Empati

Cerita Sari dengan Positif HIV Hingga Punya Keturunan Sehat

Selasa, 27 Des 2022 – 17:08 WIB

HIV

ilustrasi HIV (foto orami)

“Jangan potong rahim kami,” kata Sari (44) saat melakukan demo di Bundaran HI ketika dirinya sedang hamil. Bersama dengan komunitasnya, ia mengusulkan Pedoman PPIA tahun 2010 (Pedoman Manajemen program Pencegahan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak).

Perempuan berambut pirang itu bergabung dengan komunitas Jaringan Indonesia Positif (JIP) menceritakan pengalamannya sebagai seorang penyitas positif HIV.

Ibu satu anak tersebut, merupakan seorang pegawai bank swasta. Namun, kariernya berhenti ketika dirinya dinyatakan positif HIV. Semuanya bermula pada tahun 1996.

“Tahun 96 sampai 2003 saya pengguna NAPZA jadi waktu itu masih murah. Di tahun 2003 masih kerja di bank kemudian karena tahu berisiko, walaupun enggak banyak tapi minjem jarum suntiknya satu atau dua kali dan (langsung) cari-cari informasi untuk test (HIV),” katanya, Jakarta, Selasa (27/12/2022).

Sari mengaku meninggalkan pekerjaannya karena lebih ingin mengetahui mengenai penyakit yang menerjang tubuhnya. Berbagai informasi ia dapatkan melalui komunitasnya yang sekarang dia jabat sebagai Koordinator program untuk dukungan psikososial.

“Kita sekarang punya 120 staff di layanan yang memberikan informasi penguatan, 90 persen staff kita penderita HIV,” paparnya.

Program tersebut bernama Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Kata sebaya berangkat dari rasa welas asih, ia berharap komunitasnya itu dapat memberikan dukungan sosial kepada penderita HIV positif.

Ia mengaku sempat tidak menerima saat dirinya positif HIV. Namun, hal tersebut mengubah cara pandangnya untuk lebih bersyukur atas hidupnya. Terlebih Sari juga menulis buku bersama sembilan orang dengan positif HIV dengan judul Kartini Bernyawa Sembilan.

“Mungkin jalannya Tuhan kalau kamu orang yang terpilih untuk virus ini ada di kamu supaya kamu bisa bantu orang-orang yang kayak kamu dan mengubah cara pandang kamu. Banyak hal yang berubah harusnya bersyukur ya. Walaupun awalnya susah,” paparnya.

Dengan mata berkaca-kaca, Sari berbagi pengalamannya saat melahirkan putra pertamanya. Ia mengaku bahagia melahirkan putranya yang ternyata negatif HIV. Namun, tak sampai disitu ia juga sempat tak siap untuk melahirkan anak karena dirinya menderita HIV.

“Perasaan saya bahagia ya, dalam kehamilan saya, saya menghasilkan sesuatu untuk perempuan yg lain dan untuk anak saya, jadi tadinya excited banget untuk jadi contoh role model pertama untuk yang menyusui dan melahirnya normal,” katanya.

“Tapi ternyata mentalnya engga siap. Tapi saya milih lahiran sesar dan air susunya engga keluar sama sekali. Jadi psikologisnya tergangu,” kata Sari.

Tentu banyak perjuangan yang dilakukan oleh Sari sehingga anaknya tak positif HIV. Mulai dari minum obat ARV (Antiretroviral) yang membuat kulinya ruam, bibirnya membengkak hingga rasa mual yang dirasakannya. Obat tersebut tak pernah putus ia minum hingga harus dikonsumsi seumur hidup.

Selama delapan belas tahun postif HIV, tentu banyak penolakan yang ia terima dari lingkungan sekitar.

“Diskirminasi mungkin dari dokter gigi ya, selalu di oper-oper. Bahkan rumah sakit yang punya layanan dengan ARV-nya aja tuh enggak mau terima pasien-pasien dengan HIV untuk gigi,” jelasnya.

Ia pun berpesan kepada teman sperjuangannya untuk dapat menerima keadaan.

“Ketika kita bersikap biasa saja ini penyakit akan biasa saja ketika ini penyakit menakutkan ya ini akan menakkutkan bagi orang lain. Utuk teman-teman boleh enggak buka status sama siapapun tapi ketika ada risiko akan menularkan dia, baiknya kita kasih tau dia,” tutupnya.

Back to top button