News

BKKBN Sebut NTT Terancam Gagal Nikmati Bonus Demografi, Ini Penyebabnya

Kepala BKKBN RI Dokter Hasto Wardoyo mengatakan potensi bonus demografi pada 2045 dikhawatirkan tidak terjadi secara merata di seluruh provinsi di Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berpotensi menjadi wilayah yang terancam tidak bisa menikmati bonus demografi.

Ia menuturkan, potensi bonus demografi di wilayah NTT masih belum bisa diprediksi karena angka kelahiran tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat di sana.

“Agak prihatin dari NTT masih belum bisa di ramal kapan bonus demografinya. NTT belum bisa diramal, khusus NTT harus punya perencanaan yang betul-betul mempertimbangkan Grand Desain pembangunan kependudukan untuk bisa keluar dari permasalahan kemiskinan,” ujar Hasto di gedung BKKBN Pusat, Jakarta, Kamis (25/4/2024).

Hasto menjelaskan, pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi menekan angka Total Fertility Rate (TFR), menyeimbangkan antara angka kelahiran dan persentase lapangan pekerjaan bagi warga NTT. Jumlah angka kelahiran yang tinggi, menurutnya bisa menghambat datangnya bonus demografi.

Selain itu, ia juga mengungkapkan, terjadi penurunan signifikan pada tren masyarakat menikah. Menurut catatannya, saat ini hanya terjadi 1,5 juta pernikahan per tahun menurun dari angka 2 juta dalam kurun satu dekade terakhir.

Hasto menegaskan, dalam menyongsong bonus demografi kualitas sumber daya manusia (SDM) juga harus ditingkatkan. Sehingga ketika masa bonus demografi tiba, dapat dioptimalisasikan oleh orang-orang yang berkualitas.

Aging population akan otomatis terjadi karena angka harapan hidupnya meningkat. Dan tidak ada program pemerintah mengurangi populasi orang tua, kalau mengurangi balita dengan kontrasepsi. Kita harus berhati-hati menghadapi aging population di mana sandwich generation harus menanggung itu. Kalau sandwich generation-nya tidak berkualitas memang cukup berat,” kata dia.

Kekhawatiran serupa juga pernah disuarakan oleh Kepala BKKBN NTT Dadi Ahmad Roswandi. Ia menyebut, rasio ketergantungan penduduk usia produktif terhadap non produktif di daerah ini masih tinggi yakni sebesar 55,66 persen. Hal itu membuat NTT gagal menikmati bonus demografi.

Menurutnya, penurunan fertilitas (kelahiran) menjadi penentu penting untuk tercapainya bonus demografi, karena dengan menurunnya kelahiran mengakibatkan proporsi penduduk usia anak atau usia 0–14 tahun ikut menurun.

“Penurunan fertilitas yang konstan dalam waktu yang lama akan memperkecil rasio ketergantungan penduduk produktif terhadap penduduk non produktif (usia 0-14 tahun dan 65+),” kata Dadi Ahmad Roswandi saat Rapat Kerja Daerah Program Bangga Kencana BKKBN NTT di Kupang, Rabu (3/4/2024).

Back to top button