News

JMSI Tolak Draf RUU Penyiaran: Ancaman Serius bagi Jurnalisme Investigatif


Organisasi perusahaan pers Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dengan tegas menolak draf RUU Penyiaran yang tengah digodok oleh DPR RI. Menurut JMSI, sejumlah pasal dalam draf tersebut berpotensi mencederai kebebasan pers dan membahayakan demokrasi.

JMSI menekankan bahwa kemerdekaan pers dan hak masyarakat atas informasi dijamin oleh UUD 1945. Salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif. 

Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa, menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28F yang menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.

“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional, dan semata-mata untuk kepentingan publik, maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi dan radio serta media digital,” ujar Teguh dalam siaran persnya, Selasa (15/5/2024).

Teguh juga menegaskan bahwa aturan yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigatif merupakan upaya intervensi dan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers. Masyarakat, lanjutnya, khawatir bahwa RUU Penyiaran tersebut dapat menjadi alat kekuasaan dan politik oleh pihak tertentu untuk mengkebiri praktik jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

Selain itu, Pasal 50B ayat (2) huruf k melarang penayangan “isi siaran” dan “konten siaran” yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Teguh menilai bagian ini sangat multi tafsir dan berpotensi menjadi “pasal karet”. 

Penilaian terhadap “berita bohong” seharusnya menjadi domain dan kewenangan Dewan Pers, seperti diatur dalam UU Pers yang disemangati UUD 1945.

JMSI juga mengkritik Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2) dalam draf RUU Penyiaran yang mengatur bahwa penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik lembaga penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

Menurut Teguh, bagian ini perlu dikaji ulang karena bersinggungan dengan amanat UU Pers yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik.

“DPR RI harus mengkaji ulang RUU Penyiaran dan menyeleraskannya dengan UUD 1945 dan UU 40/1999 tentang Pers,” tegas Teguh.

Sebagai mantan anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Teguh mengingatkan bahwa UUD 1945 dan UU Pers memberikan mandat kepada masyarakat pers nasional untuk mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional, dan berkualitas melalui mekanisme self-regulation. Oleh karena itu, setiap sengketa terkait karya jurnalistik harus diselesaikan oleh Dewan Pers, untuk memastikan independensi dan tanggung jawab kerja jurnalistik.
 

Back to top button