News

Asia Tenggara Menyerah Dalam Perang Melawan Nyamuk DBD?


Negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia dan Indonesia beberapa tahun terakhir dilanda lonjakan kasus demam berdarah. Berbagai upaya sudah dilakukan dari mulai kampanye lingkungan bebas nyamuk hingga melepaskan nyamuk khusus Wolbachia. Apakah sudah menyerah dengan nyamuk?

Mungkin anda suka

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggambarkan demam berdarah sebagai infeksi yang disebabkan virus dengue (DENV). Virus ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi khususnya nyamuk Aedes aegypti. Demam berdarah ditemukan di daerah beriklim tropis dan subtropis di seluruh dunia, dan sebagian besar terjadi di daerah perkotaan dan semi perkotaan. 

Ada empat serotipe virus dengue (DENV1 hingga 4) berbeda yang beredar di dunia. Meskipun banyak infeksi DENV tidak menunjukkan gejala atau hanya menyebabkan penyakit ringan, virus ini terkadang dapat menyebabkan kasus yang lebih parah dan bahkan kematian.

Channel News Asia (CNA) dalam laporannya mengungkapkan, Asia Tenggara telah lama menjadi korban demam berdarah. Pada bulan Februari, ketika kasus demam berdarah terus meningkat selama beberapa minggu, Badan Lingkungan Nasional Singapura (NEA) mendesak “tindakan segera” untuk menekan jumlah nyamuk Aedes aegypti.

Tahun lalu, berdasarkan data triwulanan, terdapat 9.950 kasus dan total enam kematian di Singapura. “Jumlah kumulatif kasus demam berdarah di Singapura pada tahun 2024 sudah mencapai 4.817 kasus, dalam pekan yang berakhir pada 23 Maret,” ungkap media yang berbasis di Singapura itu.

Negara tetangga, Malaysia, mencatat lebih dari 123.000 kasus demam berdarah pada 2023, meningkat 86 persen dari sekitar 66.000 kasus pada tahun sebelumnya. Jumlahnya pada tahun 2022, lebih dari dua kali lipat dibandingkan lebih dari 26.000 kasus yang dilaporkan pada tahun 2021. Terdapat total 100 kematian terkait demam berdarah tahun lalu, yang juga hampir dua kali lipat dari 56 kematian pada tahun 2022. Pada 16 Maret, Malaysia telah mencatat 38.524 kasus demam berdarah dan 24 kematian.

Sementara di Indonesia, terdapat hampir 18.000 kasus pada bulan Januari saja, naik dari sekitar 12.500 pada bulan Januari 2023. Indonesia telah mencatat lebih dari 21.000 kasus dan setidaknya 191 kematian pada awal Maret. Di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, ditetapkan status siaga awal bulan ini dan bisa meningkat menjadi status darurat jika kasus tidak kunjung turun.

Siapa yang Harus Disalahkan?

Lonjakan demam berdarah di Indonesia disebabkan beberapa faktor, salah satunya fenomena El Nino yang mengakibatkan cuaca menjadi lebih panas. “Nyamuk lebih cepat dewasa, lebih cepat bertelur. Telurnya lebih cepat menetas dan jumlah gigitan nyamuk ke manusia pun meningkat,” jelas Dr Riris Andono Ahmad, peneliti Pusat Pengobatan Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM).

Musim hujan yang disertai El Nino juga menyebabkan terbentuknya genangan air. Ini menjadi tempat berkembang biaknya jentik nyamuk Aedes aegypti, kata Dr Riris.

Cuaca yang lebih hangat – hingga titik tertentu – juga memperpendek masa inkubasi virus demam berdarah di dalam nyamuk, jelas profesor yang berbasis di Singapura, Hsu Li Yang. Wakil dekan kesehatan global dan pemimpin program penyakit menular di Universitas Nasional Singapura (NUS) Saw Swee Hock School of Public Health itu menambahkan bahwa peran perubahan iklim belum dikaji dengan baik.

Di Malaysia, peningkatan kasus demam berdarah disebabkan oleh perubahan iklim, urbanisasi yang pesat, serta pengelolaan limbah dan penyimpanan air yang tidak tepat yang memberikan peluang bagi nyamuk Aedes untuk berkembang biak, kata Menteri Kesehatan Malaysia, Dzulkefly Ahmad. Meningkatnya kepadatan populasi di kawasan terbangun juga tidak membantu, sehingga menciptakan lebih banyak peluang berkembang biak bagi Aedes aegypti. 

Dr Borame Sue Lee Dickens dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Saw Swee Hock di NUS menyatakan bahwa Aedes aegypti dapat bertahan hidup dan beradaptasi di perkotaan. “Nyamuk dapat berkembang biak hanya dengan satu sendok teh air,” katanya, sehingga membuat demam berdarah “sangat sulit” dikendalikan.

Apa Saja yang Sudah Dilakukan?

Dengan endemik demam berdarah di Singapura selama lebih dari 50 tahun, langkah-langkah pengendalian vektor telah lama dilakukan untuk mengurangi infeksi. Proyek Wolbachia, salah satu upaya utama Singapura, dimulai pada 2016. NEA melepaskan nyamuk Aedes aegypti jantan yang membawa bakteri Wolbachia di beberapa bagian negara tersebut. Ketika nyamuk jantan ini kawin dengan nyamuk Aedes aegypti betina perkotaan tanpa Wolbachia, telur yang dihasilkan tidak akan menetas.

post-cover
Kotak berisi strip yang digunakan untuk tahap produksi telur pada proses perkembangbiakan nyamuk Wolbachia-Aedes aegypti jantan. (Foto: CNA/Raydza Rahman)

Di Indonesia, enam kota – Bontang, Kupang, Semarang, Jakarta Barat, Bandung dan Denpasar – juga akan menyebarkan nyamuk ber-Wolbachia, kantor berita Antara melaporkan bulan ini. Selain metode ilmiah tersebut, strategi pencegahan tradisional tetap menjadi kuncinya, tambah Dr Riris. Hal ini mencakup pengosongan wadah air, penutupan tempat penyimpanan air, pemeliharaan ikan untuk memakan jentik nyamuk, pembersihan lingkungan, dan penggunaan obat nyamuk. 

