News

Dinilai Langgar Konstitusi, Mendagri Didesak Cabut Peraturan Pengangkatan Pj Kepala Daerah

Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk mencabut Peraturan Mendagri Nomor 4/2023 tentang Pengangkatan Penjabat (Pj) Kepala Daerah yang dinilai tidak demokratis dan melanggar konstitusi.

“Kita mendesak agar Pak Tito mencabut Permendagri 4/2023 dan mematuhi tertib ranah hukum dalam kaitan substansi laporan hasil akhir pemeriksaan serta menyusun draft peraturan pemerintah,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Kantor LBH Jakarta, Minggu (21/5/2023).

Hal itu, lanjut Kurnia, agar peraturan penjabat kepala daerah ke depan lebih jelas dan teratur. Ia juga mendesak Majelis PTUN Jakarta agar mengabulkan upaya hukum yang dilayangkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengenai hal tersebut.

“Karena kalau ini terus menerus dibiarkan akan merusak demokrasi. Untuk mengatasi hal tersebut harus ada bentuk partisipatif yang clear harus ada Keterbukaan, jangan ditutup-tutupi, jangan ada kesepakatan di luar sepengetahuan masyarakat,” tegas dia.

Selain itu, Kurnia juga meminta Ombudsman untuk menyelesaikan tanggung jawabnya kepada pelapor terkait tindak lanjut LHAP Kemendagri daam kaitan pengangkatan Pj kepala daerah.

“Jangan sampai justru Ombdusman bertugas menuntaskan maladministrasi, malah melakukan maladmnistrasi sendiri karena tidak transparan dan akuntabel terkait putusannya,” tambah Kurnia.

Secara bersamaan, Koalisi masyarakat sipil menilai langkah Kemendagri dalam menunjuk Pj Gubernur ugal-ugalan dan tidak demokratis lantaran telah melanggar konstitusi.

Hal ini disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti dalam Talkshow Lembaga Bantuan Hukum Jakarta bertajuk ‘Menjelang Putusan PTUN Jakarta, Penunjukan Kepala Daerah dan Dampaknya terhadap Demokrasi’ di Jakarta, Minggu.

“Kami menilai ugal-ugalan karena mereka menunjuk Pj Gubernur semaunya pemerintah dan melanggar konstitusi,” kata Bivitri.

Bivitri turut mendukung gugatan terhadap Mendagri serta Presiden RI Joko Widodo terkait ketiadaan aturan teknis pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah.

“Tidak bertindaknya (omission) Jokowi sebagai tergugat pertama untuk menerbitkan peraturan pelaksana pengangkatan Pj kepala daerah merupakan perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan,” lanjut dia.

Sebab, penerbitan peraturan pelaksana itu seharusnya merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tepatnya Pasal 201 dan 205, juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Nomor 15/PUU-XX/2022.

“Dalam amandemen konstitusi itu dikatakan bahwa yang namanya pemerintah daerah itu harus dipilih secara demokratis. Dan itu pegangan kita,” tegas Bivitri.

Lebih jauh Bivitri menuturkan bahwa masyarakat mempunyai hak dalam berpartisipasi untuk memilih siapa pemimpinnya di daerah masing-masing.

“Kita semua punya hak di sini, karena partisipasi politik nggak hanya nyoblos tapi soal hal seperti ini (Penunjukan Pj Gubernur yang ugal-ugalan yang bisa diurus masyarakat juga),” ujarnya.

Oleh karena itu, Bivitri bersama dengan Perludem dan ICW mendesak agar pemerintah segera ada transparansi soal petunjuk teknis penunjukan penjabat kepala daerah, seperti diamanatkan Mahkamah Konstitusi dan ORI.

Back to top button