News

UU Buronan RI-Singapura dan Adu Kelihaian dengan Koruptor

Perjanjian ekstradisi Indonesia dengan Singapura telah diundangkan. Ekstradisi akan membantu menyeret pulang buronan dan mencegah melarikan diri ke Singapura yang selama ini dicap sebagai surganya para koruptor. Apakah undang-undang ini mampu dengan mudah menangkap para buronan koruptor?

DPR telah mengesahkan ratifikasi perjanjian ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Singapura. Ratifikasi perjanjian tersebut menjadi babak baru dalam proses penegakan hukum, terutama upaya untuk memburu para buron kasus kejahatan yang selama ini hidup nyaman di Singapura.

Ratifikasi ekstradisi ditandai dengan pengesahan Rancangan Undang-undang No.5/2023 tentang Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Kamis (15/12/2022) lalu.

RUU ekstradisi merupakan hasil tindak lanjut Leaders Retreat antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Perdana Menteri Singapure Lee Hsien Long di Bintan, Kepulauan Riau pada Februari 2022. Dalam pertemuan itu, Presiden Jokowi dan PM Lee sepakat untuk kembali membahas isu-isu strategis antara dua negara tersebut, termasuk isu ekstradisi buron asal Indonesia.

Selama ini, ekstradisi menjadi isu yang paling sensitif dalam hubungan diplomatik kedua negara. Aparat penegak hukum di Indonesia kerap mengalami kendala karena setidaknya sebelum UU ini disahkan, Indonesia dan Singapura sama sekali tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Ketiadaan aturan tersebut kerap dimanfaatkan oleh para pelaku untuk bersembunyi di Singapura. Para buron, termasuk para obligor Bantuan Likuiditas Indonesia (BLBI), banyak yang memiliki alamat bahkan aset di negeri singa tersebut. Aset-aset itu telah beranak pinak dengan nilai yang cukup fantastis.

Sudah banyak buronan koruptor di Indonesia yang pernah memilih kabur ke Singapura. Sebut saja Sjamsul Nursalim, Setiawan Harjono, Sujanto Gondokusumo, Trijono Gondokusumo dan Kwan Benny Ahadi. Ada lagi yang sempat kabur ke negara singa itu, yakni Djoko Tjandra, Gayus Tambunan, hingga Nunun Nurbaeti.

Masih banyak lagi koruptor, kebanyakan kelas kakap yang sempat tinggal di Singapura. Pihak keamanan Indonesia kesulitan menangkap para buronan ini karena tidak ada kerja sama ekstradisi dengan negara tetangga itu. Para buronan ini seperti kebal hukum ketika berada di negara itu.

Masa retroaktif 18 tahun

Dalam perjanjian itu diatur antara lain kesepakatan para pihak untuk melakukan ekstradisi, tindak pidana yang dapat diekstradisikan, dasar ekstradisi, pengecualian wajib terhadap ekstradisi, pengecualian sukarela terhadap ekstradisi, permintaan dan dokumen pendukung, serta pengaturan penyerahan.

Yang menarik dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini, yaitu memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian itu berjumlah 31. Di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme. Dengan perjanjian tersebut berarti juga bahwa orang tidak akan dapat melarikan diri dari keadilan dengan mengubah kewarganegaraan mereka.

Bagi Indonesia, perjanjian ekstradisi negara dengan Singapura akan membantu membawa buronan ke pengadilan dan mencegah penjahat melarikan diri ke luar negeri. “Perjanjian ekstradisi akan menyederhanakan proses penangkapan dan pemulangan tersangka korupsi yang melarikan diri (Indonesia) dan (telah) tinggal di negara lain,” kata juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri kepada CNA.

Sementara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly berharap perjanjian itu akan mencegah para penjahat di Indonesia mencari perlindungan di Singapura dan sebaliknya.

“Perjanjian ekstradisi ini akan memudahkan penegak hukum untuk menyelidiki kasus kriminal dan menangkap tersangka yang bersembunyi di Singapura,” kata Yasonna, seraya menambahkan bahwa ia berharap perjanjian itu juga akan memperkuat hubungan antara penegak hukum di kedua negara.

Adu lihai dengan koruptor

Mengutip CNA, Hikmahanto Juwana, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia mencatat, sebelum perjanjian ditandatangani kedua negara, Singapura telah memulangkan sejumlah buronan Indonesia. Tapi prosesnya lamban karena payung hukumnya minim. “Perjanjian itu harus mempercepat prosesnya, tetapi kita akan melihat bagaimana itu benar-benar diterapkan,” katanya.

Aktivis anti-korupsi Lalola Ester dari Indonesia Corruption Watch mengatakan perjanjian itu akan mengeluarkan Singapura dari daftar negara tempat para buronan dapat mencari perlindungan, terutama karena negara-kota itu bertindak sebagai pusat transportasi utama yang menghubungkan kawasan dan seluruh dunia.

“Tapi ada lebih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Perjanjian itu tidak mencakup pemulihan aset curian yang disimpan di luar negeri oleh pelanggar, yang sangat penting dalam perang melawan korupsi,” kata Ester kepada CNA.

Penegak hukum harus segera memanfaatkan ratifikasi ini untuk menuntaskan kejahatan lama. Langkah kongkrit perlu dilakukan secepatnya mengejar buronan yang bersembunyi di Singapura dan membawa mereka pulang untuk diadili di sini.

Namun yang jelas, para buronan akan sangat lihai membaca keadaan jauh sebelum penandatanganan perjanjian ekstradisi ini. Bukan tidak mungkin, para pelarian itu sudah mengambil langkah seribu sebelum perjanjian itu disahkan Pemerintah Indonesia dan Singapura.

Para buron mungkin saat ini sudah bergeser ke negara lain karena mereka pasti sudah membaca situasi agar keluar dari Singapura sebelum ratifikasi disahkan. Jelas ini masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar dan menguji kelihaian bagi penegak hukum di Indonesia untuk mengejar buruannya.

Back to top button