/2023).

Jamaludin mengemukakan hal itu saat menyampaikan pidato ilmiah pada rapat terbuka senat dalam rangka Milad ke-80 UII.

Dia menjelaskan, salah satu tantangan dan kesulitan untuk membangun organisasi partai yang modern dan profesional adalah terlalu kuat atau dominannya kedudukan pemimpin parpol.

Tugas Ketum

Oleh karena itu, kata Jamaludin, kekuasaan ketum di tubuh parpol ke depan perlu dikurangi dan cukup diposisikan layaknya seorang manajer. Artinya, tugas ketum hanya bertanggung jawab merencanakan, mengatur, dan mengelola serta menjalankan kegiatan partai.

Pengambilan keputusan penting parpol, lanjut Jamaludin, harus ditempuh melalui musyawarah bersama dengan melibatkan seluruh pengurus. Jika memungkinkan, mengikutsertakan seluruh anggota.

“Untuk jangka panjang, partai yang sehat dan modern tidak bisa hanya mengandalkan diri pada kepemimpinan karismatik,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Jamaludin menuturkan,  syarat untuk menjadi partai yang besar yaitu memenangkan pemilu. Namun, belum memenuhi syarat untuk membangun partai modern.

Dia mengingatkan, upaya membangun parpol yang modern, hanya dapat dicapai apabila setiap partai mampu keluar dari berbagai ancaman krisis. Termasuk salah satunya menyangkut krisis kepemimpinan.

“Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik telah menegaskan bahwa kedaulatan dalam partai, ada di tangan anggota,” ujar Jamaludin.

Namun demikian, kata Jamaludin, pada kenyataannya perumusan kebijakan-kebijakan strategis partai umumnya masih sepenuhnya dikendalikan para elite parpol.

“Bahkan dalam konteks tertentu hanya menjadi hak eksklusif ketua umum seseorang, sementara anggota hanya menjadi penonton semata,” kata dia.

Jamaludin mengatakan, pelaksanaan suksesi kepemimpinan di tubuh parpol juga belum mencerminkan demokratisasi di internal parpol. Bahkan bertentangan dengan semangat reformasi.

Semangat reformasi yang membatasi periode kekuasaan di semua jabatan strategis seperti presiden, gubernur, bupati, dan wali kota yakni maksimal dua periode, menurut dia, tidak dijumpai di organisasi parpol.

Mayoritas parpol justru dipimpin oleh ketum tanpa pembatasan masa jabatan sama sekali.

“Beberapa partai dipimpin oleh seorang ketua umum lebih dari dua periode, bahkan ada partai yang sejak berdiri tidak pernah berganti pimpinan,” ujar Jamaludin menambahkan.

Back to top button