Hangout

Catat! Ini Hukumnya Jika Tidak Sengaja Memakan Makanan Haram

Gerai Bakso A Fung di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali, menghancurkan semua peralatan makan dan masaknya pasca heboh kasus selebgram Jovi Adhiguna, memamerkan mengunyah kerupuk babi di restoran itu.

Pemilik restoran A Fung panik bukan kepalang, sebab rumah makan ini sejatinya telah mengantongi serfikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini artinya semua makanan yang disajikan 100 persen halal.

Pemusnahan peralatan makan, diharapkan akan menghilangkan rasa was-was dan keraguan konsumen akan kontaminasi makanan tidak halal di restoran ini.

Bagaimana hukum tidak sengaja memakan makanan haram dalam Islam?

Sebelum ke hukum tidak sengaja memakan makanan tidak halal, lebih dulu dibahas hukum mengonsumsi makanan haram, seperti dikutip dari laman NU online.

Surah Al Baqarah ayat 188 menyebutkan:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah: 188]

Makanan haram dalam pembahasan ini terdiri dari:

  1. Makanan yang secara dzatiyah diharamkan untuk dikonsumsi, seperti daging babi, daging bangkai, dan sejenisnya.
  2. Makanan yang secara dzatiyah dihalalkan oleh syara’, namun karena didapatkan dengan cara yang haram, ia berubah status menjadi haram, seperti daging sapi hasil curian, membeli makanan dengan uang yang haram, dan contoh-contoh sejenisnya.

Dua jenis makanan di atas adalah makanan yang haram untuk dikonsumsi seorang Muslim dan wajib untuk menghindarinya.

Lantas bagaimana jika seorang Muslim terlanjur atau pernah memakan makanan yang diharamkan oleh syara’? Apa yang semestinya harus ia lakukan atas perbuatan itu?

Teladan yang dilakukan oleh Sahabat Rasulullah, Abu Bakar RA, berikut ini bisa menjadi pedoman, tatkala ia mengetahui makanan yang dikonsumsinya merupakan makanan syubhat:

وَثَبَتَ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ أَكَلَ شُبْهَةً غَيْرَ عَالِمٍ بِهَا، فَلَمَّا عَلِمَهَا أَدْخَلَ يَدَهُ فِيْ فِيْهِ فَتَقَيَّأَهَا

(Artinya: “Terdapat keterangan dari Sahabat Abu Bakar bahwa beliau pernah mengonsumsi makanan syubhat yang tidak ia ketahui. Ketika beliau mengetahui bahwa makanan tersebut syubhat, beliau memasukkan tangan ke dalam mulutnya lalu berusaha memutahkan makanan itu” (Musthafa Bagha dan Muhyiddin Mistu, al-Wafi Syarh Arba’in an-Nawawi, hal. 38).

Dari kisah sahabat Nabi Muhammad SAW itu, dapat diambil pelajaran (ibrah) tentang bahaya mengonsumsi makanan syubhat serta kehati-hatian Sayyidina Abu Bakar dalam menyaring makanan yang masuk ke perutya. Jika pada makanan syubhat saja wujud kehati-hatian beliau sampai demikian reaksinya, apalagi pada perkara yang haram?!

Maka, hal pertama yang harus dilakukan bagi orang yang pernah memakan makanan haram adalah bertaubat. Syarat-syarat bertaubat secara lugas dijelaskan dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah berikut:

  1. Menyudahi perbuatan dosa saat itu juga
  2. Menyesalinya
  3. Bertekad untuk tidak mengulanginya lagi
  4. Mengembalikan hak orang lain yang dizalimi, meminta maaf, atau meminta pembebasan tanggungan akibat kezaliman itu.

Poin nomor pertama hingga ketiga berlaku untuk kasus dosa atau maksiat yang berhubungan dengan Allah (haqqullah), sedangkan poin keempat adalah syarat tambahan ketika doa tersebut berhubungan dengan relasi antarmanusia (haq adami). (Lihat Imam An-Nawawi, al-Adzkar An-Nawawiyah, h. 438).

Back to top button