News

Cegah Polarisasi di Pemilu 2024, BNPT Rangkul KPU, Bawaslu dan Parpol

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan partai politik bersepakat untuk cegah terjadinya polarisasi pada gelaran Pemilu 2024.

Komitmen tersebut diwujudkan dalam Penandatanganan Kesepakatan Bersama dan Penandatangan Nota Kesepahaman (MoU) BNPT, KPU, Bawaslu bersama partai politik, peserta Pemilu 2024 di Jakarta, Senin (13/3/2023).

Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengatakan kegiatan ini ditujukan bukan saja untuk cegah potensi polarisasi pemilu tapi juga untuk merekatkan silaturahim dan berdialog dengan perwakilan partai politik peserta pemilu dalam rangka menyamakan visi demokrasi kebangsaan untuk menyambut pesta demokrasi 2024. “Pemilu merupakan instrumen penting dalam menilai capaian demokrasi yang berkualitas,” katanya.

Dia mengatakan dari tahun ke tahun pascareformasi, indeks demokrasi terus meningkat yang ditunjukkan partisipasi rakyat yang semakin tinggi. Menurutnya, jika kontestasi politik tidak dikelola dengan baik, maka dikhawatirkan menimbulkan polarisasi sosial dan perpecahan di masyarakat yang nantinya dapat mengganggu stabilitas nasional.

“Ancaman polarisasi akan semakin potensial terjadi, jika praktik politik identitas, politik SARA, ujaran kebencian, dan hoaks mudah bertebaran di tengah masyarakat,” katanya.

Ia mengatakan polarisasi sosial adalah sesuatu yang sangat dimungkinkan dalam pilihan politik. Namun harapannya, perbedaan dalam pilihan politik tidak melupakan semangat apa yang telah diwariskan leluhur bangsa dalam konstitusi dan Pancasila.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengapresiasi kegiatan yang diinisiasi BNPT.

Dia menjelaskan pentingnya kegiatan itu karena berkaitan dengan politik identitas yang dapat mengarah pada tindakan terorisme. “Kegiatan ini untuk mengingatkan peserta pemilu, khususnya dari partai politik agar tetap waspada,” katanya.

Arsul menilai istilah politik identitas tidak harus di konotasikan dengan hal negatif. Menurutnya, sejumlah daerah dalam meraih pasar suara melalui cara ini yang harus digunakan dalam batas wajar.

“Kita sendiri sebagai negara juga menggunakan politik identitas kok, mau contohnya? Di dalam Undang-Undang tentang Otonomi Papua itu kan dikasih syarat bahwa yang bisa jadi kepala daerah di Papua itu adalah orang Papua, nah itu kan itu namanya artikulasi politik identitas dalam politik hukum kita. Kalau politik identitas itu yang dalam batas-batas yang wajar. Batas-batas wajar itu seperti apa misalnya? Saya ada jadi Caleg, kemudian ada pendukung saya mengatakan pilih yang putra asli daerah kan boleh saja, itu kan politik identitas gitu loh,” jelasnya.

Back to top button