Di Indonesia, surveilans vektor dilakukan oleh individu yang disebut petugas jumantik, yang ditunjuk oleh pemerintah daerah, kata juru bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah, biasanya pada hari Jumat, untuk memeriksa jentik nyamuk dan dibayar sekitar Rp550.000 per bulan. Upaya ini harus dilakukan secara besar-besaran agar dapat memberikan dampak, kata Dr Riris.

Sementara itu, di Malaysia, selain melakukan pencegahan, pengawasan, dan keterlibatan masyarakat, pemerintah juga bekerja sama dengan organisasi penelitian dan pengembangan obat nirlaba – untuk melakukan uji klinis terhadap beberapa kandidat obat demam berdarah. Ini termasuk obat-obatan yang telah digunakan untuk mengobati Hepatitis C. Tujuannya untuk mewujudkan “pengobatan yang hemat biaya dan mudah diakses dalam lima tahun ke depan”, kata Dr Dzulkefly, Menteri Kesehatan Malaysia. 

Singapura juga telah berinvestasi dalam berbagai kampanye edukasi selama bertahun-tahun, dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap demam berdarah. Hal ini dimulai dengan gerakan “Jaga Singapura Bersih dan Bebas Nyamuk” pada tahun 1969 dan telah berubah menjadi Kampanye Pencegahan Demam Berdarah Nasional tahunan.

NEA juga memiliki Sistem Kewaspadaan Komunitas Demam Berdarah Dengue (DBD) di mana spanduk-spanduk berkode warna memberikan informasi kepada penduduk tentang tingkat risiko di wilayah mereka. Pada tahun 2022, badan tersebut meluncurkan spanduk ungu baru untuk wilayah dengan populasi nyamuk Aedes aegypti yang masih tinggi.

Selain tindakan pengendalian dan pencegahan, vaksin untuk virus dengue juga disetujui untuk digunakan di Singapura pada tahun 2016. Dikembangkan oleh perusahaan farmasi Perancis Sanofi Pasteur, vaksin Dengvaxia – untuk individu berusia 12 hingga 45 tahun – adalah satu-satunya vaksin demam berdarah berlisensi di negara tersebut. 

Diperlukan tiga dosis untuk diberikan selama 12 bulan melalui suntikan, dan efektif hingga empat tahun setelah dosis ketiga. Mereka yang berada di luar kelompok usia yang disetujui tetapi ingin divaksinasi harus meminta nasihat dokter, kata Otoritas Ilmu Kesehatan (HSA) saat itu.

Pada tahun 2012, Singapura juga memperluas pengawasan virus dengue ke sistem lintas negara, bersama dengan otoritas kesehatan Malaysia dan akademisi Indonesia membentuk jaringan United In Tackling Epidemic Dengue untuk berbagi informasi dan pengetahuan. “Jaringan ini efektif dalam membantu perjuangan Singapura melawan demam berdarah dengan memberikan kesadaran situasional mengenai demam berdarah di negara-negara tetangga dan regional,” kata NEA kepada CNA.

Mengingat status Singapura sebagai pusat perdagangan dan perjalanan, pembagian data lintas batas berguna dalam mengidentifikasi garis keturunan virus yang umum di wilayah tersebut dan hubungannya dengan wabah di masing-masing negara, tambah badan tersebut. 

Pengembangan Proyek Wolbachia

NEA akan memperluas Proyek Wolbachia ke lima kawasan perumahan tambahan pada kuartal pertama tahun ini. Dengan ini, 35 persen dari seluruh rumah tangga di Singapura akan terlindungi. Sementara itu, Malaysia telah melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di 32 wilayah di tujuh negara bagian sejak 2019. Kasus demam berdarah menurun sebesar 45 hingga 100 persen di 19 wilayah tersebut. Pemerintah Malaysia pada Januari mengatakan pihaknya berencana melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di 10 wilayah lainnya.

Namun bagi Indonesia, kurangnya informasi dan penyebaran hoaks telah menghambat penyebaran nyamuk ber-Wolbachia, seperti yang terjadi di Bali pada akhir tahun lalu. Di media sosial, beredar klaim palsu tentang nyamuk yang menularkan Japanese encephalitis (virus ditularkan oleh nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit parah) atau “gen LGBT”; serta menjadi bagian dari “rencana depopulasi” salah satu pendiri Microsoft, Bill Gates. 

Padahal Prof Hsu dan NUS mengungkapkan, Yogyakarta telah mencatat kisah sukses dalam pengendalian demam berdarah. Strategi kota ini melibatkan penggantian populasi nyamuk asli dengan nyamuk ber-Wolbachia yang lebih tahan terhadap virus demam berdarah. Sebuah penelitian kemudian menunjukkan penurunan kasus sebesar 77 persen dan pengurangan rawat inap sebesar 86 persen di daerah yang terkena Wolbachia dibandingkan dengan daerah yang tidak diobati.

Misinformasi seperti ini tidak terjadi di Singapura, karena tantangannya terletak pada menjaga agar isu demam berdarah tetap menjadi perhatian utama. “Warga Singapura pada umumnya sadar akan risiko demam berdarah namun sulit terus-menerus mengingatkan untuk memeriksa perkembangbiakan nyamuk di rumah,” kata Dr Dickens. 

Back to top button