Market

Citranya Dirusak Politikus, Gedung BPK Semakin ‘Miring’

Satu per satu anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terseret kasus suap dan gratifikasi. Mereka yang berkasus itu, adalah eks anggota DPR alias kader parpol. Kini muncul istilah tak sedap, BPK sarang penyamun atau koruptor.

Rektor Universitas Paramadina yang juga pendiri Indef, Prof Didik J Rachbini, tegas-tegas menyebut BPK sudah menjadi sarangnya koruptor. Dari level atas hingga bawah, rusak semua. “Ini lebih parah ketimbang politik dinasti. BPK rusaknya dari atas hingga bawah. Sarang koruptor,” kata Prof Didik, Jakarta, dikutip Senin (20/11/2023).

Cukup beralasan pernyatan Prof Didik. Berkaca dari kasus dugaan suap dan gratifikasi Pj Bupati sorong, Yan Piet Moso yang menyeret anggota VI BPK, Pius Lustrilanang yang dikenal sebagai kader Partai Gerindra.

Kasus ini, berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Pemkab Sorong, Papua Barat Daya.  Selanjutnya, komisi antirasuah itu, menggeledah ruang kerja Pius. “Ditemukan dan diamankan bukti antara lain terkait dengan berbagai dokumen, catatan keuangan dan bukti elektronik yang diduga kuat erat kaitannya dengan penyidikan perkara ini,” kata Kepala Bagian (Kabag) Pemberitaan KPK, Ali Fikri, Jumat (17/11/2023).  

Status Pius, hingga berita ini diturunkan, memang belum tersangka. Masih menunggu pemeriksaan, baru jelas bagaimana nasib mantan aktivis 98 itu. “Tentu mengenai keterkaitan Anggota VI BPK perlu dimintai keterangan karena kita bekerja secara profesional,” kata Firli Bahuri, Ketua KPK Selasa (14/11/2023).  

Dari kasus yang diduga ‘jual beli’ WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) atau rekayasa laporan keuangan ini, tak hanya menyeret Pj Bupati Sorong, Yan Piet Mosso, atau Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Sorong, Efer Segidifat dan Sekretaris BPKAD Kabupaten Sorong, Maniel Syatfle.

Sejumlah oknum BPK daerah dan auditornya juga kena. Sebut saja, Kepala Perwakilan BPK Papua Barat, Patrice Lumumba Sihombing; Ketua Tim Pemeriksa BPK, David Patasaung; dan Kasubaud BPK Papua Barat, Abu Hanifa.  

Sebelum kasus ini mencuat, anggota BPK Achsanul Qosasih terseret kasus korupsi BTS-4G. Politikus Partai Demokrat itu, diduga menerima aliran dana korupsi BTS 4G yang merugikan negara Rp8 triliun.  Demikian pula Rizal Djalil, eks anggota BPK yang berafiliasi dengan PAN, terseret suap proyek di kementerian PUPR.

“BPK dipilih secara tertutup, walau harusnya terbuka. Diusulkan DPR, dan diketuk (disetujui) oleh DPR. Jadi, memang didesain jabatan itu untuk kolusi,” kata Prof Didik.

Intinya jelas, Prof Didik menyoal sistem rekrutmen BPK yang melibatkan DPR dari hulu hingga hilir. Alhasil, BPK akan dikuasai politikus. Sedangkan porsi profesional, minim sekali. Akan sulit bagi lembaga ini untuk steril dari praktik ‘hengki pengki’ saat menjalankan tugas sebagai auditor.

Asal tahu saja, dari 9 orang anggota BPK, 6 diantaranya berafiliasi dengan parpol. Sebut saja, Isma Yatun yang kini menjabat Ketua BPK adalah mantan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP). Demikian pula, Daniel Lumban Tobing.

Dari Gerindra ada dua nama yakni Pius dan Haerul Saleh. Partai Golkar diwakili Ahmadi Noor Supit. Sedangkan Partai Demokrat, wakilnya ya itu tadi, Achsanul Qosasih.

Sedangkan 3 anggota BPK yang non parpol. Yakni Hendra Susanto, saat ini menjabat Wakil Ketua BPK, berasal dari internal.  Nyoman Adhi Suryadnyana sebelumnya menjabat Kepala Kantor Bea Cukai Ternate, Maluku Utara. Dan, Slamet Edy Purnomo yang sebelumnya menjabat Deputi Komisioner Pengawas Bank Swasta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 
 

Back to top button