News

2022, Potret Buram Peradilan Kita

Rabu, 28 Des 2022 – 10:26 WIB

Img 7660 - inilah.com

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani berbicara dalam acara Diskusi Catatan Akhir Tahun 2022 bertema Demokrasi, Hukum, HAM dan Pertahanan-Keamanan” yang diadakan di Jakarta, Selasa (27/12/2022). (Foto: Inilah.com/Dea Hardianingsih)

Peradilan Indonesia babak belur buntut serangkaian peristiwa hukum yang membelit dua hakim agung dan aparatur Mahkamah Agung (MA). Elemen masyarakat sipil lantas menghadiahi rapor merah kinerja peradilan sepanjang 2022. Vonis bebas terdakwa tunggal perkara HAM berat Paniai seolah menambah buram potret peradilan kita.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai tidak berlebihan masyarakat memvonis buruk kinerja peradilan sepanjang 2022. Terjeratnya aparatur MA dan dua hakim agung dalam perkara korupsi sudah cukup bagi masyarakat untuk mengukur kualitas peradilan beserta cabangnya. Artinya peristiwa tersebut menjadi indikator masyarakat untuk mengukur integritas hakim.

“Hakim agung kena OTT, satu paket dengan pegawainya, PNS-nya, hakim yusditialnya. Ini rombongan (tersangka) terbanyak sepanjang sejarah MA berdiri,” kata Julius, dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Selasa (27/12/2022).

Perkara suap di MA yang ditangani KPK sejatinya pukulan telak terhadap dunia peradilan kita. Celakanya lagi Komisi Yudisial (KY) selaku badan pengawas seolah baru bekerja selepas KPK menersangkakan dan menahan dua hakim agung yakni, Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh, serta aparatur MA lainnya.

Hal lain yang disoroti PBHI yakni vonis bebas bagi terdakwa kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua, Isak Sattu. Vonis bebas terhadap terdakwa tunggal diyakininya sebagai peradilan fiktif. Menariknya Pengadilan HAM Makassar membenarkan adanya peristiwa pelanggaran HAM namun membebaskan pelakunya.

“Kita juga disajikan dengan peradilan rekayasa, peradilan fiktif untuk kasus-kasus HAM berat, ditandai dengan Paniai,” ujar Julius.

Dia menyebut sejak awal PBHI menyoroti kasus Paniai dimulai sejak penyelidikan Komnas HAM hingga penyidikan yang dilakukan Jampidmil secara koneksitas. Penanganan perkara hingga vonis dianggap tak cermat. “Yang gatal mana, yang digaruk mana, meleset. Jadi, enggak bakal divonis (terbukti).”

Back to top button