Market

Digulung Suku Bunga Tinggi AS, Duit Asing dan Investasi Bakal Tinggalkan Indonesia

Untuk menekuk inflasi agar tidak terus menjulang, bank sentral AS (The Fed) akan mengerek suku bunga acuan atau Fed Fund Rate (FFR) lagi. Perekonomian negara belum mapan dalam ancaman.

Dikutip dari wawancara di LinkedIn, Rabu (29/6/2022), Presiden Fed San Francisco, Mary Daly menyebutkan memang ada rencana bank sentral menaikan FFR. Namun, efek dari keputusan tersebut masih dipertimbangkan secara matang. Khususnya bagi pelaku usaha, industri keuangan serta perekonomian sejumlah negara.

Namun, kata Daily, masih tinginya inflasi di Negeri Paman Sam adalah permasalahan yang sudah terjadi. Sehingga perlu keputusan yang bersifat segara. “Banyak yang khawatir bahwa Fed mungkin bertindak terlalu agresif dan mungkin mendorong ekonomi ke dalam resesi. Namun, soal inflasi AS juga menjadi fokus kami. Saya sendiri khawatir jika tidak terkendali, inflasi akan menjadi kendala dan ancaman utama bagi ekonomi AS dan ekspansi yang berkelanjutan,” terangnya.

Berada di posisi dilematis, kata dia, The Fed terus berusaha untuk tetap berposisi di tengah. Upaya mengerek FFR menjadi perlu namun angkanya direm. “Kami sedang bekerja ke arah itu secepat mungkin, dan mudah-mudahan orang Amerika di mana pun akan mulai melihat sedikit kelegaan di dompet mereka,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia memperkirakan ekonomi akan melambat tetapi tidak berhenti tumbuh,”

Sejak awal Juni, The Fed telah menaikkan suku bunga sebesar 0,75 basis points (bps). Kenaikan ini merupakan yang terbesar sejak 1994. Di mana kenaikannya di kisaran 1,5 persen -1,75 persen untuk memerangi inflasi di level tertinggi sejak 40 tahun. Pekan lalu, Daly mengatakan keyakinannya bahwa kenaikan suku bunga 75 basis poin akan dilakukan pada bulan depan.

Sedangkan Presiden The Fed New York, John Williams menegaskan perlunya tindakan cepat untuk mengerem laju inflasi. “Kita perlu bergerak cepat. Dalam hal pertemuan kami berikutnya, saya pikir 50 (basis poin) atau 75 akan menjadi perdebatan yang seru,” ungkap Williams dalam sebuah wawancara dengan CNBC.

Soal angka pengangguran di AS, baik Daly maupun Williams sepakat. Mereka memperkirakan tingkat pengangguran naik beberapa persepuluh poin persentase, dari level saat ini 3,6 persen. Saat ini, AS masih memiliki momentum yang kuat untuk membuka pasar tenaga kerja, sehingga tidak terlalu yakin akan terjadinya resesi.

Dalam esai yang diterbitkan Selasa (28/6/2022), Presiden The Fed St Louis, James Bullard mengingatkan kembali perisitwa 1983 dan 1994. Kala itu, The Fed menaikkan suku bunga tetapi tidak memicu resesi. Tidak ada salahnya, The Fed belajar dari dua kasus tersebut. .

“Panduan ke depan The Fed bahwa kenaikan suku bunga kebijakan tambahan kemungkinan dalam beberapa bulan mendatang adalah langkah yang disengaja untuk membantu FOMC lebih cepat memindahkan kebijakan yang diperlukan untuk membawa inflasi kembali sejalan dengan target Fed 2,0 persen,” tulis Bullard.

Investasi Tinggalkan Indonesia

Ekonom senior Prof Didik J Rachbini, mengkhawatirkan anjloknya investasi di Indonesia sebagai dampak inflasi AS yang direspons The Fed dengan penaikan FFR. Khususnya investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI), semakin banyak duit asing yang terbang meninggalkan Indonesia.

“Respons kebijakan moneter AS untuk mengurangi inflasi dengan meningkatkan suku bunga acuan, pada akhirnya memukul investasi di Indonesia. Khususnya investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) ke negara berkembang. Karena, modal asing cenderung lari ke negara-negara asalnya. Atau lari ke aset yang lebih aman seperti dolar AS,” kata pria kelahiran Pamekasan (Madura) pada 2 September 1960.

Selain itu, lanjut Didik, suku bunga tinggi berdampak kepada biaya tinggi. Alhasil, investor akan berpikir panjang untuk membangun bisnisnya di Indonesia. Di lain sisi, peningkatan inflasi membuat banyak negara melahirkan neraca pembayaran yang negatif. Alhasil, berpengaruh negatif pula terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19.

“Peningkatan suku bunga BI akan mendorong tingkat bunga kredit di dalam negeri. Di tingkat global, penerbitan surat utang akan menjadi lebih mahal. Karena, naiknya suku bunga acuan The Fed mendorong nilai pengembalian (yield) menjadi lebih besar,” kata Didik.

Kondisi ini, menurut mantan anggota DPR dari PAN ini, bakal menambah beban terhadap fiskal, serta mempersempit ruang gerak untuk belanja perlindungan sosial, pembiayaan hijau, pemulihan ekonomi. Ujung-ujungnya, negara berkembang dan menengah ke bawah, menjadi korban atas mahalnya pembiayaan.

“Ya berdampak kepada utang mereka akan semakin membengkak. Itu membuat mereka semakin rentan terhadap guncangan ekonomi. Di sini lah mungkin isu pengurangan atau bahkan pengampunan utang bagi negara-negara berkembang, patut kita pertimbangkan,” ungkapnya.

Menghadapi suku bunga tinggi AS, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menyebutnya sebagai sebuah risiko yang harus terus dimonitor dan diantisipasi. Dia hanya bisa berharap. “Semoga tidak ada kejutan di tingkat global maupun domestik, sehingga pemulihan ekonomi dalam negeri terus berlanjut,” tuturnya.

Kata Perry, konsistensi pemantauan dan antisipatif cepat diperlukan guna menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan. Tentu saja, inflasi dan nilai tukar rupiah tidak boleh terlupakan.

Dalam hal ini, pria bertubuh subur ini, menyatakan optimisme bahwa perekonomian Indonesia cukup tangguh. Namun itu belum cukut. Untung saja, koordinasi sektor fiskal dan moneter di Indonesia cukup mumpuni. “Ini modal kuat untuk merespons cepat kenaikan harga energi dan pangan yang tinggi. Dan, dari sisi fiskal, pemerintah telah meningkatkan subsidi. Dari sisi moneter, BI berpartisipasi dalam pembiayaan kesehatan dan kemanusian dengan membeli SBN sebesar Rp224 triliun pada tahun ini.

Back to top button