Kanal

Sejarah Panjang Berdarah-darah di Palestina, dari Kolonial Inggris Hingga Zionis Israel

Serangan militan Hamas yang dibalas Israel dengan memborbardir Gaza sepekan terakhir kembali membuka mata dunia tentang konflik Palestina yang kian rumit. Konflik yang selalu menemui jalan buntu ini tak lepas dari perjalanan sejarah panjang berdarah-darah bagi warga Palestina.

Dalam konflik terbaru, setidaknya 1.200 orang tewas dan 2.900 lainnya terluka di Israel setelah militan Hamas melancarkan serangan Sabtu (7/10/2023). Hamas menembakkan ribuan roket ke arah Israel dan sekitar 1.000 pejuang menyeberang ke negara itu. Para pejabat Israel mengatakan setidaknya 130 warga sipil dan tentara telah disandera.

Israel menanggapinya sehari kemudian dengan mendeklarasikan ‘keadaan waspada perang’ dan melancarkan ratusan serangan udara balasan ke Gaza serta melakukan ‘blokade total’. Pihak berwenang Palestina mengatakan setidaknya 1.055 orang tewas dan 5.184 lainnya terluka di Gaza akibat serangan Israel.

Selama beberapa dekade, konflik Israel-Palestina telah merenggut puluhan ribu nyawa dan membuat jutaan orang mengungsi. Media Barat, akademisi, pakar militer, dan pemimpin dunia menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai konflik yang sulit diselesaikan. Semuanya berakar pada tindakan kolonial yang dilakukan lebih dari satu abad yang lalu yang terkenal dengan Deklarasi Balfour.

Sejarah Awal Palestina

Para ahli percaya bahwa nama ‘Palestina’ berasal dari kata “Filistia”, mengacu pada bangsa Filistin yang menduduki sebagian wilayah tersebut pada abad ke-12 SM. Sepanjang sejarahnya, Palestina telah diperintah banyak kelompok, termasuk Asiria, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, Arab, Fatimiyah, Turki Seljuk, Tentara Salib, Mesir, dan Mamelukes.

Dari sekitar 1517 hingga 1917, Kesultanan Utsmaniyah menguasai sebagian besar wilayah tersebut. Ketika Perang Dunia I (1914-1918), Inggris mengambil kendali atas Palestina dan pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat tersebut memang singkat – hanya 67 kata – namun isinya memberikan dampak sistemik terhadap Palestina yang masih terasa hingga saat ini.

Perjanjian ini mengikat pemerintah Inggris untuk ‘mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina’ dan memfasilitasi ‘pencapaian tujuan ini’. Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour. Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di mana lebih dari 90 persen penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina.

post-cover
Deklarasi Balfour merupakan bentuk dukungan Inggris terhadap zionis karena melalui perjanjian ini rencana zionis untuk mengokupasi Palestina terbuka lebar. (Foto:Istimewa)

Sistem mandat Inggris ini mengalihkan kekuasaan dari wilayah yang sebelumnya dikuasai negara-negara yang kalah dalam perang – Jerman, Austria-Hongaria, Kekaisaran Ottoman, dan Bulgaria – kepada pihak yang menang. Tujuan yang dinyatakan dari sistem mandat ini adalah untuk memungkinkan para pemenang perang mengelola negara-negara baru sampai mereka bisa merdeka.

Namun kasus Palestina berbeda. Mandat Inggris adalah untuk menciptakan kondisi bagi pembentukan ‘rumah nasional’ Yahudi. Sementara jumlah orang Yahudi kurang dari 10 persen dari populasi pada saat itu. Pada awal mandatnya, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang Yahudi Eropa ke Palestina. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari sembilan persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.

Meskipun Deklarasi Balfour memuat peringatan bahwa “tidak boleh dilakukan apa pun yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina”, mandat Inggris dibuat dengan cara membekali orang-orang Yahudi dengan alat untuk membangun kemandirian dan memerintah, dengan mengorbankan orang-orang Arab Palestina. 

