Market

Harga-harga Mahal, Anak Buah Prabowo Ingatkan Sri Mulyani Inflasi Lampaui APBN 2022

Tahun ini, harga barang yang tercermin dari tingkat inflasi diprediksi akan terus naik hingga 6 persen. Sampai April 2022, BPS mencatat inflasi sudah 3,47 persen (yoy).

Anggota Komisi XI DPR asal Fraksi Partai Gerindra, Heri Gunawan menilai, naiknya inflasi bisa menjadi kabar baik. Bahwa daya beli masyarakat mulai pulih setelah 2 tahun lunglai dihantam pandemi COVID-19.

“Penguatan daya beli juga membuktikkan upaya pemulihan ekonomi nasional sudah relatif membuahkan hasil,” papar Hergun, sapaan akrabnya, Jakarta, Selasa (17/5/2022).

Namun, dia mengingatkan, Komisi XI DPR dan Pemerintah menyepakati bahwa angka inflasi 2022 berada di kisaran 2-4 persen. Jika angka inflasi melebihi target, maka perlu kebijakan untuk mendorong penguatan daya beli, serta menjamin ketersediaan barang. Jika kedua hal tersebut gagal maka inflasi menjadi ancaman serius bagi perekonomian.

“Inflasi akan menyebabkan harga-harga melonjak tinggi, menurunkan daya beli masyarakat, meningkatkan suku bunga, serta meningkatkan pengangguran dan kemiskinan. Pemerintah sebaiknya segera menyiapkan mitigasi untuk meminimalisir dampak inflasi. Prioritas utama harus menyelamatkan rakyat agar tidak banyak yang jatuh ke jurang kemiskinan,” Kata Kapoksi Fraksi Partai Gerindra di Komisi XI DPR itu.

Tentu saja, galaunya Wakil Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPR ini, bukan tanpa alasan. Sejumlah mitra dagang utama Indonesia, kini sudah mengalami lonjakan inflasi yang cukup signifikan. AS, misalnya, memiliki share perdagangan dengan Indonesia sebesar 12,40 persen, mengalami inflasi 8,3 persen (yoy) pada April 2022. Sementara Uni Eropa dengan share perdagangan 11,46 persen, inflasinya mencapai 7,5 persen (yoy) pada Maret 2022.

Demikian pula China yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dengan share 20,24 persen, inflasinya mencapai 2,1 persen (yoy) pada April 2022. Capaian ini yang tertinggi sejak November 2021.

“Tidak hanya itu, IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2022, dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen. Inflasi diperkirakan meningkat dari 3,9 persen menjadi 5,7 persen untuk kelompok negara maju. Untuk negara berkembang juga naik dari 5,9 persen menjadi 8,7 persen,” bebernya.

Dikatakan, lonjakan harga komoditas mendorong India melarang ekspor gandum yang bakal menuai serius bai negara-negara di dunia. asal tahu saja, India merupakan penghasil gandum terbesar nomor dua setelah China dengan kapasitas produksi 107,5 juta ton. Larangan ekspor gandum ini bisa mengganggu pasokan pangan secara global. Terlebih ekspor gandum dari negara Laut Hitam kini terganggu, salah satunya karena konflik Rusia-Ukraina.

“Kebijakan larangan ekspor gandum India diprediksi akan mengerek harga gandum dan produk turunannya di Indonesia. Pasalnya Indonesia sendiri mengimpor gandum dari India setiap tahunnya mencapai 11,7 juta ton. Angka impor tersebut naik 31,6% dibanding pada tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Ketua DPP Partai Gerindra ini, berpandangan, melihat kondisi tersebut, maka transmisi kenaikan inflasi dari negara-negara mitra dagang ke Indonesia, rasa-rasanya tinggal menunggu waktu. Alhasil, muncul analisa bahwa angka inflasi di Indonesia berada di kisaran 5-6 persen pada 2022.

Selanjutnya, Hergun mengajak semua pihak untuk menyikapi secara bijak akan beratnya tantangan inflasi yang sudah di depan mata. Waspada perlu tetapi jangalah panik berlebihan. Angka inflasi hingga 6 persen, sejatinya masih moderat. Hal tersebut karena masih stabilnya harga pangan dan nilai tukar rupiah, yang didukung masih kuatnya cadangan devisa (cadev) yang berasal dari surplus perdagangan selama 23 bulan berturut-turut.

Namun demikian, dia mengingatkan pihak-pihak terkait untuk menyiapkan sejumlah langkah mitigasi menghadapi tantangan inflasi. Pertama, Komite Stabilitas Sistem Keuangan KSSK yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS, untuk memperkuat koordinasi menyiapkan kebijakan yang tepat.

Kedua, lanjut Hergun, naiknya inflasi sejatinya menunjukkan pulihnya daya beli dan berhasilnya pemulihan ekonomi nasional. Karena itu pemerintah perlu mendorong penguatan daya beli masyarakat dengan kebijakan fiskal yang tepat, serta menjamin ketersediaan produk di pasaran secara melimpah sehingga mampu memenuhi demand masyarakat. Lalu, BI dan OJK juga perlu mendukung dengan melanjutkan kebijakan yang akomodatif untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan.

“Terpenting, pemerintah harus menyelamatkan rakyat kecil yang terdampak kenaikan harga dengan memperkuat program perlindungan sosial (Perlinsos). Ada dua manfaat sekaligus, yaitu memperkuat daya beli masyarakat dan menunjukkan kehadiran negara di tengah-tengah rakyat dalam menghadapi tantangan inflasi,” tegasnya. [ikh]

 

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button