News

Denny Indrayana, Said Didu dan SBY Mesti Tanggung Jawab soal Hoaks Putusan MK

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian (Lemkapi) Edi Hasibuan, mengatakan Denny Indrayana harus bertanggung jawab. Demikian juga dengan Said Didu dan Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ikut menyuarakan soal kabar bocornya putusan MK, mengklaim sistem proporsional diubah menjadi tertutup, beberapa waktu lalu.

Edi menegaskan, rumor yang disebarkan mereka tidak sesuai dengan kenyataannya. Ia pun mendorong pihak kepolisian untuk turun tangan, karena persoalan ini sudah bisa dikategorikan sebagai penyebaran berita bohong atau hoaks.

“Namanya hukum tidak ada diskriminasi, siapa yang melanggar hukum maka dia akan diproses ya. Tentu mereka akan dipanggil atau diperiksa (dalam waktu dekat atau lama) kalau memang ditemukan (unsur pidana) ya,” kata Edi saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Jumat (16/6/2023).

Edi meminta kepada polri untuk dapat bersikap profesional terhadap kasus ini. Ia menekankan jika benar ditemukan bukti adanya unsur pidana dalam informasi yang disebarkan oleh Denny Indrayana, Said Didu dan SBY, maka harus diproses secara hukum.

“Tentunya kita minta kepada polri, profesional ya. Kalau memang ada indikasi dan bukti bukti yang cukup pelanggaran pidana, proses secara hukum, masyarakat pasti akan mendukung,” ungkap Edi.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdul Halim menilai Denny Indrayana berpotensi dan diduga melanggar Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. Pasal 310 ayat 1 KUHP berbunyi: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Denny, sambung dia, juga berpotensi melanggar Pasal 311 KUHP (1) yang berbunyi: Barang siapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

“Selain itu bisa juga melanggar Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik,” ungkap Halim kepada Inilah.com, Jumat (16/6/2023).

Menurut Halim, negara dan lembaga legislatif perlu memperkuat regulasi perlindungan untuk melindungi publik dari tindakan penyebaran kebohongan. Bisa dilakukan dengan membuat regulasi khusus atau menyisipkan norma-norma pada regulasi yang terkait dengan informasi publik, seperti UU ITE atau peraturan perundang-undangan lainnya.

“Dengan perkembangan masyarakat dan tantangan kemajuan informasi seperti saat ini regulasi sering terlambat dan oleh sebab itu kita tentu berharap bukan saja dari sisi penguatan hukum semata, tetapi juga dari penguatan etika dan moral masyarakat,” tegas Halim.

Desakan juga datang dari warganet. Akun Twitter @kurawa memandang perakitan berita bohong mengenai politik 2024 saat ini terlihat bebas dari jeratan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bahkan akun tersebut menyebutkan SBY sebagai pelopor masifnya serangan-serangan ke lawan politik.

“Pola produksi cuitan Hoax Politik 2024 yang bebas dari Jeratan Hukum ITE dipelopori oleh partai biru ini. Bahkan dimulai oleh SBY langsung. Trend pola hoax ini tentu bakal digunakan banyak orang untuk melakukan serangan-serangan ke lawan politik,” tulis akun @kurawa dikutip di Jakarta, Jumat (16/6/2023).

Bapak Kapolri @ListyoSigitP @mohmahfudmd segera buatkan aturan hukum konten2 hoax dengan berlindung kata2 : Dapat Info dan Kabar dari para pejabat2 Publik.

Jika tidak jangan harap pemilu 2024 akan rukun dan damai..

Tuntut penyebar berita tsb utk membuktikan infonya

— RUDI VALINKA (@kurawa) June 15, 2023

Denny pernah mengunggah sebuah utasan terkait keputusan MK bakal mengembalikan sistem Pemilu ke proposional tertutup melalui akun Instagram @dennyindrayana99, pada Minggu (28/5/2023).

“Pagi ini saya mendapatkan informasi penting, MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Infor tersebut menyatakan komposisi putusan 5 berbanding 3 dissenting,” cuit dia kala itu.

SBY pun merespons informasi yang disampaikan Denny Indrayana di Twitternya. SBY mengaku menarik informasi dari Denny tentang bakal ditetapkannya Sistem Proporsional Tertutup oleh MK dalam Pemilu 2024.

Dalam cuitannya, SBY menyampaikan 10 poin. Salah satunya disebutkan, bahwa dirinya percaya dengan informasi Denny Indrayana, mengingat Denny adalah mantan Wamenkumham dan ahli hukum yang kredibel.

“Jika yg disampaikan Prof Denny Indrayana “reliable”, bahwa MK akan menetapkan Sistem Proporsional Tertutup, dan bukan Sistem Proporsional Terbuka seperti yg berlaku saat ini, maka hal ini akan menjadi isu besar dalam dunia politik di Indonesia *SBY*,” cuitnya.

Selain SBY, eks Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu juga turut menyuarakan hal yang sama. “Saya dapat informasi bahwa hakim MK sudah memutuskan sistem pileg akan dilaksanakan dengan sistem tertutup dengan perbandingan 6:3.Pemilu akan ditunda?” ujar Said Didu, di akun Twitter pribadinya, pada Minggu (28/5/2023).

MK pertahankan sistem pemilu terbuka

Cuitan Denny, Said Didu dan SBY tidak terbukti. MK memutuskan menolak gugatan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka. Putusan ini diambil oleh 8 hakim MK dengan satu hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion, yakni hakim Arief Hidayat.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar hakim MK, Anwar Usman, ketika membacakan putusan, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Sidang pleno pembacaan putusan ini dihadiri oleh 8 hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Suhartoyo, Manahan Sitompul, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah. Sementara hakim konstitusi Wahiduddin Adams tidak hadir karena sedang menjalankan tugas MK di luar negeri.

Salah satu pertimbangan dikatakan Hakim MK, Suhartoyo, bahwa sepanjang sejarah, konstitusi Indonesia tidak pernah mengatur soal jenis sistem pemilu yang digunakan dalam memilih anggota legislatif.

“Menimbang bahwa setelah membaca secara seksama ketentuan- ketentuan dalam konstitusi yang mengatur ihwal pemilihan umum, khusus berkenaan dengan pemilihan umum anggota legislatif, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 tidak menentukan jenis sistem pemilihan umum yang digunakan untuk anggota legislatif,” ujar Suhartoyo

Back to top button