Inggris secara umum dianggap bertanggung jawab atas Deklarasi Balfour, namun penting untuk dicatat bahwa deklarasi tidak akan dibuat tanpa persetujuan dari negara Sekutu lainnya selama Perang Dunia I. Inggris telah meminta pandangan Presiden Woodrow Wilson sebelum deklarasi dibuat. Perancis juga terlibat dan mengumumkan dukungannya sebelum dikeluarkannya Deklarasi Balfour

Inggris Fasilitasi Imigrasi Massal Yahudi

Mandat Inggris dibentuk pada 1923 dan berlangsung hingga tahun 1948. Namun sebelum mandat berakhir, Inggris memfasilitasi imigrasi massal orang Yahudi yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa menjadi penduduk baru Israel. Warga Palestina khawatir dengan perubahan demografi negara dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada pemukim Yahudi.

Mengutip Al Jazeera, meningkatnya ketegangan akhirnya menyebabkan Pemberontakan Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939. Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga Palestina melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.

Pemogokan selama enam bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris, yang melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan penghancuran rumah dengan hukuman, sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini. Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir tahun 1937 dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.

Pada paruh kedua 1939, Inggris mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal tersebar luas. Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata serta ‘pasukan kontra pemberontakan’ yang terdiri dari para pejuang Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus yang dipimpin Inggris.

Di dalam Yishuv, komunitas pemukim pra-negara, senjata diimpor secara diam-diam dan pabrik senjata didirikan untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel. Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan.

post-cover
Wilayah Palestina pasca-Resolusi Partisi (Foto: aljazeera)

Pada tahun 1947, populasi Yahudi telah membengkak menjadi 33 persen di Palestina, namun mereka hanya memiliki 6 persen tanah. Kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 181, yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.

Palestina menolak rencana tersebut karena berarti memberikan sekitar 56 persen wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur. Pada saat itu, warga Palestina memiliki 94 persen wilayah bersejarah Palestina dan mencakup 67 persen populasinya.

Kurang dari setahun setelah Rencana Pemisahan Palestina diperkenalkan, Inggris menarik diri dari Palestina dan Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara merdeka pada 15 Mei 1948. Ini menyiratkan kesediaan untuk melaksanakan Rencana Pemisahan. 

Hampir seketika, tentara Arab yang bertetangga bergerak untuk mencegah berdirinya negara Israel. Perang Arab-Israel kemudian meletus tahun 1948 melibatkan Israel dan lima negara Arab—Yordania, Irak, Suriah, Mesir, dan Lebanon. Pada akhir perang pada Juli 1949, Israel menguasai lebih dari dua pertiga wilayah Mandat Inggris sebelumnya, sementara Yordania menguasai Tepi Barat dan Mesir menguasai Jalur Gaza.

Konflik tahun 1948 membuka babak baru dalam pertikaian antara Yahudi dan Arab Palestina, yang kini menjadi pertarungan regional melibatkan negara-negara dan jalinan kepentingan diplomatik, politik dan ekonomi.

Pembersihan Etnis Nakba 1948

Sebelum Mandat Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, paramiliter Zionis sudah memulai operasi militer untuk menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina guna memperluas perbatasan negara Zionis yang akan lahir.

Pada bulan April 1948, lebih dari 100 pria, wanita dan anak-anak Palestina dibunuh di Desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem. Hal ini menentukan jalannya operasi selanjutnya, dan dari tahun 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, kota kecil dan kota besar di Palestina dihancurkan dalam apa yang oleh orang Palestina disebut sebagai Nakba, atau “bencana” dalam bahasa Arab. Diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh lewat puluhan kali pembantaian.

Gerakan Zionis pun menguasai 78 persen wilayah bersejarah Palestina. Sisanya yang sebesar 22 persen dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat dan Jalur Gaza yang terkepung. Diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka. Saat ini keturunan mereka hidup sebagai enam juta pengungsi di 58 kamp kumuh di seluruh Palestina dan di negara-negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania dan Mesir.

Setidaknya 150.000 warga Palestina memilih tetap tinggal di negara Israel yang baru dibentuk dan hidup di bawah pendudukan militer yang dikontrol ketat selama hampir 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel.

Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat. Pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.

Naksa, atau Perang Enam Hari

Pada 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab. Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua, atau Naksa, yang berarti “kemunduran” dalam bahasa Arab.

Pada bulan Desember 1967, Front Populer Marxis-Leninis untuk Pembebasan Palestina dibentuk. Selama dekade berikutnya, serangkaian serangan dan pembajakan pesawat oleh kelompok sayap kiri menarik perhatian dunia terhadap penderitaan rakyat Palestina.

post-cover
Warga Palestina meninggalkan kota Galilea pada Oktober-November 1948. Akibat Perang Arab-Israel, ratusan ribu warga Palestina yang mengungsi tak bisa kembali ke kampung halaman mereka. (Foto:Wikipedia)
 

Selanjutnya, pembangunan pemukiman dimulai di Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki. Sistem dua tingkat diciptakan di mana pemukim Yahudi diberikan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel sedangkan warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik atau sipil.

Intifada pertama 1987-1993

Sejarah berdarah-darah berikutnya berlanjut dikenal dengan Intifada Palestina pertama yang meletus di Jalur Gaza pada Desember 1987 setelah empat warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van membawa pekerja Palestina. Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat memicu aksi pemuda Palestina yang melemparkan batu ke tank dan tentara Israel.

Hal ini juga menyebabkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel. Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan “Patah Tulang Mereka” yang dianjurkan Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin. Aksi ini mencakup pembunuhan mendadak, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah.

Intifada ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal. Menurut organisasi hak asasi manusia Israel B’Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap. Intifada juga mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.

Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara dengan diberikan pemerintahan mandiri terbatas di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki. PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif menandatangani perjanjian yang memberi Israel kendali atas 60 persen Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.

PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi. Kritik terhadap PA dipandang sebagai subkontraktor korup bagi pendudukan Israel yang bekerja sama erat dengan militer Israel dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik melawan Israel.

Untuk mencegah serangan, pada 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, menghentikan interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.

Intifada Kedua

Intifada kedua dimulai pada 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Likud Ariel Sharon melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al-Aqsa dengan ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem. Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari.

Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas. Selama Intifada kedua, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina. Israel menduduki kembali wilayah yang diperintah oleh Otoritas Palestina dan memulai pembangunan tembok pemisah seiring dengan maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.

Pemukiman ilegal menurut hukum internasional, namun selama bertahun-tahun, ratusan ribu pemukim Yahudi pindah ke koloni yang dibangun di atas tanah curian dari Palestina. Ruang bagi warga Palestina semakin menyusut karena jalan dan infrastruktur hanya diperuntukkan bagi pemukim membelah Tepi Barat yang diduduki. Ini memaksa kota-kota Palestina menjadi bantustan, yaitu daerah kantong terisolasi bagi warga kulit hitam Afrika Selatan yang diciptakan oleh rezim apartheid di negara tersebut.

Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya mencapai lebih dari 700.000 orang tinggal di lebih dari 100.000 hektar (390 mil persegi) tanah yang diambil alih dari Palestina.

Perpecahan Palestina dan blokade Gaza

Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004, dan setahun kemudian, Intifada kedua berakhir, pemukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah kantong tersebut.

post-cover
Seorang anak sedang memegang poster mendiang Yasser Arafat (Foto:Reuters/Abed Omar Qusini). 

Setahun kemudian, warga Palestina memberikan suara dalam pemilihan umum untuk pertama kalinya. Hamas memenangkan mayoritas. Namun, pecah perang saudara Fatah-Hamas yang berlangsung berbulan-bulan dan mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina. Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, sementara Fatah – partai utama Otoritas Palestina – kembali menguasai sebagian Tepi Barat.

Perang di Jalur Gaza

Pada periode berikutnya, sejarah mencatat, Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza yakni pada 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur.

Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai Gaza. Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.

Pada tahun 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, yang disebut Operasi Pelindung Tepi oleh Israel, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.

Menilik sejarahnya yang panjang, sudah tak terhitung darah warga tak berdosa termasuk anak-anak dan kaum perempuan yang tertumpah di Tanah Palestina. Campur tangan banyak negara yang mendukung Israel menambah pelik konflik ini. Yang jelas perjalanan dan penderitaan warga Palestina belum akan berhenti. Darah masih akan tertumpah di Tanah Palestina. Dunia pun seakan tak bisa berbuat apa-apa.

Back to top button